Sejak awal, keberadaan Teman Ahok - wadah relawan yang bekerja mengumpulkan KTP dukungan untuk kendaraan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilgub 2017 mendatang, sudah menimbulkan banyak tanda tanya. Citra sebagai 5 anak muda yang rela bekerja siang malam tanpa bayaran demi Jakarta yang lebih baik di bawah kepemimpinan Ahok, perlahan luntur seiring terbukanya satu persatu kebohongan yang selama ini mereka sembunyikan. Andai saja “konser” di Singapura berhasil, situasainya tidak akan segenting saat ini.
Pengakuan sejumlah mantan relawan Teman Ahok menjadi pukulan paling baru. Menurut Paulus Romindo, penanggung jawab pegumpulan KTP Teman Ahok di daerah Kamal, Jakarta Utara, mereka memiliki kontrak kerja, SK, surat tugas dan dibayar dengan sistem kerjanya ditarget.
“Kami yang bahasanya gratis itu dibayar. Kami per minggu harus targetnya 140 KTP lalu honornya kami mendapatkan Rp 500 ribu per minggu, hingga minggu ke 3 Rp 5000 ribu, kalau minggu ke 4 mendapatkan Rp 500 ribu plus Rp 500 ribu operasional. Biaya akhirnya itu Rp 2,5 juta sebulan," jelas Paulus yang mengenakan baju putih dengan logo Teman Ahok di bagian dada sebelah kiri seperti dikutip di sini.
Bukan hanya ‘gaji’ Rp 2,5 juta per bulan, mereka juga mendapatkan seragam, komputer lengkap dengan printer dan handphone. Pendapatan lebih besar didapat koordinator yang membawahi 5-10 orang penanggung jawab. Bila tim mereka mencapai target, maka koordinator pos bisa mengantongi pendapatan sampai Rp10 juta. Meski fasilitas dan gaji tersebut tidak merata, berdasarkan level kepengurusan dan capaian target, namun kita bisa membayangkan berapa besar dana operasional yang sudah disalurkan Teman Ahok untuk keperluan tersebut. Belum lagi pengeluaran untuk honori stand promotion girl (SPG) yang ada di booth-both Teman Ahok di mal. Menurut Richard Sukarno - yang juga mantan relawan Teman Ahok, para SPG amatir itu dibayar Rp 50 ribu perhari.
Pertanyaan paling menarik dan ditunggu-tunggu saat ini adalah berapa gaji lima “pendiri” Teman Ahok. Meski beberapa teman wartawan mengaku tahu, tapi nyatanya mereka belum berani mengeksposenya. Dalam laporan keuangan yang diunggah Teman Ahok sampai Desember 2015, sama sekali tidak disebutkan adanya gaji untuk para pendiri dan karyawan Teman Ahok yang bekerja melakukan entry data. Model laporan keuangan yang sangat-sangat sederhana sehingga tidak bisa diketahui berapa sewa booth per bulan di Thamrin City atau di Senayan City, berapa pula biaya operasional per posko. Berapa penjualan merchandise di Sency, berapa pula penjualan kaos di posko Kramat 5. Laporan itu hanya dibuat ala kadarnya sekedar untuk memenuhi asas transparansi, bukan esensinya.
Salahkah jika relawan, SPG, koordinator sampai para karyawan di kantor, bahkan para pendiri Teman Ahok mendapat gaji? TIDAK! Dengan asumsi mereka adalah karyawan kantoran, pekerja honorer, pekerja temporer (outsourcing) yang tengah bekerja mengumpukan KTP untuk Ahok. Apa yang mereka kerjakan, tidaklah beda dengan para pekerja kontrak di pabrik sepatu, pelayan rumah makan yang dibayar mingguan, atau bahkan petugas sensus yang dibayar berdasarkan target pengumpulan data. Tidak lebih, tidak kurang.
Kedodoran Teman Ahok terkait sumber dana memang mulai terasa setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan dalam kasus suap yang dilakukan Ariesman Widjaja- Presiden Direktur Agung Podomoro Land, kepada ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M. Sanusi. Sunny Tanuwidjaja- staf Ahok, mengaku sebagai pihak yang sering menjadi perantara antara gubernur, para pengusaha reklamasi Teluk Jakarta termasuk Aguan- bos Agung Sedayu Group, dan sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta, terlihat langsung mengambil jarak dengan Teman Ahok. Tidak heran jika pertanyaan Junimart Girsang kepada KPK saat RDP di DPR, terkait dugaan aliran dana RP 30 miliar ke Teman Ahok, menjadi pemicu keberangan Teman Ahok kepada Sunny. Bahkan Singgih Widiastono- salah satu pendiri Teman Ahok, mengaku tidak mengenal Sunny. Bagaimana mungkin para pendiri Teman Ahok yang bekerja untuk Ahok tidak “kenal” dengan Sunny. Singgih pun menepis adanya aliran dana dari taipan properti yang telah mendapat konsesi reklamasi di Teluk Jakarta ke Teman Ahok. Singgih mengaku siap diperiksa KPK.
Andai saja “konser” di Singapura terlaksana sehingga Teman Ahok mendapat suntikan dana dari “penjualan” merchandise dan kaos, tentu Ahok tidak perlu berpikir ulang untuk maju melalui jalur independen. Namun tingginya biaya yang dibutuhkan- seperti berkali-kali diucapkan sendiri oleh Ahok, juga juru bicara Teman Ahok Amalia Ayuningtyas, ditambah adanya “sesuatu” yang tidak berjalan sesuai skenario, membuat tawaran Partai Golkar untuk maju melalui jalur independen menjadi seksi. Ahok tentu tidak mau gambling terlalu besar semisal mengeluarkan uang dari kantong sendiri hingga Rp 10 miliar untuk menyelesaikan tahapan dukungan jalur independen, sementara masih ada kemungkinan kegagalan pada verifikasi faktual dengan metode sensus. Sementara jika memakai jalur partai politik, Ahok tinggal duduk manis.
Namun keputusan Ahok untuk maju melalui jalur partai politik, tentu juga akan membawa konsekuensi. Bukan tidak mungkin beberapa relawan Ahok yang semula mau bekerja hanya dengan “gaji” RP 2,5 juta per bulan dengan harapan kelak setelah Ahok jadi gubernur akan kecipratan berkah, menjadi kecewa dan mengumbar isi dapur Teman Ahok seperti yang dilakukan Paulus, Richard dan lainnya.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H