Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antasari Ashar dan Teori Konspirasi

18 Januari 2016   10:38 Diperbarui: 19 Januari 2016   14:57 2749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca berita Kompas.com yang merupakan cuplikan wawancara presenter Aiman dengan Antasari Ashar di Kompas TV mengingatkan kita pada salah satu skandal hukum terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Bagaimana tidak, Antasari yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditangkap dengan tuduhan sebagai otak intelektual di balik pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen.

Dalam wawancara tersebut Antasari kembali menyangkal dirinya bersalah dan akan terus menempuh berbagai upaya hukum, termasuk kembali mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Sebelumnya, dalam rangka memperpanjang proses hukum,  Antasari sukses memaksa Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan pengajukan PK berkali-kali sehingga membuat geger jagat hukum tanah air karena dengan putusan MK tersebut, dianggap tidak ada lagi kepastian hukum.  Seseorang yang sudah dinyatakan bersalah hingga tingkat PK belum bisa disebut berkekuatan hukum tetap (inkrah) karena masih mungkin mengajukan PK lagi.

Pernyataan Antasari dalam berita tersebut, dan juga pernyataan-pernyataan sebelumnya menjadi kontradiktif manakala diam-diam Antasari sudah mengajukan pemohonan  pengampunan kepada presiden (grasi). Namun karena tenggat waktu (deadline) untuk seorang terpidana bisa mengajukan grasi telah terlampaui (kedaluwarsa), Antasari pun kembali mengajuk judicial review ke MK dengan tujuan merubah ketentuan  tentang masa pengajuan grasi sehingga keinginannya bisa terkabulkan.

 Membaca dua hal tersebut di atas timbul pertanyaan, mengapa Antasari menempuh dua langkah yang bertolak-belakang dengan pernyataannya. JIka dia yakin tidak bersalah, dirinya hanya korban dari rekayasa hukum, mengapa mengajukan grasi? Bukankah ketika seorang terpidana mengajukan grasi (meminta pengampunan kepada presiden) berarti dia telah mengakui kesalahannya?

Menurut Adami Chazawi, dengan mengajukan grasi berarti dari sudut hukum pemohon telah dinyatakan bersalah, dan dengan mengajukan  permohonan ampuan (grasi) berarti dia telah mengakui kesalahannya itu. Memang ada pendapat lain yang mengatakan grasi diajukan karena terpidana merasa tidak bersalah dan dengan mengajukan grasi dia berharap presiden bisa mengoreksi kesalahan proses hukum sebelumnya.  Jika pengertian itu yang dianut, berarti eksekutif (presiden) mencampuri proses peradilan (yudikatif) dan tentunya akan menjadi problem besar manakala grasi seorang presiden dimaksudkan untuk mengoreksi proses hukum.

Sebenarnya, proses hokum Antasari  sudah hampir selesai. Bahkan sejak  Agustus 2015 lalu Antasari Azhar sudah menjalani proses asimilasi. Dalam kaitan itu Lembaga Pemasyarakat (LP) Kelas I Tangerang, Banten- tempat di mana mantan jaksa senior itu menjalani hukuman, mempekerjakan Antasari di sebuah di kantor notaris di Tangerang dengan gaji Rp 3 juta perbulan.

Saat pertama dipekerjakan di kantor notaris itu, sebenarnya Antasari baru menjalani masa hukuman selama 6 tahun 45 bulan 10 hari dari masa hukuman selama 18 tahun yang dijatuhkan majelis hakim tingkat pertama dan dikuatkan oleh seluruh peradilan di atasnya. Namun karena Antasari pernah mendapat remisi yang jika ditotal mencapai 43 bulan dan 20 hari, maka Antasari sudah menjalani masa hukuman selama 10 tahun sehingga berhak mendapat asimilasi.

Mengapa kasus Antasari Azhar selalu menarik untuk dibahas? Pertama karena saat kejadian posisi Antasari cukup mentereng: Ketua KPK. Perseteruan KPK dan kepolisian yang memanas dan belakangan memunculkan tagline Cicak (KPK) versus Buaya (Kepolisian) yang didengungkan Kabareskrim Polri (saat itu) Komjend Susno Duadji, membuat sebagian masyarakat curiga ada skenario dari penguasa (Baca Presiden SBY) untuk melumpuhkan KPK.

Kedua, adanya rumor yang menyebutkan Antasari dikriminalisasi karena akan membongkar pengadaan software dan informasi teknologi (IT) milik KPU yang tidak bisa digunakan pada Pemilu Legislataif 2004. Antasari juga mengaku akan membongkar korupsi di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dan terakhir karena Antasari memenjarakan Aulia Pohan- besan Presiden (saat itu) Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketiga, karena ada perempuan cantik di sekitar kasus ini yakni Rani Juliani. Kabarnya, Rani, Antasari dan Nasrudin terlibat cinta segitiga. Caddy cantik itu sontak menjadi buah bibir karena mampu menaklukkan hari para laki-laki kelas atas. Namun tidak sedikit yang meragukan hal itu meski terdapat rekaman yang menunjukan adanya pertemuan antara Antasari dan Rani di sebuah kamar hotel.

Antasari bersalah. Itu putusan pengadilan dari tingkat pertama hingga kasasi. Bahkan PK-nya sudah ditolak sehingga bisa dibilang kasusnya sudah inkrah. Sah-sah jika ada yang tidak percaya dengan aparat dan sistem peradilan di Indonesia. Tetapi ingat, pihak-pihak yang terlibat dalam kasus pembunuhan ini tidak ada yang membantah secara hukum termasuk Kombes Wiliardi Wizard- mantan Kapolres Jakarta Selatan dan pengusaha beken Sigid Haryo Wibisono. Wiliardi kemudian divonis 12 tahun penjara dan Sigid Haryo divonis 15 tahun penjara. Sedang para eksekutor lapangan dihukum penjara dengan masa bervariasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun