Menteri Pertahanan Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu terus melakukan manuver untuk membangun sistem pertahanan dengan melibatkan masyarakat sipil. Setelah sukses program Bela Negara di mana Kementerian Pertahanan (Kemenhan) melatih warga sipil dengan pemahaman militer, kini Ryamizard tengah getol mengupayakan pembentukan kantor Kemenhan di daerah dan Badan Intelijen Pertahanan.
Seperti diketahui Program Bela Negara tetap berjalan karena Ryamizard tidak peduli dengan kritik sejumlah pihak. Target menciptakan 100 juta warga sipil beraroma militer terus digenjot. Kritik pun akhirnya mereda sendiri.
Merasa di atas angin, Ryamizard segera melanjutkan misi sucinya untuk membuat sistem pertahanan dengan pelibatan masyarakat sipil melalui program pembukaan kantor pertahanan di daerah. Berbeda dengan Komando Daerah MIliter (Kodam), Komando Resort MIliter (Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), hingga Komando Rayon Militer (Koramil) dan terbawah Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang merupakan hierarki TNI, kantor pertahanan daerah diisi oleh sipil dan tentara non struktural.
Meski tidak keluar dari TNI, namun tentara yang bertugas di kantor pertahanan tidak lagi terikat pada perintah Pangdam melainkan di bawah komando Kemenhan yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Ryamizard menepis anggapan pembentukan kantor Kemenhan di daerah sebagai wujud kembalinya orde baru. Menurut mantan Kasad tersebut, pembentukan kantor pertahanan di daerah justru untuk mengawal demokrasi, karena nantinya segala urusan pertahanan dan keamanan akan diambil-alih oleh kantor pertahanan di daerah, bukan lagi ditangani oleh Kodam maupun struktur militer di bawahnya seperti zaman orde baru.
Kini Ryamizard melengkapi sistem pertahanan rakyat semestanya dengan usulan pembentukan Badan Intelijen Pertahanan (BIP). Setelah TNI lepas dari struktur Kemenhan, secara otomatis Badan Intelijen Strategis (BAIS) tidak lagi berada di bawah Kemenhan.
Selain hampir di semua negara memiliki BIP yang langsung berada di bawah pemerintahan sipil, Ryamizard juga mendalilkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara khususnya pasal 7 yang menyebutkan ruang lingkup intelijen negara meliputi intelijen dalam negeri dan luar negeri, intelijen pertahanan dan/atau militer, intelijen kepolisian, intelijen penegakan hukum, dan intelijen kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. Dengan demikian keberadaan BIP akan setara dengan BAIS, dan tetap di bawah koordinasi Badan Intelijen Negara (BIN).
Berkaca dari program Bela Negara yang tetap jalan meski mendapat kritik berbagai pihak, pembentukan kantor pertahanan daerah dan BIP dipastikan akan segera terwujud. Sindiran mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat buka puasa bersama pengurus Partai Demokrat di Cikeas semalam, jika saat ini bukan lagi era militer, tidak akan menghalangi niat jenderal tua kelahiran Way Kanan Lampung ini.
Terlebih Ryamizard memiliki “catatan” tersendiri terhadap SBY yang menolak dirinya sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal Endriartono Sutarto, di tahun 2006 lalu. Padahal saat itu Ryamizard merupakan calon terkuat. SBY lebih memilih Marsekal Djoko Suyanto dengan salah satu pertimbangannya masa kedinasan Ryamizard yang tinggal beberapa bulan. Namun berbagai kalangan berspekulasi, alasan pensiun terlalu dipaksakan. Alasan sebenarnya, SBY kurang matching dengan sikap Ryamizard yang blak-blakan.
Kita patut kuatir dengan model pertahanan semesta ala Ryamizard. Meski berdalih apa yang dilakukannya bukan untuk mengembalikan supremasi militer, namun aroma itu tidak serta merta hilang dengan alasan-alasan seperti disebutkan di atas.
Sebab alasan-alasan tersebut sangat dipaksakan. Meski tidak lagi berada dalam struktur komando Panglima TNI, sulit bagi tentara yang diperbantukan di BIP untuk membuang “cita-rasa militer” saat melakukan pendekatan kepada masyarakat sipil. Siapa yang menjamin pendekatan nonoperasional yang akan dilakukan saat mereka mendeteksi adanya ancaman gangguan keamanan, tidak disertai dengan pendekatan militer?
Seharusnya Kemenhan tidak lagi disibukkan dengan model pertahanan konvensional semacam itu. Peperangan modern tidak lagi membutuhkan prajurit besar layaknya peperangan abad 19.
Bahkan Ryamizard sendiri pernah mengatakan ancaman ke depan bukan perang fisik yang melibatkan militer dalam jumlah besar, namun proxy war yakni peperangan dengan tujuan untuk merusakkan generasi suatu bangsa melalui narkoba, LGBT, seks bebas dan adu domba.
Jika demikian, apa urgensinya dengan pembentukan kantor pertahanan di daerah? Bukankah untuk menanggulangi proxy war yang dibutuhkan bukan pendekatan militer tetapi pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat?
Setujukah, Jenderal?
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H