Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Cita Citata, Dangdut dan Seks

3 Agustus 2016   12:34 Diperbarui: 3 Agustus 2016   18:44 11672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Geger nasional bertajuk “ingkar janji” antara penyanyi Cita Citata dengan anggota Fraksi Gerindra DPR RI Amrullah Amri Tausikal membelalakan mata masyarakat yang selama ini sudah terbuka. Buruknya perilaku sebagian anggota DPR dan stereotipe negatif penyanyi dangdut di tengah masyarakat seperti (kembali) mendapat alas pembenar. Begitukah?

Kisah putus cinta antara dua insan beda jenis (kadang juga sesama jenis) adalah hal yang sangat lumrah. Tidak ada yang istimewa. Tidak pula menyimpang. Kala hati sudah terpaut karena pesona diri (sebagian lainnya karena harta), semua tampak indah. Dan berlaku sebaliknya, ketika pautan itu terlepas karena pesonanya tak seindah khayalan, hartanya tak sebanyak perkiraan, semua tampak begitu buruk. Itulah yang terjadi saat ini antara Cita Citata dengan Amri Tausikal. Tidak lebih, dan tidak pula kurang.

Maka tidak adil rasanya ketika kita menunjuk hidung Amri bersalah, atau pun sebaliknya. Bukankah kita hanya tahu saat pautan hati mereka sudah terlepas? Bukankah kita tidak tahu bagaimana dulu puja-puji Cita Citata terhadap Amri? Kita tidak tahu betapa mesranya Cita Citata dalam pelukkan Amri? Jika kita tidak tahu bahagianya, jangan gampang menunjuk hidung mengatakan si A salah atau si B benar ketika terjadi masalah. Bayangkan, jika ternyata kemudian mereka baikan lagi, padahal sebelumnya kita sudah mencaci-maki satu pihak, apa tidak malu?

Jadi apa yang terjadi antara Cita Citata dan Amri Tausikal hal yang lumrah sekali. Sepanjang data yang ada, Amri diketahui masih lajang. Bahkan masih kinyis-kinyis karena usianya juga belum 30 tahun. Bahasa gaulnya Amri masih termasuk kelompok ABG labil. Bahkan jika boleh disimpulkan masalah yang terjadi di antara keduanya hanya masalah percintaan dua ABG labil. Jangan kaitakan Amri dengan kedudukannya sebagai anggota dewan karena urusan cinta tidak ada hubungannya dengan pekerjaan maupun kedudukan. Tidak ada pula etika yang dilanggar. Cinta hanya berhubungan dengan masalah sosial. Hanya menjadi salah manakala melanggar norma sosial, semisal salah satu di antaranya sudah terikat dalam perkawinan.

Apakah hanya karena Amri Tausikal seorang anggota dewan sehingga harus perfek, termasuk dalam hal percintaan? Rasanya kita terlalu berlebihan. Baca kembali tupoksi seorang anggota dewan. Menjaga marwah, harkat dan martabat, citra lembaga, tidak ada kaitannya dengan urusan percintaan. Ingkar janji? Penipuan? Itu masih versi satu pihak. Seperti disebutkan di atas, Cita Citata masih dalam kondisi “sakitnya tuh di sini” sehingga omongannya berbalut kebencian (sekedar tidak mengatakan berlebihan). Misalnya soal ATM ketinggalan. Berapa kali hal itu terjadi? Kalau hanya sekali lantas di blow-up sedemikian rupa, itu tandanya Cita Citata sedang labil.

Menarik disimak justru pemberitaan sejumlah media yang selalu menyebut Cita Citata sebagai penyanyi dangdut. Mengapa tidak cukup hanya menyebutnya sebagai penyanyi? Ada kesan sebagian dari kita ingin memberi stigma jika perilaku buruk itu hanya milik penyanyi yang membawakan lagu-lagu dangdut. Meski dalam kasus ini Cita Citata berada pada posisi sebaliknya- sebagai pihak yang “teraniaya janji”, namun kesan itu tetap saja muncul.     

Sudah sejak zaman Haji Rhoma Irama irama dangdut dianggap musik kelas bawah, kampungan, milik kaum pinggiran yang tidak terdidik. Meski jiwanya dangdut, bisa dipastikan dalam mobil seorang pejabat atau eksekutif perusahaan ternama, tidak ada kaset lagu dangdut karena malu dianggap kampungan. Beban lebih berat lagi ditanggung oleh penyanyi perempuannya. Kesah murahan pun dengan mudah disematkan masyarakat. Murahan di sini berkaitan dengan tingkah polah yang menjurus kepada eksplorasi seks dan tubuh. Lirik-lirik lagu dangdut yang vulgar kian menebalkan persepsi masyarakat akan hal itu. Demikian pula aksi panggung dengan goyang erotisnya.

Adilkah? Jika bangunan persepsi murahan atas dasar perilaku dan lirik lagu, mengapa penyanyi (perempuan) yang membawakan lagu rock dengan kostum nyaris telanjang tidak mendapat stigma itu? Mengapa Madonna, Lady Gaga hingga Lily Allen dan Miley Cyrus tidak dianggap kampungan dan murahan?

Mari kita adil dalam menilai suatu persoalan tanpa dibalut kebencian.

salam @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun