[caption caption="Simposium 1965, TRIBUNNEWS/HERUDIN"][/caption]Indonesia memiliki banyak tragedi kemanusiaan yang tidak terungkap dengan gamblang. Tragedi itu tidak hanya terkait dengan pandangan politik, namun juga dimensi lainnya seperti sentimen kesukuan dan kasta sosial.
Masyarakat Indonesia tidak akan pernah tahu berapa sesungguhnya korban kerusuhan Mei 1998, berapa rakyat sipil tak berdosa yang tewas dalam penumpasan DI/TII, berapa banyak anak-anak yang tewas terpanggang ketika militer menyerbu Desa Talangsari - Lampung, berapa banyak nyawa yang melayang saat pemberlakuan daerah operasi militer di Papua dan Aceh.
Induk dari segala tragedi yang masih diselimuti misteri, termasuk siapa pelaku sesungguhnya dan berapa ratus ribu korbannya, adalah geger 1965 atau yang familiar disebut dengan peristiwa G30S/PKI atau Gerakan 30 September oleh PKI.
Sedikitnya ada dua hal mengapa banyak tragedi kemanusiaan tidak terungkap dengan gamblang. Pertama, ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah.
Keterangan lembaga pemerintah, terutama militer sebagai pihak yang ‘melakukan operasi”, justru dianggap sebagai pengaburan fakta. Kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah sehingga masyarakat lebih percaya terhadap sumber-sumber tidak resmi, terutama yang berasal dari luar negeri.
Kedua, adu kepentingan. Pemerintah memiliki kepentingan untuk ‘mengecilkan’ jumlah korban tragedi agar tidak menimbulkan banyak pertanyaan dari masyarakat. Kecilnya korban operasi dari kalangan “sipil tak berdaya”, juga akan dianggap sebagai prestasi.
Tidak heran jika aparat menempatkan semua korban dalam sebuah kerusuhan sebagai ‘pelaku’ bahkan ‘provokator’ kerusuhan itu sendiri, untuk meniadakan korban “salah tembak”.
Di sisi lain, kelompok penggiat Hak Azasi Manusia (HAM) juga memiliki agenda tersendiri. Meski sebagian bekerja dengan nurani, namun sulit dipungkiri ada juga dari mereka yang mencoba “menangguk untung” dengan memoles jumlah korban sebuah tragedi hingga berlipat-lipat disertai narasi nan memilukan.
Kini era berganti. Pemerintahan Presiden Joko Widodo memandang perlu untuk mengungkap semua tabir gelap di balik serentetan tragedi kemanusian yang terjadi sejak republik ini berdiri. Jokowi beralasan, pengungkapan tragedi itu dimaksudkan agar generasi mendatang tidak lagi memikul sejarah kelam bangsanya.
Sebuah terobosan dan sikap politik yang sangat berani mengingat tragedi-tragedi itu pastinya bersinggungan dengan banyak pihak, baik yang masih hidup, masih berkuasa, maupun yang sudah meninggal namun memiliki keturunan yang tak kalah berpengaruh. Ingat, republik ini baru berdiri 71 tahun berdiri.
Baru sedikit di atas rerata usia manusia Indonesia. Artinya, saat ini masih banyak pelaku sejarah terkait tragedi-tragedi tersebut yang masih segar-bugar. Apalagi jika menyangkut peristiwa G30S/PKI yang baru berumur 51 tahun.