Sebagai langkah awal pembukaan kasus pelanggaran HAM berat--istilah ini paling disukai kelompok penggiat HAM, di masa lalu, hari ini digelar sebuah Simposium 1965 bertajuk “Membedah Tragedi 1965 dari Aspek Kesejarahan” di Hotel Aryadhuta, Jakarta Pusat.
Simposium yang ditentang sejumlah kalangan itu dihadiri para tokoh-tokoh penggiat HAM, Komnas HAM, pelaku sejarah--baik yang melakukan operasi penghilangan paksa kader dan simpatisan PKI maupun keluarga korban.
Sejumlah menteri juga ikut hadir seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, Meneri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo dan Menkum HAM Yasonna Laoly serta Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Gubernur Lemhanas Agus Widjojo dan sejumlah tokoh masyarakat seperti Buya Syafii Maarif serta Romo Franz Magnis Suseno.
Penulis tidak akan masuk ke pokok bahasan soal berapa sebenarnya jumlah korban tragedi G30S/PKI. Meski Letnan Jenderal (Purn) TNI Sintong Pandjaitan sebagai mantan anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kala itu dipimpin Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo, mengklaim jumlah korban tidak lebih dari 500 ribu orang.
Namun tentu pernyataannya masih membutuhkan klarifikasi sebagaimana diungkapkan oleh Luhut Panjaitan yang akan menjadikan pernyataan Sintong sebagai bahan rekonsiliasi yang tengah disusun pemerintah.
Tulisan ini juga tidak akan mengupas soal Gerwani yang menurut Sumini--salah satu mantan anggotanya yang hadir dalam simposium tersebut, korban diskriminasi karena diposisikan sebagai kelompok amoral yang menari-nari sambil menelanjangi dan menyileti tubuh para jenderal yang diculik.
Biarkan sejarah menemukan kebenaran dengan caranya sendiri.
Penulis hanya ingin mengapresiasi sekaligus mengingatkan bahwa langkah Presiden Jokowi merupakan langkah yang sangat berani sekaligus sangat berbahaya. Ibaratnya, Jokowi tengah membuka kotak pandora.
Bukan mustahil, isu PKI akan kembali berhembus kencang setelah simposium ini. Bukankah sebelumnya para penentang simposium berkali-kali menuduh kegiatan tersebut ‘diboncengi’ PKI? Badai politik maha dahsyat bisa saja terjadi andai kemudian pemerintah gagal mengelola isu itu menjadi sesuatu yang konstruktif.
Seperti kita ketahui, mitos kotak pandora selalu digaungkan manakala bangsa ini hendak membuka tragedi di masa lalu. Ada ketakutan, kekuatiran, dan paranoid terhadap kasus-kasus tersebut.
Jika kasus G30S/PKI dibuka, takutnya akan melukai hati para korbannya sekaligus membangkitkan kembali amarah orang-orang yang juga menjadi korban politik PKI. Kalangan kyai Nahdlatul Ulama di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, adalah pihak yang paling diserang oleh agitasi PKI.