Pekerja Illegal China yang tertangkap di area lanud Halim | Istimewa
Penangkapan terhadap 7 orang, di mana 5 di antaranya warga Republik Rakyat China (RRC) di Lanud Halim Perdanakususma Jakarta Timur, Selasa pagi, 26 April 2016, jangan dianggap remeh. Persoalan ini sangat serius mengingat 5 pekerja asal China tersebut ternyata ‘penyusup’ karena tidak ada ikatan kerja dengan PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) yang tengah mengerjakan pekerjaan proyek kereta cepat di sekitar lokasi tersebut.
Mereka juga terbukti tidak dapat menunjukan dokumen perjalanan serta izin tinggalnya selama di Indonesia. Isu adanya mobilisasi warga luar untuk memenangkan calon petahana Basuki Tjahaya Purnama yang akan bertarung pada Pilkada DKI Jakarta 2017, yang selama ini hanya ada di ruang-ruang diskusi, sontak seperti mendapat pembenaran.
Adanya pekerja-pekerja asal China di sejumlah proyek seperti pabrik semen Merah Putih di Bayah Kabupaten Lebak, pembangunan PLTU Cilacap dan lain-lain, sudah menjadi isu politik berkepanjangan. Bahkan keinginan Presiden Joko Widodo untuk menarik 10 juta wisatawan asal China ditafsirkan sebagai upaya mobilisasi warga Tiongkok ke Indonesia.
Dalam diskursus tersebut, kedatangan orang-orang China ke Indonesia dianggap sebagai bagian ekspansi terselubung. Awalnya mereka datang sebagai pekerja, lalu tinggal dan menetap di Indonesia. Kebijakan pemerintah yang memberi kelonggaran terhadap warga asing untuk bekerja di Indonesia, dianggap sebagai bagian dari konspirasi untuk mewujudkan rencana tersebut. Dalam perdebatan-perdebatan panjang, penulis berusaha netral, tapi sesekali cenderung membela kebijakan Jokowi.
Pertimbangannya, setelah diberlakukannya zona kawasan perdagangan bebas Asean (AFTA), lalu lintas manusia menjadi lebih tinggi dan batas-batas tradisional suatu negara- dalam hubungannya dengan lalu lintas manusia tersebut, dengan sendirinya akan runtuh. China yang serumpun dengan masyarakat Asean, pasti akan teribat di dalamnya meski secara politik belum ada perjanjian kawasan bebas antara Asean dengan RRC.
Namun penyusupan 5 warga China ke pangkalan militer Halim Perdanakusuma- meski sebagian wilayah sudah dibuka untuk bandara umum, menjadi titik balik sikap penulis. Ini persoalan yang sangat serius karena menyangkut sedikitnya tiga hal.
Pertama, infiltrasi asing sudah menjadi bagian dari perang intelejen sehingga setiap negara sangat ketat mengawasi lalu-lintas warga asing di negaranya. Infiltrasi bisa dilakukan melalui agama, budaya dan investasi. Klausul dibolehkannya investor membawa peralatan sekaligus pekerjanya dari negara asal dengan alasan sebagai tenaga ahli (key man) yang kelak akan melakukan alih teknologi setelah proyek investasi itu berjalan, seringkali dijadikan jalan pembuka bagi kegiatan penyusupan tersebut. Artinya, di antara para pekerja yang dibawa, sangat mungkin beberapa di antaranya adalah intelejen yang disusupkan.
Dalam kasus banjirnya pekerja China ke Indonesia, penyusupan bukan untuk memata-matai kegiatan militer atau perdagangan di Indonesia, namun dimaksudkan untuk mempengaruhi kebijakan perdagangan dan politik luar negeri Indonesia. Mereka ditengarai akan dijadikan “pasukan pertama” yang dengan tugas khusus membuka wilayah baru untuk menampung aliran “tenaga kerja” berikutnya.
Tujuan akhir dari kegiatan ini adalah masuknya warga negara China ke Indonesia dalam jumlah signifikan dan ikut terlibat aktif dalam kegiatan politik. Meski sudah dilakukan reformasi birokrasi dan pembenahan sistem yang ada, bukan perkara sulit untuk mendapatkan KTP bagi warga asing yang menyusup ke Indonesia. Apalagi jika hal itu didukung oleh pemangku kekuasaan di daerah sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan KTP.
Kedua, betapa bobroknya sistem pengawasan lalu lintas manusia di Indonesia. Mengapa tenaga kerja tanpa dokumen memadai bisa masuk dan bekerja di Indonesia. Jika saja tidak ada peristiwa penangkapan oleh TNI Angkatan Udara yang bertugas di Halim Perdanakusuma, pasti ceritanya akan lain. Mereka akan dengan leluasa meneruskan aktifitasnya.