Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Serang Jangan Dijadikan Pembenar untuk Intoleran

12 Juni 2016   17:34 Diperbarui: 12 Juni 2016   23:53 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus penyitaan makanan dari warung tegal (warteg) milik Ibu Eni di Serang, mematik keprihatinan kita semua. Tindakan arogan anggota satuan polisi pamong praja (Pol PP) bukan saja mencederai rasa kemanusian, namun juga mencoreng wajah Islam. TIndakkan semacam itu tidak bisa dibenarkan dengan dalih apapun. Penegakan peraturan (law enforcement) harus tetap mengedepankan sisi kemanusian dan hak warga, karena peraturan dibuat untuk menjamin hak-hak warganya.     

Tetapi kejadian di Serang jangan lantas dijadikan alat pembenar untuk menggugat sikap toleransi kita. Menutup warung makan yang buka siang hari dengan tirai selama bulan puasa, membatasi jam operasional tempat hiburan malam- termasuk karaoke keluarga karena bukan rahasia lagi di karaoke keluarga pun dijual minuman beralkohol, adalah bentuk toleransi yang harus dipertahankan. Tentu hal itu merugikan pihak lain. Namun itulah arti toleransi sesungguhnya- mengurangi hak kita untuk menghormati orang lain yang berbeda keyakinan. Tidak ada toleransi tanpa pengorbanan. 

Atas nama toleransi pula, umat islam di Bali tidak protes ketika harus ikut gelap-gelapan saat Hari Raya Nyepi umat Hindu. Atas nama toleransi juga umat Muslim tidak protes saat tempat-tempat umum dihias dengan pohon Natal dan anak-anaknya - terutama yang bekerja di mal dan hotel-hotel, disuruh memakai pakaian Santa Claus dalam rangka menyemarakan Hari Natal.

Bentuk dan lamanya waktu, tidak menjadi tolok ukuran besar kecilnya toleransi. Nilai toleransi yang diberikan umat Muslim saat perayaan Nyepi yang hanya semalam dan selama menjelang Natal tidak lebih kecil dibanding toleransi yang diberikan umat lain ketika harus memberi tirai pada rumah makan yang buka siang hari selama bulan Ramadhan.

Namun yang lebih penting lagi, toleransi mestinya  diberlakukan dalam semua aspek kehidupan, dan dimaknai sebagai bentuk kesadaran yang timbul dari dalam dirinya. Bukan keterpaksaan karena adanya aturan, bukan pula hanya artifisial supaya dianggap toleran. Toleransi dibutuhkan untuk menjaga tercapainya kedamaian dalam masyarakat. Orang yang sedang berpuasa- menjalankan ibadah, tidak minta dihormati. Tetapi ketika ada pihak yang tidak menghormati orang yang sedang berpuasa, perlu dipertanyakan sikap tolerannya.

Selama kesadaran itu belum ada, selama masyarakat masih suka dengan sikap intoleran, maka tugas pemerintah membuat dan menegakkan aturan untuk mencegah timbulnya aksi pemaksaan kehendak dari satu kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya.

salam @yb

Tulisan terkait : Bhinneka Tunggal Ika Bukan Hanya Cantelan Kala Terpepet

      

     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun