DPR RI berusaha memasukkan kembali keharusan bagi calon petahana (incumbent) untuk mundur dari jabatannya setelah ditetapkan menjadi calon kepala daerah dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada). Jika syarat yang pernah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) itu disahkan dalam UU Pilkada yang saat ini masih digodok di DPR, maka Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) akan kehilangan hak konstitusional untuk kedua kalinya.
Pertama saat Ahok harus mundur dari jabatannya sebagai bupati Belitung Timur pada tahun 2006 lalu karena mengikuti pemilihan gubernur dan wakil gubernur Bangka Belitung 2007. Saat itu Ahok kehilangan hak konstitusionalnya selama 3 tahun 8 bulan karena setelah selesai kontestasi dan kalah, Ahok tidak bisa melanjutkan masa jabatannya sebagai Bupati Belitung Timur yang mestinya baru berakhir pada 3 Agustus 2010.
Kedua, jika UU Pilkada 2016 kembali mengharuskan calon petahana mundur, maka Ahok harus mundur sejak ditetapkan sebagai calon gubernur DKI 2017-2022 oleh KPUD. Itu artinya Ahok akan kehilangan hak konstitusionalnya lagi selama sekitar satu tahun karena sebenarnya masa jabatan gubernur yang saat ini diembannya baru akan berakhir pada 15 Oktober 2017 mendatang.
Munculnya wacana untuk menghidupkan kembali pasal yang sudah dihapus oleh MK, didasari anggapan dari sebagian anggota DPR bahwa UU Pilkada saat ini memuat pasal yang tidak memberikan perlakuan yang sama kepada seluruh calon peserta pilkada. Jika anggota DPRD/DPD/DPRD (termasuk Pegawai Negeri Sipil) harus mundur setelah ditetapkan menjadi peserta pilkada oleh KPU, mengapa gubernur, bupati dan wali kota beserta para wakilnya hanya diwajibkan cuti selama masa kampanye? Padahal antara legislator dan kepala daerah, sama-sama menduduki jabatan politik.
Lagi pula, jika alasan keharusan mundur dari jabatan politik ketika mengejar jabatan politik lain, untuk menghindari penyalahgunaan jabatan/kewenangan, mestinya yang harus mundur justru calon petahana mengingat para kepala daerah memiliki otoritas anggaran. Naiknya anggaran bantuan sosial di daerah-daerah yang akan melaksanakan pilkada mengindikasikan adanya politik anggaran yang dimainkan oleh calon petahana untuk mempertahankan kekuasaannya. Organisasi kemasyarakatan yang dibantu oleh pemda biasanya memiliki hubungannya dengan tim pemenangan calon petahana.
Namun berbagai alasan yang didengungkan dari Senayan sepertinya akan kandas. Pemerintah, melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, tetap berpatokan pada keputusan MK. Dengan demikian calon petahana tidak perlu mundur dari jabatannya, melainkan hanya mengajukan cuti selama masa kampanye. Hal itu sesuai dengan putusan MK atas permohonan uji materi (judicial review) terhadap pasal 58 huruf (q) UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan mantan Gubernur Lampung Sjacroedin ZP pada tahun 2008 lalu. Dalam amar putusannya MK membatalkan Pasal 58 huruf (q) UU Nomor 12 Tahun 2008. MK yang saat itu diketuai Jimly Asshiddiqie, menilai syarat pengunduran diri bagi calon yang sedang menjabat sebagaimana diatur Pasal 58 huruf q itu menimbulkan ketidakpastian hukum atas masa jabatan kepala daerah, yaitu lima tahun. Keharusan mundur bagi calon petahana juga bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945.
MK membenarkan kemungkinan adanya konflik kepentingan bagi incumbent. Tetapi untuk menutup peluang tersebut tidak harus dengan pengunduran diri calon petahana secara permanen. Sebab hal itu akan mengurangi hak konstitusionalnya. Sebagai solusinya, calon petahana cukup diberhentikan sementara waktu sejak pendaftaran sampai ditetapkannya calon kepala daerah terpilih oleh KPU.
Sedangkan keharusan mundur bagi anggota DPR, DPD dan DPRD sudah diputus MK pada tahun 2015 atas judicial review yang diajukan Ali Nurdin terhadap Pasal 7 huruf (s) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Ali Nurdin yang saat itu menjadi bakal calon bupati Pandeglang, Jawa Barat, merasa pelaksanaan pilkada tidak fair karena adanya keharusan mundur bagi anggota TNI/Polri, PNS dan pegawai BUMN, yang ikut kontestasi pilkada, namun pada saat bersamaan hal itu tidak berlaku bagi anggota DPR. MK mengabulkan gugatan itu sehingga dalam UU pilkada yang baru, DPR tidak bisa memasukkan kembali pasal yang memberi ruang anggota legislatif tidak perlu mundur saat mengikuti kontestasi pilkada.
Pembahasan UU Pilkada 2016 dipastikan masih alot. Saat ini lobi-lobi politik terhadap pemerintah masih terus dilakukan anggota DPR. Setidaknya ada tiga opsi yang tengah mereka perjuangkan. Opsi pertama, seluruh pejabat baik legislatif maupun eksekutif yang mengikuti kontestasi politik yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan, harus mundur. Opsi kedua, seluruh pejabat baik legislatif maupun eksekutif yang mengikuti kontestasi politik yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan, tidak diwajibkan mundur. Terakhir ketentuan mundur sebagaimana dimaksud dalam putusan MK disiasati dengan mundurnya anggota DPR dari jabatan struktural alat kelengkapan dewan seperti komisi.
Jika mengacu pada putusan MK sebelumnya, maka ketiga opsi tersebut sepertinya tidak ada yang akan diterima pemerintah. DPR dan pemerintah harus tunduk pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat (binding). Dengan demikian putusan tersebut tidak bisa diutak-atik lagi. Pendapat sebagian anggota DPR bahwa atas perkembangan zaman suatu putusan yang final dan binding masih memungkinkan untuk diubah tidak sepenuhnya salah. tetapi mestinya anggota DPR menggunakan lembaga yang sama untuk mengubahnya, bukan melalui lembaga politik. Hal ini perlu ditekankan agar ada kepastian hukum sehingga hukum tidak mengikuti rezim, namun rezim yang harus mengikuti hukum.
salam@yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H