Semangat untuk tampil sebagai manusia sempurna, pemimpin tanpa cela, acapkali mengikat seseorang pada mata rantai kebohongan. Namun tidak selamanya kepalsuan mampu menutupi diri dari semua kelemahan-kelemahannya sebagai manusia. Terkadang muncul dinamika di luar perkiraannya. Terjadi peristiwa yang di luar nalarnya sehingga dia akan gagap untuk menutup dengan kepalsuan yang belum disiapkan. Karena tidak sempat lagi menutupi kebohongannya yang sudah terlanjur teruar, jalan satu-satunya adalah dengan menyalahkan pihak lain: orang lain, alam, bahkan benda-benda mati.
Padahal jika tetap berpijak di bumi, tetap menyandarkan diri pada suatu realitas, dia tidak perlu melakukan itu semua hanya untuk menambal lubang kelemahan diri. Manusia tetaplah manusia, yang memiliki kelebihan dan juga kelemahan. Tidak ada manusia yang selalu benar dan atau selalu salah dalam segala hal. Jika ada manusia yang terlihat selalu benar, sejatinya bukan karena memang dia selalu benar, namun karena kemampuannya memoles diri menutupi kelemahannya.
Apakah hal itu haram? Tidak, sepanjang cara memolesnya tidak dengan merugikan orang lain, tidak mengkambing-hitamkan orang lain. Contohnya, jika aku diajak berdebat mengenai akuntasi, jelas aku akan babak-belur karena aku tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang ilmu yang berkaitan dengan catat mencatat dan analisa data (keuangan) tersebut. Ketika ada yang mengajak berdebat atau memancingnya dengan ejekan, aku pun berbohong untuk menutupi kelemahanku dengan berbagai alasan: topiknya tidak menarik, sudah basi, dll.
Sebagai pejabat publik, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap semua persoalan yang menyangkut tata kelola pemerintahan dan persoalan sosial yang muncul di tengah masyarakat DKI. Meski berkedudukan sebagai pemimpin yang memiliki perangkat dan aparat memadai dalam rangka membantu tugas-tugasnya, namun Ahok- demikian beliau akrab disapa, tetaplah manusia biasa. Ada hal-hal yang tidak dipahami, terutama ketika menyangkut teknis pelaksanaan di lapangan. Ada hal-hal di luar kendalinya menyangkut etos kerja dan pola pikir bawahannya, meski segala daya- dari reward sampai punishment, Â telah diberikan. Ada keterbatasan tenaga dan pikiran.
Namun dalam beberapa kasus, Ahok mencoba tampil sempurna dan seolah menguasai segala hal. Itu sebabnya kita sering disuguhi aktrasi verbal- berbeda antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya, berbeda antara realita di lapangan dengan yang diucapkan. Manakala terpojok oleh pernyataannya sendiri, maka satu-satunya celah untuk menghindar adalah dengan menyalahkan pihak lain. Mengapa Ahok melakukan itu? Padahal sikapnya tersebut justru mendegradasi capaiannya yang sudah luar biasa.
Mari kita lihat contohnya, dalam kasus banjir. Ketika awal tahun lalu, air sempat menggenangi sebagaian ruas Jalan Budi Kemuliaan dan MH Thamrin yang mengarah ke istana (patung kuda), publik dibuat  tercengang oleh penyebabnya yakni tumpukan kulit kabel di dalam got sepanjang Jalan Merdeka (Selatan hingga Timur) dan Jalan Abdul Muis. Dengan telunjuk teracung Ahok menuding ada pihak-pihak yang melakukan sabotase karena tidak suka dengan kebijakannya, dengan tujuan akhir menjegal ambisinya untuk merengkuh jabatan keduanya sebagai gubernur DKI. Namun setelah kepolisian dan Tim Amphibi TNI AL turun tangan, diketahui kulit kabel itu merupakan sisa pencurian (tembaga) kabel. Gerombolan maling ini tidak ada kaitannya dengan hiruk-pikuk pilkda DKI Jakarta.
Apa dampaknya bagi Ahok? Masyarakat yang semula senang karena banjir telah berkurang menjadi kehilangan respek karena sikap Ahok yang main tuding pada pihak lain tanpa menunggu bukti terlebih dahulu. Orang-orang yang selama ini diposisikan sebagai musuh Ahok, menjadi saran kemarahan dan seperti halnya Ahok, para pendukungnya pun, dengan enteng menuduhnya sebagai pihak di balik penyumbatan gorong-gorong dengan kulit kabel. Dalam kasus ini, sikap kasar, main tuding, fitnah, dan grasa-grusu, benar-benar ditelanjangi sebagai sebuah sikap yang salah dan memalukan. Bahwa hal itu tidak membuat Ahok dan para pendukungnya merasa malu, itu soal lain. Namun masyarakat yang tidak terlibat dalam dukung-menolak, pro-anti terhadap Ahok, mendapat satu poin sebagai bahan pertimbangan dalam menilai watak pemimpinnya.
Dalam kasus banjir yang terjadi Kamis (21/4) kemarin, awalnya Ahok ‘menyalahkan’ naiknya air laut bersamaan dengan anomali cuaca La Nina. Pernyataan itu tentu untuk menutupi pernyataan beberapa bulan sebelumnya di mana Ahok sesumbar Jakarta tidak akan kebanjiran meski diguyur hujan tiga malam. Fakta bahwa sejumlah wilayah di Jakarta kebanjiran ketika terjadi hujan semalam, membuat Ahok panik (malu?). Namun belakangan, setelah melakukan rapat dengan anak buahnya, Ahok meralat ucapannya. Ahok menyalahkan Walikota Jakarta Utara Rustam Effendi dan menudingnya pro Yusril Ihza Mahendra karena ‘membiarkan’ terjadinya banjir di wilayahnya. Tudingan itu berkait dengan keengganan Sang Walikota untuk ‘mengusir’ warga yang mendiami kawasan di Ancol yang dianggap sebagai biang penyempitan saluran (bottle neck).
Selain walikota, Ahok juga menyalahkan penjaga pompa yang lalai menghidupkan pompa air sehingga terjadi banjir di sekitar Gunung Sahari. Terakhir Ahok ‘ngamuk’ karena  anak buahnya menemukan kano (perahu kecil) di dalam got di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Selain kano, juga ditemukan karung pasir dan sampah lainnya. Ahok menuding kano, karung pasir dan sampah-sampah lainnya sengaja dimasukkan ke dalam got. Meski tidak disebutkan secara gamblang sebagai sabotase agar Jakarta banjir sebagaimana kasus kulit kabel, Ahok jelas mengatakan ada unsur kesengajaan. Itu sebabnya Ahok memerintahkan pegawainya agar tidak percaya begitu saja manakala ada orang yang menggali saluran dengan alasan perbaikan kabel.
Mengapa Ahok begitu marah atas hal-hal yang disebutkan di atas? Mencari penyebab lain mengapa masih terjadi banjir padahal sudah ribuan rumah di sepanjang bantaran sungai digusur, adalah tindakan yang bijak. Namun mengumbar amarah dengan melakukan hukuman verbal (caci-maki) kepada pihak lain, belum tentu tepat mengingat bisa saja bukan itu penyebabnya. Bagaimana menyalahkan kano dan karung pasir sementara di daerah ditemukan kano tersebut justru tidak terjadi banjir? Banjirnya di Gunung Sahari, tapi menyalahkan kano di MH Thamrin, ibarat luka di punggung tapi menyalahkan jidat.
Keberadaan kabel, kano, karung pasir dan lain-lain di dalam got, mestinya justru memalukan pihak-pihak terkait karena itu menjadi bukti selama ini pembersihan got oleh pasukan Penanganan Prasarana dan Sarana Umum belum efektif. Belum semua daerah bisa dijangkau. Masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi. Tanpa disuarakan pun, masyarakat Jakarta mengakui Ahok mampu mengurangi banjir di Jakarta, meski dengan mengorbankan banyak hal. Namun hal itu menjadi sia-sia manakala Ahok tidak mau mengakui tugasnya belum selesai dalam membenahi carut-marut drainase di Jakarta. Sebagian masyarakat justru memandang sinis ketika Ahok menggunakan jurus pendekar mabok untuk menutupi kelemahannya. Â Ahok tidak mampu mendudukkan suatu persoalan dan mencari jalan keluarnya (problem solving) dengan cara-cara yang elegan.
Hal itu juga sering kita jumpai di lapak K. Kita- terutama aku, tidak terbiasa melakukan komunikasi verbal (yang ditulis) dua arah (dialog) terhadap suatu masalah dengan nalar yang runut dan kepala dingin sehingga hasilnya dapat diterima sebagai suatu alas pembenar yang kuat.
Inilah dialetika para pembohong yang menafikan logika kebenaran karena dialasi semangat untuk mencari pembenaran atas kelemahannya.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H