Apakah di antara mereka yang memposisikan diri sebagai pendukung Ahok, tidak ada yang mendasari dukungannya pada faktor kesamaan kulit? Pasti ada. Pasti ada di antara pendukung Ahok yang memberikan dukungan atas dasar kesamaan etnis.
Namun dua hal di atas tidaklah sahih untuk dijadikan alasan melabeli semua yang menentang kebijakan Ahok sebagai rasis atau pun semua yang mendukung Ahok sebagai rasis.
Jika komentar-komentar nitizen yang menyerang siapapun yang berbeda pendapat dengan kebijakan Ahok, hanya satu-dua saja, tidak juga sahih untuk mengeneralisir (bahkan menyebut ‘sebagian’) pendukung Ahok. Namun masifnya hujatan yang dilontarkan para nitizen yang memposisikan diri sebagai pembela Ahok, yang jumlahnya lebih dari lima dalam setiap pemberitaan yang ‘menyerang’ Ahok di media-media mainstream,  tidaklah berlebihan jika kemudian muncul anggapan hal itu mewakili mayoritas pendukung Ahok.
Mari kita berdemokrasi secara dewasa. Jangan gampang memberikan stigma negatif kepada orang lain yang kebetulan berbeda pendapat. Â Aku Jawa (Cilacap/Banyumas), Islam dan pegawai swasta. Secara kesukuan, di daerahku belum pernah ada kerusuhan berbau etnis antara warga Jawa Cilacap/Banyumas dengan etnis Cina sehingga hatiku tidak memiliki persoalan apapun dengan saudara-saudaraku yang beretnis Cina.
Sebagai orang Islam, aku belum pernah bergabung dengan organisasi-organisasi keagamaan yang selama ini dikenal rasis. Aku bukan pendukung FPI, bahkan seringkali ikut mengecam tindakannya yang anarkhi. Aku bukan kontraktor, pengusaha, apalagi pegawai negeri sehingga (mudah-mudahan) aku bukan koruptor. Aku penulis yang sangat anti rasialisme yang aku buktikan melalui karya-karyaku sejak puluhan tahun lampau.
Dan sebagai warga Jakarta, aku tidak akan memilih Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 2017.
Mengapa?
Pertama, aku melihat kebijakan Ahok kurang berpihak pada kelompok marjinal. Silahkan berikan aku data terkait kebijakan Ahok untuk mengentaskan kemiskinan di Jakarta.
Kedua, Ahok terlalu mudah meyalahkan orang miskin yang hidup di Jakarta. Ahok seolah melupakan satu hal, kemiskinan bukan hanya karena kemalasan, warisan, atau hal-hal terkait takdir seseorang, namun juga terkait kebijakan pemerintah. Adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan payung dan jalan bagi rakyatnya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Siapa yang mau hidup berdempetan di bantaran sungai, mendiami tanah yang bukan miliknya, mengais rejeki di pinggir jalan? Tidak ada. Tugas pemerintah untuk mengarahkan mereka agar keluar dari zona itu dengan memberi kail sebagai jembatannya. Jangan menuding mereka sebagai pengganggu keindahan wajah kota sehingga wajib digusur, tanpa terlebih dahulu berusaha menyelesaikan akar persoalannya. Â Jangan main gusur atas nama keindahan kota, tapi gusurlah atas nama kemanusiaan sehingga sebelum digusur pemerintah harus terlebih dahulu memanusiakan mereka. Mereka bukan barang, bukan noktah hitam dalam lukisan karya maestro. Mereka adalah warga negara yang juga memiliki hak untuk menghirup udara yang sama, berdiam di tempat yang sama, dan berusaha di ladang yang sama.
Ketiga, hilangnya rasa memiliki. Sebagai warga Jakarta, aku merasakan, rasa memiliki kota ini semakin luntur karena kian berjarak antara mereka yang diuntungkan dengan mereka yang kurang beruntung secara ekonomi. Apakah Jakarta memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang berkecukupan secara ekonomi? Apakah itu kebijakan yang baik? Jika tempat-tempat hiburan di sepanjang Jalan Gajah Mada hingga Mangga Besar ‘diperbolehkan’ menyediakan hiburan erotis, mengapa pemerintah daerah (baca: Ahok) tidak menyediakan sedikit lahan untuk hiburan erotis kaum papa di Jakarta? Sebab laki-laki miskin seperti aku, tidak punya cukup duit untuk masuk ke tempat hiburan erotis yang menyediakan pelacur lokal (dengan tarif short time Rp 300 ribu), cungkok (Rp 1,2 juta), uzbek (Rp 1,75 juta) yang dijajakan di tempat-tempat elit di sepanjang Jalan Gajah Mada dan Mangga Besar. Apakah orang miskin dilarang menikmati hiburan? Aku terpaksa menggunakan analogi hiburan ini agar mudah kita pahami bahwa (dalam beberapa hal) orang miskin pun punya hak sebagaimana orang kaya.
Apakah keputusanku hari ini untuk tidak memilih Ahok dalam Pilgub mendatang tidak mungkin lagi goyah? Tidak ada kepastian dalam politik. Bahkan sebagian kaum pintar menterjemahkan politik itu sebagai seni ketidakpastian. Aku masih menantikan kebijakan-kebijakan Ahok lainnya yang mungkin bisa menggoyahkan keputusan politikku hari ini. Â