Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arogansi Demokrat: PAW Rooslynda, Ambar, Jhonny Allen Marbun dan Roy Suryo Masuk DPR Lagi

13 Maret 2016   15:19 Diperbarui: 13 Maret 2016   15:36 1663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anggota DPR/DPRD itu wakil rakyat atau wakil partai? Sebuah pertanyaan sederhana yang selama puluhan tahun tidak pernah terjawab. Meski sistem pemilu telah diubah beberapa kali- dari awalnya urut kacang berdasarkan nomor pencalonan teratas sampai kemudian proporsial setengah terbuka dan sekarang proporsional terbuka, dengan tujuan utama menjawab pertanyaan di atas, namun nyatanya status anggota DPR/DPRD tetap tidak jelas.

Proporsional terbuka memungkinkan semua calon anggota legislatif (caleg) dari satu partai pada satu daerah pemilihan (dapil) yang sama, bersaing secara sehat karena keterpilihannya bukan berdasarkan urut kacang tetapi perolehan suara. Sebagai contoh, meski pada Pemilu 2014 lalu Jhonny Allen Marbun (JAM) menempati urutan pertama caleg Partai Demokrat untuk dapil Sumatera Utara II, namun karena perolehan suaranya jauh di bawah Rooslynda Marpaung yang menempati nomor urut 6, maka JAM pun gagal masuk Senayan.

Hal yang sama terjadi pada caleg Partai Demokrat lainnya yakni KRMT Roy Suryo. Pada pemilu lalu mantan Menteri Olahraga yang sedang ngebet jadi Gubernur DKI itu, berada di nomor urut 1 untuk dapil Yogyakarta. Namun bangsawan Solo itu gagal masuk Senayan karena perolehan suaranya kalah dari Ambar Tjahyono yang “orang biasa”.

Dari situ jelas tergambar bahwa anggota DPR adalah wakil rakyat. Partai hanya memiliki kuasa untuk memberikan nomor urut pada kader-kadernya yang akan bertarung dalam suatu dapil. Sebagai ‘pejabat Demokrat’ wajar JAM dan Roy Suryo diberi “nomor topi” sementara Ambar dan Rooslynda yang hanya kader biasa ditempatkan pada “nomor sepatu”. Dan ketika pertarungan digelar, kuasa ada di tangan rakyat. Rakyat yang menentukan siapa yang pantas mewakili mereka di Senayan.

Namun aksi akrobatik Partai Demokrat belakangan ini membuat sistem proporsional terbuka kembali mandul. Dengan alasan yang dicari-cari, Ambar dan Rooslynda didepak dari DPR melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW). Sesuai ketentuan undang-undang, hal itu memang diperbolehkan. Partai memiliki hak untuk menarik kadernya di DPR karena mereka dianggap sebagai perpanjangan tangan partai.

Pada titik inilah kerancuan itu kembali menyeruak sebagaimana pertanyaan di awal tulisan ini. Faktor like and dislike sangat mengemuka pada PAW terhadap Rooslynda dan Ambar. Partai Demokrat masih tidak rela ketika rakyat menolak kader-kader topnya untuk menjadi wakilnya. Alasan bahwa Rooslynda masih kader partai lain adalah persoalan administrasi yang mestinya sudah selesai ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan seseorang menjadi caleg karena verifikasi terkait hal itu merupakan ranah KPU.

Demikian juga alasan bahwa Ambar Tjahyono sakit sehingga jarang hadir di DPR. Benar bahwa saat ini Ambar jarang hadir di DPR. Namun siapa pun tahu Demokrat hanya mencari alas pembenar saja karena jauh sebelumnya, saat yang bersangkutan masih aktif, partai pun sudah menggunakan tangan besi dengan memecat keanggotaan Ambar dari Partai Demokrat sejak yang bersangkutan memenangkan perebutan kursi Senayan dengan Roy Suryo, sehingga status yang bersangkutan di DPR menjadi ‘ngambang’.

Cara-cara yang dipakai Partai Demokrat jelas sangat melukai hati para pemilih Ambar dan Rooslynda. 1001 alasan yang ditabur para punggawa Demokrat menjadi sia-sia karena mereka menafikan logika kebenaran. Esensi dari hukum (undang-undang) bukan untuk menghukum, melainkan memastikan tercapainya keadilan bagi semua pihak. Meski undang-undang mengatakan larangan mencuri, larangan mengambil hak orang lain, namun tidak serta merta seseorang yang mencuri, mengambil hak orang lain (termasuk hak negara seperti tanah) lantas dijebloskan ke penjara, diusir, tanpa proses pengadilan, tanpa proses musyawarah.

Arogansi Partai Demokrat dalam kasus PAW dengan tujuan akhir memberikan “kursi haram” di DPR untuk Roy Suryo dan Jhonny Allen Marbun, akan menjadi catatan kelam capaian demokrasi kita. Dampaknya akan sangat luas. Pada pemilu mendatang, rakyat akan ragu-ragu untuk memilih caleg tertentu yang bukan merupakan ‘pangeran’  partai karena sewaktu-waktu pilihan mereka bisa saja didepak dari Senayan.  

Tour de Java yang tengah dilakukan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dalam rangka mencari penantang Joko Widodo pada Pilpres 2019 mendatang, menjadi sia-sia selama kebijakan-kebijakan yang diambilnya selalu melukai hati rakyat.

 

Salam @yb     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun