Tepatkah rencana pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan kepada Letnan Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo? Pertanyaan itu menyeruak setelah Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengisyaratkan pemerintah akan mengumumkan pemberian gelar pahlawan kepada mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) tersebut pada peringatan Hari Pahlawan 10 November mendatang. Saat ini pembahasan di Dewan Gelar sudah selesai sehingga tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo.
Melihat situasi saat ini di mana para mantan jenderal yang berkuasa di era Soeharto memberikan reaksi keras terhadap upaya pemerintah membuka kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi menyusul peristiwa Gerakan 30 September/PKI, dipastikan Jokowi akan menyetujui usulan Menteri Sosial melalui Dewan Gelar tersebut. Namun para penggiat HAM akan menolak keras karena RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie ditengarai ikut aktif dalam upaya “pembersihan” terhadap kader dan simpatisan PKI dengan cara-cara yang melanggar HAM.
Mantan Komandan Peleton 1 Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan mengakui, pasukannya ikut melakukan pengejaran terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam G30S/PKI. Namun RPKAD yang dibantu dibantu Pemuda Ansor dan Muhammadiyah, menurut Sintong. hanya memburu para pemimpin PKI. RPKAD tidak melakukan tindakan semena-mena karena sudah membuat dua kategori yakni tokoh aktif dan pasif. Jika yang ditangkap ternyata tokoh pasif maka mereka langsung dilepaskan. Pernyataan Sintong disampaikan saat memberikan kesaksian dalam Simposium 1965 bertajuk “Membedah Tragedi 1965 dari Aspek Kesejarahan” 18-19 April lalu di Hotel Aryadhuta Jakarta Pusat.
Dugaan keterlibatan RPKAD dengan peristiwa yang berkobar pasca G30S/PKI juga banyak diungkap dalam berbagai literatur baik di dalam maupun luar negeri. The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies From Java and BalikaryaRobert Cribb (Monash University, 1990), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa (Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007), serta risalah Franz Magnis-Suseno Indonesia 1965-1966 Dalam Pengalaman Saya adalah contoh beberapa di antaranya.
Wacana untuk memberikan gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie juga sempat muncul di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun 2013 lalu, mantan Kasad yang juga anak Sarwo Edhie yakni Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo sempat mengatakan Dewan Gelar sudah setuju terhadap usulan Angkatan 1966 sehingga tinggal ditandatangani oleh SBY yang juga menantu Sarwo Edhie. Namun kuatnya desakan masyarakat, termasuk dari Komnas HAM dan masyarakat yang menandatangani petisi online gagasan Soe Tjen Marching yang tinggal di Belanda, sampai akhir jabatannya, SBY tidak ‘berani’ menandatangani keppres pengangkatan Sarwo Edhie sebagai pahlawan.
Di awal masa pemerintahan Jokowi, usulan itu muncul kembali. Bahkan dikabarkan Jokowi akan menetapkannya bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2014. Namun ternyata Jokowi menganulir warisan SBY tersebut. Sarwo Edhie pun batal menjadi pahlawan. Sempat muncul kekecewaan dari keluarga Sarwo Edhie sehingga kemudian timbul ide untuk membuat buku biografi Sarwo Edhie terutama untuk meluruskan seputar tudingan miring keterlibatannya dalam pembantaian massal pasca 65. Rencana penerbitan buku tersebut diungkap langsung oleh SBY.
Kini tiba-tiba usulan pemberian gelar pahlawan untuk Sarwo Edhie muncul kembali. Bahkan sudah disetujui Dewan Gelar sehingga tinggal menunggu tanda tangan Presiden Jokowi. Akankah hal itu terlaksana?
Penolakan dari elemen-elemen masyarakat yang concern pada penegakkan HAM pasti akan timbul kembali. Penolakan juga akan diserukan oleh mereka yang menjadi korban dari peristiwa tersebut seperti Soe Tjen Marching. Bahkan mungkin penolakan kali ini lebih dasyat dari sebelumnya. Namun dukungan juga akan bermunculan, disuarakan oleh elemen yang kontra terhadap mereka yang bersandar di balik isu HAM. Semangat yang mendukung akan berlipat-lipat karena terbawa ‘kemarahan’ mereka atas upaya Jokowi membuka peristiwa 65.
Jika melihat kepentingannya, Jokowi akan menyetujui usulan Sarwo Edhie menjadi pahlawan. Bagaimana pun Jokowi butuh sesuatu untuk meredam gejolak purnawirawan TNI seperti Kivlan Zen, Kiki Syahnarki dll yang mengecam gelaran simposium 1965 sehingga berencana akan menggelar simposium tandingan.
Dengan dikukuhkannya Sarwo Edhie menjadi pahlawan, minimal bisa mendinginkan suasana hati para jenderal yang tersinggung oleh kebijakan Jokowi yang ingin menuntaskan noda hitam sejarah Indonesia terkait peristiwa 65. Pemberian gelar pahlawan kepada tokoh yang dianggap paling berjasa dalam penumpasan PKI di Indonesia setidaknya juga akan meminimalisir tudingan Jokowi “memberi angin” kepada PKI.
Tetapi pada saat bersamaan Jokowi juga akan mendapat kecaman luar biasa dari para penggiat HAM baik di dalam maupun luar negeri. Artinya apa yang sudah dimulainya melalui simposium 65, menjadi sia-sia.
Sepanjang mampu mengelola “konflik” kedua pihak dengan baik, posisi politik Jokowi akan semakin kuat dan menentukan. Namun jika terpeleset “meniti buih” bukan tidak mungkin Jokowi justru akan dimusuhi oleh kedua pihak- menjadi musuh bersama.
Salam @yb
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H