Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wacana Menaikkan Syarat Dukungan Calon Independen Bukti Kekonyolan DPR

15 Maret 2016   13:39 Diperbarui: 15 Maret 2016   14:59 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keinginan Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy menaikkan syarat jumlah dukungan untuk calon perseorangan (independen) dalam gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) sebenarnya bukan hal baru sehingga tidak serta-merta hanya ditujukan untuk menjegal langkah incumben Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Lukman Edy sudah mewacanakan hal itu jauh sebelum Ahok memutuskan untuk menggunakan jalur independen, tepatnya usai Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan besaran syarat dukungan bagi calon independen harus menggunakan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) di pemilu sebelumnya, bukan jumlah keseluruhan masyarakat di suatu daerah seperti dikutip di sini

Namun ketika Lukman Edy menyerukan kembali di tengah derasnya isu deparpolisasi terkait langkah Ahok yang akan maju melalui jalur independen pada pilgub mendatang, masyarakat pun segera mengaitkan usulan konyol itu semata-mata ditujukan untuk menjegal Ahok. Mantan menteri Pembangunan Daerah Tertinggal di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, seperti menggali kuburannya sendiri. Ternyata benar bahwa partai-partai politik tidak sepenuhnya rela ketika mengesahkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang memperbolehkan adanya calon perseorangan dalam pilkada. Dengan demikian, alasan apapun yang digunakan DPR untuk mengutak-atik syarat dukungan bagi calon perseorangan, tidak akan pernah dipercaya rakyat.

Alasan kenaikan syarat dukungan bagi calon perorangan yang semula 6,5 persen hingga 10 persen sesuai besaran jumlah penduduk (sebelum putusan MK) di suatu wilayah menjadi 20 persen, sebagai upaya penyetaraan dengan syarat 20 persen perolehan suara atau 20 persen kursi di DPRD setempat bagi partai politik untuk dapat mengusung calon kepala daerah, jelas sangat konyol. Lukman Edy menafikan semangat di balik munculnya pasal yang memperbolehkan adanya calon perseorangan dalam suatu gelaran pilkada. Legislator dari daerah pemilihan NTB itu sepertinya lupa jalur independen dimaksudkan untuk mempermudah munculnya tokoh-tokoh masyarakat yang tidak terikat dengan partai politik, namun memiliki potensi untuk menjadi pemimpin di suatu daerah. Jalur perseorangan dimaksudkan untuk memberikan pilihan yang lebih beragam kepada masyarakat. Jalur perseorangan dialasi semangat pemutusan klan di suatu daerah yang karena kekuatan finansialnya bisa membeli apa saja, termasuk partai politik.

Jalur perseorang bukan anak haram dalam kancah politik Indonesia sehingga keberadaannya tidak perlu disoal lagi. Upaya untuk memperberat syarat dukungan bagi calon independen, menunjukkan ketakutan berlebihan para penguasa partai. Mereka seperti membenarkan adanya upaya delegitimasi partai politik oleh rakyat sehingga buru-buru mengunci segala potensi ke arah itu. Mereka melihat calon perseorangan seolah monster yang akan membinasakan partai politik. Mereka ketakutan oleh bayangannya sendiri. Benar-benar konyol!

Dari pada meributkan calon perseorangan, alangkah bagusnya jika partai-partai politik mengambil cermin lalu bertanya mengapa masyarakat (Jakarta, khususnya) cenderung menyukai calon yang menggunakan jalur perseorangan. Jawabannya, pertama mereka yang mendukung jalur perseorangan karena figur. Ahok dinilai oleh sebagian warga DKI Jakarta sebagai figur pemimpin yang bersih dan bekerja sungguh-sungguh. Artinya mereka mendukung Ahok, bukan jalur perseorangannya. Sebab andai Ahok menggunakan jalur partai pun, niscaya mereka tetap akan mendukungnya. Kedua, kebobrokan oknum partai politik, terutama yang saat ini duduk di lembaga legislatif. Sebagian dari anggota DPR (juga DPRD) lebih senang bermasyuk-ria dengan fantasinya sendiri daripada mendengarkan suara rakyat. Sebagian besar masyarakat dibuat geram dengan ulah anggota DPR sehingga melampiaskannya pada partai politik pengusungnya.

Wahai anggota DPR, Anda tentu tidak sedang mabuk narkoba sehingga jangan melihat kolam seperti danau (kata Iwan Fals). Bekerjalah sungguh-sungguh, buktikan dedikasi, loyalitas dan semangat kerja benar-benar hanya untuk rakyat yang Anda wakili. Dengan begitu, rakyat akan percaya pada Anda dan partai Anda sehingga tidak membutuhkan jalur lain di luar jalur partai politik.

 

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun