Mengapa JK ngotot menjagokan Akom, sementara Jokowi memilih Setnov? Hal itu tidak terlepas dari kalkulasi politik Jokowi untuk mengamankan posisinya dan juga persiapan menghadapi pilpres 2019 mendatang. Kedekatan Akom dengan JK dan Agung Laksono, membuat Jokowi tidak nyaman. JK sewaktu-waktu bisa menjadikan kekuatan Golkar di DPR untuk menekan pemerintah.Â
Ingat, Golkar adalah pemilik kursi terbanyak setelah PDIP sehingga keberadaannya sangat strategis. Jika JK bisa memainkan Golkar untuk kepentingannya, posisi Jokowi sangat rawan karena sejumlah kader PDIP kerap menyuarakan perlawanan. Jokowi tidak berani menyandarkan kekuatannya hanya pada PDIP dan partai pengusung. Bagaimana pun Jokowi ini menjadi the real president- tidak di bawah pengaruh partai pengusung dan juga bayang-bayang JK yang lebih berpengalaman karena pernah menjadi wapres di eras sebelumnya.
Mengendalikan Setnov juga lebih ‘gampang’ daripada Akom. Orientasi politik Setnov tidak sampai ke RI 1 mengingat saat ini usianya sudah 61 tahun. Meski belum termasuk tua untuk menduduki jabatan politik, namun pasti akan kalah bersaing dengan tokoh-tokoh yang lebih muda. Catatan politik Setnov menunjukkan dirinya bukan operator lapangan, meski sempat menjadi ketua umum Bahumas Kosgoro. Bahkan sebelum mencuat kasus Papa Minta Saham, publik nyaris tidak mengenalnya.
Sementara Akom dengan usianya yang masih muda (51 tahun), sangat mungkin akan menjadi lawan Jokowi (54 tahun) di masa mendatang. Akom juga memiliki karir politik yang cemerlang. Merangkak dari bawah, Akom sukses menjadi anggota DPR selama empat periode. Akom juga pernah memegang sejumlah jabatan kunci di organisasi sayap Golkar, termasuk ketua umum Depinas SOKSI. Â
Kini Jokowi sudah berhasil ‘menjinakkan’ Golkar sehingga bisa mulai mengambil jarak dengan PDIP. Tes pertama Jokowi bisa dilihat dalam gelaran pilkada serentak 2017 mendatang, terutama di Jakarta. Setnov dengan dukungan LBP, tentu condong mendukung calon petahana Basuki Tjahaya Purnama, sementara PDIP telah ‘bersumpah’ untuk menumbangkan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Sebagai kader PDIP, Jokowi tentu dituntut untuk menunjukkan loyalitasnya. Akankah Jokowi bisa bermain aman?
Akankah JK benar-benar mundur? Ataukah hanya mundur sejenak dari hiruk-pikuk politik? Dalam beberapa bulan ke depan hal itu akan terjawab. Namun alangkah bijak- demi kepentingan bangsa yang lebih luas, bukan sekedar nafsu politik pribadi dan golongannya saja- jika JK tetap berada di belakang Jokowi tanpa perlu melakukan manuver-manuver politik yang berbahaya.
Salam @yb
Sumber bacaan : di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H