Dalam dua hari terakhir aku berpikir keras kira-kira judul apa yang paling tepat untuk tulisan terkait penghentian pengiriman TKI sektor tata laksana rumah tangga (PLRT) alias pekerja sektor domestik alias asisten rumah tangga alias pembantu rumah tangga alias babu ke luar negeri. Namun setelah membaca berita antusiasme diaspora Indonesia di Korsel menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo, akhirnya aku memilih judul : Jokowi Layak Diimpeachment!
Penghentian pengiriman PLRT berlaku efektif mulai bulan Mei ini. Targetnya, tahun depan tidak ada lagi pengiriman PLRT ke luar negeri. Hal itu, menurut Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja Soes Hindarno, sesuai permintaan Jokowi. Pemerintah hanya akan mengirim tenaga kerja Indonesia (TKI) yang profesional, memiliki ketrampilan tertentu, dengan tempat kerja tujuan seperti pabrik, rumah sakit, rumah makan dan lain-lain.
Pada titik ini, aku sangat setuju. Kita harus berani untuk menghentikan perbudakan modern. Ingat, masih banyak negara yang tidak memberikan perlindungan memadai kepada para pekerja asing yang bekerja di sektor domestik, terutama sekali negara-negara di kawasan Timur Tengah. Mereka bekerja tanpa hak istirahat, 24 jam harus standby untuk melayani kebutuhan majikannya. Tidak peduli tengah malam, atau dinihari, manakala majikannya lapar, maka pembantunya harus menyiapkan makanan.
Aku tidak memungkiri, di beberapa negara lainnya seperti Hongkong dan Taiwan, PLRT mendapat perlakuan yang lebih baik. Mereka mendapat libur di hari Minggu dan juga hanya dibebani satu jenis pekerjaan. Jika tugasnya masak, ya hanya masak dan bersih-bersih rumah. Jika untuk jaga lansia, ya hanya menjaga dan merawat lansia. Namun tetap saja, meski regulasinya telah baik, masih banyak cerita duka dari kedua negara itu terkait posisi PLRT. Masih banyak dari PLRT yang diperlakukan tidak sesuai aturan. Bukankah masih banyak PLRT di Taiwan yang tidak mendapat hak libur hari Minggu?
Belum lagi ancaman kekerasan seksual dan juga kekerasan psikis. Contoh terkecil kekerasan psikis adalah ketika perempuan Muslim lulusan madrasah tiba-tiba bekerja di rumah warga non Muslim di Hongkong. Sebagai pembantu rumah tangga, dia harus memasak semua makanan majikannya, termasuk mengolah daging babi. Tidak perlu diperdebatankan kelezatan, kandungan protein dan manfaat daging babi. Namun yang pasti pekerjaan mengolah daging babi (dari mencincang hingga memasaknya) adalah siksaan batin bagi si pembantu yang Muslim. Bayangkan, sesuatu yang selama bertahun-tahun diajarkan, ditanamkan dalam pikirannya, bahwa daging babi itu haram, sekarang harus ia pegang dan masak. Mungkin saja karena toleransinya, majikannya tidak akan memaksa dia untuk memakan daging babi hasil olahannya. Namun mungkinkah saat memasak, si pembantu tidak mencicipi kuahnya untuk memastikan apakah sudah lezat, keasinan, kemanisan, kepedasan, etc? Tidak mencicipi daging babi itu untuk memastikan apakah sudah empuk atau belum?
Memang ada ayat yang bisa dijadikan alas pembenar bagi Muslim yang berada di posisi itu. Silahkan baca di sini
Pertanyaannya, jika itu dilakukan secara berkala, bahkan mungkin rutin, dimana faktor terpaksanya? Mengapa dia tidak berusaha untuk menghindar dari keterpaksaan tadi? Â
Dengan alasan-alasan di atas, maka kembali aku tegaskan pada titik ini aku sangat setuju jika pengirman PLRT ke luar negeri dihentikan.
Persoalannya adalah sudah siapkah pemerintah kita menerima lonjakkan pengangguran? Berapa banyak lapangan pekerjaan yang tersedia? Apakah lapangan pekerjaan tersebut bisa dimasuki tenaga kerja non skill? Ingat, kebanyakan TKW kita yang bekerja di sektor non formal tidak memiliki ketrampilan atau keahlian khusus di luar urusan dapur. Jika ternyata lapangan pekerjaan yang tersedia hanya untuk mereka yang memiliki ketrampilan, apakah itu solusi? Argumen bahwa dengan tersedianya lapangan pekerjaan untuk para suami, maka sang istri tidak perlu bekerja ke luar negeri, jelas ngawur bin ngasal.Â
Silahkan disurvei, jika sebelum tahun 2000, rata-rata TKW kita yang bekerja di luar negeri hanya berpendidikan SMP ke bawah dan statusnya kawin/janda, maka di era setelah reformasi, banyak sekali anak-anak perempuan lulusan SMA/sederajat berangkat ke luar negeri di mana sebagian di antaranya belum punya pacar. Kenekadan para srikandi muda Indonesia tersebut dipicu tingginya kesulitan ekonomi di dalam negeri ditambah cerita manis para TKW yang pulang dari luar negeri. Banyak loh TKW ketika pulang ke desanya berpenampilan seperti bintang Korea. Saat ini, dari data Kementerian Tenaga Kerja, setidaknya ada 5 juta perempuan Indonesia yang bekerja di sektor domestik di luar negeri. Tidak heran jika sekarang banyak laki-laki usia produktif di Indonesia yang masih jomblo (yang ini murni kidding).
Penghentian pengiriman tenaga kerja sektor domestik akan menimbulkan dampak sosial yang saling bertaut. Ekonomi keluarga-keluarga yang selama ini mengandalkan uang kiriman dari anak perempuannya di luar negeri, akan langsung limbung. Jika saja dalam keluarga itu ada tenaga kerja laki-laki usia produktif dan bisa bekerja pada lapangan kerja baru yang diciptakan pemerintah, mungkin tidak akan menjadi persoalan. Bagaimana jika ternyata anaknya perempuan semua?
Mungkin ada yang akan menyanggah, hanya pemalas saja yang banyak alasan. Kan bisa saja yang laki-laki kerja di proyek atau pabrik dan para perempuan muda itu jualan cendol atau jamu kuat di sekitar lokasi proyek-pabrik.  Bagi Anda yang berpikiran seperti itu, aku akan balik menyanggahnya, berapa tenaga kerja yang bisa terserap dalam  usaha es cendol dan jamu kuat? Silahkan Anda bayangkan, jika dalam satu lokasi proyek/pabrik, ada 100 perempuan cantik jebolan Hongkong jualan es cendol dan jamu kuat. Seperti apa kerasnya persaingan di antara mereka?
Jadi, esensinya bukan di situ. Pemerintah harus terlebih dahulu menyiapkan lapangan pekerjaan yang cukup untuk menampung angkatan kerja perempuan di dalam negeri sebelum memutuskan hal itu. Pemerintah harus yakin ekonomi kita cukup stabil dan memiliki ketahanan andai terjadi goncangan akibat kebijakannya. Sebab, bukan hanya TKW dan keluarganya saja yang akan menerima dampaknya secara langsung, namun juga sel-sel ekonomi lainnya yang selama ini sudah saling bergantung, seperti sektor jasa pengiriman uang dan barang. Mungkin juga perlu dibangun lebih banyak lagi balai latihan kerja gratis agar para eks TKW bisa mendapatkan ketrampilan yang memadai sebelum kembali ke luar negeri. Masalahnya, seberapa besar pasar tenaga kerja skill di luar negeri? Mampukah tenaga tenaga kerja kita bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain?
Lalu apa hubungannya dengan impeachment terhadap Presiden Jokowi? Nanti aku pikirkan kembali. Sekarang aku tidur siang dulu sambil membayangkan 100 perempuan cantik jualan es cendol dan jamu kuat.
salam @yb
sumber bacaan: di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H