Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ambivalennya Pendukung Ahok

19 Februari 2016   14:49 Diperbarui: 19 Februari 2016   15:03 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita pernah hidup di masa kegelapan di mana kebenaran hanya datang satu arah, bahkan satu tempat bernama Cendana. Segala logika kebenaran dan keadilan akan tumpul manakala berhadapan dengan kelompok Cendana. Tidak ada yang boleh berbeda pendapat dengan tafsir kebenaran versi Cendana. Jika ada yang tetap memaksakan kehendak, maka tanpa ampun dia dan keluarganya- yang notabene tidak tahu apa-apa, akan langsung diberi stempel sebagai musuh negara. Label sebagai antek PKI disematkan pada hal-hal yang paling pribadi seperti KTP sehingga tidak ada lagi ruang bagi dia untuk berinteraksi secara merdeka dengan warga lainnya.

Kita pernah  hidup di zaman ketika etnis Cina ditempatkan pada posisi subordinasi, sehingga terlarang untuk melakukan ini-itu. Mereka tidak bisa masuk ke pemerintah, juga militer, karena dianggap warga negera kelas dua. Secara terselubung, kebencian terhadap etnis Cina dikampanyekan melalui  ruang-ruang senyap- termasuk film G30S/PKI di mana poros Jakarta- Peking dijadikan sentral dari kesalahan politik saat itu. Kebencian yang ditanamkan secara sistemtis itu merasuk dan mengendap dalam alam bawah sadar sebagian besar warga sehingga ketika ada pematiknya, dengan mudah akan meledak menjadi kerusuhan berskala besar. Kasus Pekalongan, Solo, Bandung, Makasar, Medan, Palu, Surabaya, Rengasdengklok  dan sejumlah daerah lainnya hanya contoh kecil terjadinya ledakan emosi warga tersebut terkait hal tersebut.

Puncaknya adalah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta di mana ribuan warga etnis Cina menjadi korban kebiadaban warga yang tengah emosional akibat krisis politik dan ekonomi.  Warga beretnis Cina dijadikan katarsis dari tekanan ekonomi yang berat. Mengapa? Karena selama ini ada kecemburuan terhadap etnis Cina yang rata-rata lebih mapan secara ekonomi.

Miris...!

Pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 lalu, sekelompok orang mencoba membangkitkan kembali sentimen itu. Cina dan PKI dijadikan isu untuk memukul pasangan Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla. Namun mayoritas rakyat Indonesia menentang isu-isu semacam itu yang dibuktikan dengan tingginya dukungan yang diberikan kepada pasangan Jokowi-JK. Pengusung isu SARA (selanjutnya disebut rasis karena kata ini telah mewakili ungkapan/tindakan kebencian seseorang terhadap orang lainnya yang didasari oleh perbedaan agama dan suku, bukan hanya warna kulit) tak berkutik manakala sebagain besar dari rakyat Indonesia memilih bergandengan tangan secara merdeka dengan warga lainnya tanpa mau dibatasi oleh sekat-sekat imajinier yang diciptakan kelompok rasis.

Kita bersyukur telah melewati ujian maha berat yang menjadi  persoalan umat manusia, di belahan dunia mana pun. Bahkan di Amerika Serikat-  yang mengklaim diri sebagai negara paling liberal, paling bebas, paling menghargai hak asasi manusia, masih sering terjadi letupan sosial berlatarbelakang warna kulit. Salah satu bukti nyata bahwa kita sudah bisa terbebas dari isu-isu rasis, adalah diterimanya Basuki Tjahaya Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal yang tidak mungkin terjadi 20 atau bahkan 15 tahun lalu.

Upaya sekelompok masyarakat yang mengaitkan Ahok- demikian Basuki Tjahaya Purnama biasa disapa, dengan isu-isu primordial dan warna kulit, ditolak oleh sebagian besar warga Jakarta. Kelompok ini akhirnya menghilang bersama gubernur tandingannya, karena kehilangan dukungan rakyat Jakarta. Konon sekarang mereka hengkang ke daerah Jawa Barat dan tengah berseteru dengan beberapa kepala daerah di sana.   

Atas segala  capaian ini tentu kita wajib berterima kasih kepada para pemimpin kita yang telah berhasil menghancurkan tembok rasialisme, terutama Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tanpa lelah beliau mengurai kekusutan itu sehingga sekarang kita mewarisi wajah negeri yang beraneka warna, saling melengkapi tanpa sekat-sekat primitif.

Namun segala capaian itu kini kembali terancam. Kita akan kembali menjadi bangsa yang tersekat-sekat dalam ruang sempit beraura rasis. Tragisnya, hal itu justru dibangun oleh mereka yang selama ini mendapat keuntungan dari perjuangan Gus Dur dan para penggiat HAM. Mereka yang selama ini membenci isu-isu rasis, tanpa sadar terjebak dalam imajinasi konyol sehingga dengan gampang memasung orang-orang yang berbeda pendapat dengan kelompoknya, dalam wadah bersekat rasis.

Salah satu contoh paling nyata adalah munculnya kelompok yang memposisikan diri sebagai pembela (pendukung?) Ahok. Nitizen dari kelompok ini akan langsung memberikan label rasis kepada siapa saja yang berbeda pendapat terkait kebijakan Ahok. Kritik kepada kebijakan- sekali lagi KEBIJAKAN yang dibuat Ahok, diartikan sebagai kritik kepada PRIBADI Ahok yang beretnis Cina dan beragama Kristen sehingga mereka yang mengkritik kebijakan Ahok dipersonifikasikan sebagai orang yang anti Cina dan Islam puritan. Karena Ahok sangat transparan dalam hal anggaran, maka para pendukung Ahok juga melabeli mereka yang beda pendapat terkait kebijakan Ahok dengan sebutan antek koruptor. Untuk membuktikan hal ini, silahkan Anda baca komentar-komentar nitizen pada berita/pendapat seseorang yang secara substansi  berbeda pendapat dengan kebijakan Ahok.

Apakah di antara mereka yang tidak sependapat dengan beberapa kebijakan Ahok bersih dari pikiran rasis?  Tidak. Sebagian (kecil) dari mereka pasti ada yang berpikiran rasis.

Apakah di antara mereka yang memposisikan diri sebagai pendukung Ahok, tidak ada yang mendasari dukungannya pada faktor kesamaan kulit? Pasti ada. Pasti ada di antara pendukung Ahok yang memberikan dukungan atas dasar kesamaan etnis.

Namun dua hal di atas tidaklah sahih untuk dijadikan alasan melabeli semua yang menentang kebijakan Ahok sebagai rasis atau pun semua yang mendukung Ahok sebagai rasis.

Jika komentar-komentar nitizen yang menyerang siapapun yang berbeda pendapat dengan kebijakan Ahok, hanya satu-dua saja, tidak juga sahih untuk mengeneralisir (bahkan menyebut ‘sebagian’) pendukung Ahok. Namun masifnya hujatan yang dilontarkan para nitizen yang memposisikan diri sebagai pembela Ahok, yang jumlahnya lebih dari lima dalam setiap pemberitaan yang ‘menyerang’ Ahok di media-media mainstream,  tidaklah berlebihan jika kemudian muncul anggapan hal itu mewakili mayoritas pendukung Ahok.

Mari kita berdemokrasi secara dewasa. Jangan gampang memberikan stigma negatif kepada orang lain yang kebetulan berbeda pendapat.  Aku Jawa (Cilacap/Banyumas), Islam dan pegawai swasta. Secara kesukuan, di daerahku belum pernah ada kerusuhan berbau etnis antara warga Jawa Cilacap/Banyumas dengan etnis Cina sehingga hatiku tidak memiliki persoalan apapun dengan saudara-saudaraku yang beretnis Cina.

Sebagai orang Islam, aku belum pernah bergabung dengan organisasi-organisasi keagamaan yang selama ini dikenal rasis. Aku bukan pendukung FPI, bahkan seringkali ikut mengecam tindakannya yang anarkhi. Aku bukan kontraktor, pengusaha, apalagi pegawai negeri sehingga (mudah-mudahan) aku bukan koruptor. Aku penulis yang sangat anti rasialisme yang aku buktikan melalui karya-karyaku sejak puluhan tahun lampau.

Dan sebagai warga Jakarta, aku tidak akan memilih Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 2017.

Mengapa?

Pertama, aku melihat kebijakan Ahok kurang berpihak pada kelompok marjinal. Silahkan berikan aku data terkait kebijakan Ahok untuk mengentaskan kemiskinan di Jakarta.

Kedua, Ahok terlalu mudah meyalahkan orang miskin yang hidup di Jakarta. Ahok seolah melupakan satu hal, kemiskinan bukan hanya karena kemalasan, warisan, atau hal-hal terkait takdir seseorang, namun juga terkait kebijakan pemerintah. Adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan payung dan jalan bagi rakyatnya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Siapa yang mau hidup berdempetan di bantaran sungai, mendiami tanah yang bukan miliknya, mengais rejeki di pinggir jalan? Tidak ada. Tugas pemerintah untuk mengarahkan mereka agar keluar dari zona itu dengan memberi kail sebagai jembatannya. Jangan menuding mereka sebagai pengganggu keindahan wajah kota sehingga wajib digusur, tanpa terlebih dahulu berusaha menyelesaikan akar persoalannya.  Jangan main gusur atas nama keindahan kota, tapi gusurlah atas nama kemanusiaan sehingga sebelum digusur pemerintah harus terlebih dahulu memanusiakan mereka. Mereka bukan barang, bukan noktah hitam dalam lukisan karya maestro. Mereka adalah warga negara yang juga memiliki hak untuk menghirup udara yang sama, berdiam di tempat yang sama, dan berusaha di ladang yang sama.

Ketiga, hilangnya rasa memiliki. Sebagai warga Jakarta, aku merasakan, rasa memiliki kota ini semakin luntur karena kian berjarak antara mereka yang diuntungkan dengan mereka yang kurang beruntung secara ekonomi. Apakah Jakarta memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang berkecukupan secara ekonomi? Apakah itu kebijakan yang baik? Jika tempat-tempat hiburan di sepanjang Jalan Gajah Mada hingga Mangga Besar ‘diperbolehkan’ menyediakan hiburan erotis, mengapa pemerintah daerah (baca: Ahok) tidak menyediakan sedikit lahan untuk hiburan erotis kaum papa di Jakarta? Sebab laki-laki miskin seperti aku, tidak punya cukup duit untuk masuk ke tempat hiburan erotis yang menyediakan pelacur lokal (dengan tarif short time Rp 300 ribu), cungkok (Rp 1,2 juta), uzbek (Rp 1,75 juta) yang dijajakan di tempat-tempat elit di sepanjang Jalan Gajah Mada dan Mangga Besar. Apakah orang miskin dilarang menikmati hiburan? Aku terpaksa menggunakan analogi hiburan ini agar mudah kita pahami bahwa (dalam beberapa hal) orang miskin pun punya hak sebagaimana orang kaya.

Apakah keputusanku hari ini untuk tidak memilih Ahok dalam Pilgub mendatang tidak mungkin lagi goyah? Tidak ada kepastian dalam politik. Bahkan sebagian kaum pintar menterjemahkan politik itu sebagai seni ketidakpastian. Aku masih menantikan kebijakan-kebijakan Ahok lainnya yang mungkin bisa menggoyahkan keputusan politikku hari ini.  

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun