Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membaca Arah Golkar di Bawah Kendali Setya Novanto

17 Mei 2016   08:52 Diperbarui: 17 Mei 2016   11:55 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rabu malam, 16 Desember 2015, publik yang tengah mengikuti sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD) di gedung DPR dikejutkan dengan aksi pengunduran diri Setya Novanto (Setnov) dari kursi ketua DPR. Sebagian masyarakat kecewa karena saat itu MKD sedang menyiapkan putusan untuk Setnov yang terbukti melakukan perbuatan tercela, mencatut nama Presiden Joko Widodo untuk meminta saham kepada PT Freeport Indonesia.

Masyarakat semakin kecewa karena MKD kemudian menggunakan surat pengunduran diri Setnov untuk menutup kasus yang dikenal dengan sebutan Papa Minta Saham tersebut, tanpa ada saksi apapun.

Dengan putusan MKD seperti itu, maka karir politik Setnov yang pada awal mencuatnya kasus Papa Minta Saham diprediksi akan habis, tidak terbukti. Bahkan kemudian Partai Golkar mengangkat Setnov sebagai ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI, sebuah posisi yang cukup strategis karena tetap bisa menjadi pengendali suara Golkar di DPR. Setnov pun mampu memberikan tekanan kepada pemerintah untuk tidak melanjutkan proses penyidikan kasus Papa Minta Saham yang saat itu sudah bergulir di Kejaksaan Agung dengan barter dukungan politik.

Sejak itu pula nama Setnov terus melejit. Kisruh Partai Golkar yang melibatkan beberapa faksi dengan dua faksi utama pimpinan Aburizal Bakrie (Ical) dan Agung Laksono, mencapai klimaks setelah Ical menyetujui dilakukan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar untuk memilih ketua yang baru.

Secara resmi Golkar juga menyatakan masuk ke gerbong pemerintah sehingga proses politik selanjutnya berjalan di bawah kendali pemerintah. Salah satu yang mencolok adalah terjadinya beberapa kali perubahan jadwal Munaslub hanya untuk menyesuaikan dengan jadwal kerja Presiden Jokowi.

Dari situ sebenarnya sudah bisa dibaca siapa yang akan menggantikan Ical seperti pernah diulas penulis di sini. Menko Polhukam Luhut BInsar Panjaitan (LBP) secara terbuka menyatakan dukungannya kepada Setnov. Meski LBP membungkus apa yang dilakukan merupakan aksi pribadi sebagai kader Golkar, namun publik membacanya sebagai pesan Jokowi.

Pada akhirnya LBP pun mengakui hal itu. Terlebih pada saat bersamaan kubu Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang mendukung Ade Komarudin (Akom) mulai menggeliat. Beberapa kali JK melakukan counter terhadap isu yang dihembuskan LBP. Salah satunya terkait pernyataan LBP jika Jokowi tidak menghendaki ketua Golkar merangkap jabatan.

Pernyataan itu jelas menohok Akom yang masih menjabat sebagai ketua DPR. Menurut JK Presiden Jokowi tidak pernah melarang ketua partai politik rangkap jabatan. JK pun mencontohkan Ketua DPP PAN Zulkifli Hasan yang merangkap jabatan sebagai Ketua MPR.

Kini perebuatan ketua Golkar sudah usai. Setnov terpilih menjadi ketua Golkar melalui voting tertutup. Setnov memperoleh dukungan meraih 277 suara, sementara Ade Komarudin 173 suara, Aziz Syamsuddin: 48 suara, Syahrul Yasin Limpo: 27 suara, Airlangga Hartarto: 14 suara, Mahyudin: 2 suara, Priyo Budi Santoso: 1 suara, Indra Bambang Utoyo: 1 suara. Sebenarnya Akom masih bisa menantang Setnov pada putaran kedua karena perolehan suaranya di atas 30 persen.

Namun Akom menyatakan mundur dan tidak menghendaki dilakukan pemilihan putaran kedua. Akom tentu sudah berhitung. Jika pun dipaksakan, kans yang dimiliki sangat kecil. Di sisi lain, jika sampai kalah, kengototannya bisa berdampak pada pelengseran dirinya dari jabatan ketua DPR. Dengan kebesaran dirinya mundur dari putaran kedua, tentu Setnov tidak akan berani mengutak-atik kursi ketua DPR karena bagaimana pun Akom memiliki pendukung yang lumayan signifinan.

Kini, di bawah dirigen Setnov, dan Ical yang menduduki posisi ketua Dewan Penasehat, ke mana Partai Golkar akan bergerak? Meski forum Munaslub telah mengikrarkan dukungan kepada pemerintah, dan ada jasa luar bisa besar LBP yang merupakan bagian dari pemerintah, tidaklah serta-merta Golkar akan terus seirama dengan pemerintah (baca: Jokowi).

Setnov tentu memiliki agenda-agenda politik tersendiri. Sebagai mantan bendahara Golkar yang sangat piawai mendulang rupiah, Setnov akan membawa Golkar menjadi partai yang kuat secara finansial. Dengan kekuatan itu, Golkar tidak akan lagi menjadi subordinasi dalam percaturan politik tanah air sebagaimana yang dilakoni selama di bawah kendali Ical.

Golkar tidak perlu lagi memikirkan kepentingan partai-partai yang dulu tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) karena forum Munaslub juga sudah secara resmi menyatakan Golkar keluar dari koalisi yang diinisiasi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan kader-kader Partai Keadilan Sejahtera tersebut.

Komposisi kepengurusan DPP juga masih akan tetap didominasi wajah-wajah lama yang kemarin mendukung Munas Bali. Setnov hanya akan mengakomodir beberapa nama dari kubu Munas Ancol yang sudah terang-terangan mendukung dirinya seperti Agus Gumiwang Kartasasmita. Kemungkinan yang paling realistis, Setnov akan menyerahkan jabatan ketua fraksi kepada Agus sehingga menutup peluang Bambang Soesatyo.

Konsolidasi di level DPD, terutama DPD II akan berlangsung kondusif karena kekuatan finansial Setnov. Pada tahun pertama kepemimpinannya, Setnov tidak akan ‘memeras’ DPD namun meminta loyalitas tanpa syarat. Untuk yang satu ini, Setnov memiliki ketegasan yang tidak ada dalam diri Ical. Setnov tipe pemimpin ndableg- tidak mudah digertak, sehingga kader-kader di bawah tidak akan terlalu berani mengumbar ketidakpatuhannya karena pasti akan langsung berujung pada pemecatan.

Bagaimana dengan Jokowi? Meski kemenangan Setnov sudah sesuai harapannya, namun ada beberapa hal yang harus menjadi catatan. Benar, Jokowi tidak perlu memperhitungkan kemungkinan Setnov akan menjadi penantangnya dalam Pilpres 2019. Tetapi bukan mustahil Setnov akan meminta imbalan yang luar biasa berat manakala Jokowi membutuhkan dukungannya.

Sebagai penagih hutang yang handal- salah satunya berhasil menagih piutang Bank Bali di Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara sebesar Rp 3 triliun, Setnov tidak akan melepas begitu saja modal yang dimiliki untuk kepentingan pihak lain. Aset politik yang dimiliki Golkar sangat potensial untuk digunakan sebagai kekuatan penekan agar keinginannya tercapai. Riza Chalid pun bisa tidur nyenyak saat nanti pulang ke Indonesia seiring perubahan peta kekuatan politik saat ini.

Jadi, Jokowi harus mewaspadai gerak Setnov dari sisi ekonomi, bukan kekuasaan. Di bawah kendali Setnov, Golkar akan menjadi alat gebuk untuk target-target tertentu di luar urusan politik.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun