Kawasan elit Pantai Mutiara di wilayah Penjaringan Jakarta Utara beberapa hari yang lalu terendam banjir akibat jebolnya tanggul penahan air saat terjadi rob (air laut pasang). Erosi di dasar tanggul diduga sebagai penyebabnya jebolnya tanggul tersebut. Ketinggian air di beberapa titik mencapai 100 cm. Kemarin banjir sudah surut, tinggal menyisakan lumpur dan sampah.
Kawasan Pantai Mutiara merupakan hasil reklamasi yang sangat tersohor karena hanya dihuni kaum elit Jakarta. Rumah pribadi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) termasuk yang berada di perumahan tersebut. Benarkah jebolnya tanggul Pantai Mutiara akibat belum selesainya reklamasi 17 pulau yang di Teluk Jakarta? Seperti diketahui proyek raksasa reklamasi 17 pulau tersebut saat ini telah dihentikan akibatnya ketidakcermatan dasar hukum yang dipakai dan belum lengkapnya kajian terkait environmental impact assessment alias amdal?
Jebolnya tanggul di kawasan Pantai Mutiara bukan baru kali ini terjadi. Sebelumnya, di tahun 2011, peristiwa serupa juga terjadi. Padahal pihak pengembang telah memasang beton pemecah ombak (breakwater) dan penahan abrasi berbentuk tetrapod yang dipasang di muka pantai. Pasca kejadian itu berbagai upaya terus dilakukan agar peristiwa ‘memalukan’ karena berbeda dengan promosi yang gencar dilakukan di awal tahun 1990-an, di mana disebutkan daratan hasil reklamasi itu sangat aman dan anti banjir.
Perumahan elit Pantai Mutiara di mana umumnya bagian belakangan rumahnya langsung terhubung dengan dermaga pribadi, memang sudah lama menjadi perbincangan umum ketika berbicara tentang kesenjangan sosial di Jakarta. Terlebih, di seberangnya, hanya selemparan batu, terdapat kawasan kumuh yang dikenal dengan sebutan Kampung Akuarium, Pasar Ikan dan Kawasan Museum Bahari dan Kampung Luar Batang yang terpisah oleh muara selebar sekitar 10 meter.
Reklamasi 17 pulau di seberang kawasan Pantai Mutiara diharapkan bisa menjadi salah satu penahan ombak laut utara sebelum sampai daratan Jakarta, terutama Pantai Mutiara. Ombak yang landai karena terhalang pulau reklamasi di Teluk Jakarta, akan mengurangi abrasi di kawasan Pantai Mutiara yang selama ini berlangsung sangat cepat. Jika dulu di awal 90-an jarak antara bibir pantai dengan rumah-rumah super megah itu sekitar 200 meter, maka di akhir tahun 2000-an jaraknya tidak lebih dari 50 meter. Bahkan pasca banjir 2011, jarak itu kian menyempit sehingga beberapa rumah di antaranya sudah langsung berhadapan dengan laut.
Setelah Ahok menjadi gubernur, upaya untuk menata kawasan itu semakin gencar dilakukan. Salah satunya rencananya adalah membangun sheet pile di sepanjang bibir pantai kawasan Kampung Akuarium dan sekitarnya. Nantinya kawasan tersebut akan dijadikan daerah wisata pantai yang indah untuk kenyamanan penghuni Pantai Mutiara. Namun saat ini rencana tersebut belum dapat diwujudkan karena masyarakat yang sejak lahir sudah mencium amis laut menolak dipindahkan ke tempat yang tinggi, di menara-menara beton sewa, yang bukan habitatnya.
Jebolnya tanggul yang berakibat banjir di dalam kawasan perumahan Pantai Mutiara adalah bukti nyata jika suatu kawasan dibangun dengan cara mengabaikan kelestarian lingkungan di sekitarnya, akan membawa petaka, sebagus apa pun desainnya. Hilangnya ribuan hektar hutan bakau (yang secara alami berfungsi sebagai penahan abrasi), di kawasan itu tidak dapat digantikan dengan teknologi kontruksi yang paling canggih sekali pun. Jika saat ini masih belum terjadi bencana, mungkin itu hanya soal waktu.
Kelestarian lingkungan, pembangunan yang ramah lingkungan dengan memperhatikan keberlangsungan ekosistem di dalamnya, menjadi kata kunci yang wajib dipenuhi. Pembangunan yang hanya mementingkan ego manusia, tanpa mengindahkan alam, adalah jalan menuju bencana yang sangat mengerikan. Longsor di kawasan Puncak, Bogor, dan abrasi pantai di kawasan utara Jakarta, merupakan dua contoh kerakusan manusia atas alam, yang semuanya dilakukan oleh (mayoritas) warga Jakarta.
Kasus ini juga menjadi cermin agar reklamasi 17 pulau di kawasan teluk Jakarta, tidak abai terhadap lingkungan. Lebih baik menunda pembangunannya jika memang tidak bisa memenuhi syarat-syarat pembangunan ramah lingkungan dari pada kelak alam yang akan melakukan 'balas dendam' dengan mendatangkan bencana tak terperi bagi umat manusia.
salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H