Ketua Panitia Khusus (Pansus) Angket PT Pelindo II Rieke Diah Pitaloka ‘menggertak’ akan melengserkan Presiden Joko Widodo jika tidak melaksanakan rekomendasi Pansus Pelindo II yakni mencopot Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino dari jabatannya. Menurut pemeran Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri yang pernah populer itu, jika tidak melaksanakan rekomendasi pansus, maka Presiden dinilai melakukan pembiaran dan pemufakatan pelanggaran UUD 1945 sehingga hanya butuh 25 anggota DPR untuk mengusulkan hak menyatakan pendapat sebagai pintu masuk pemakzulan.
Logika apakah yang dipakai Rieke? Tentu Rieke mengacu pada UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) khususnya Pasal 74 ayat (1): DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memberikan rekomendasi kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk melalui mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, rapat panitia khusus, rapat panitia kerja, rapat tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk oleh DPR demi kepentingan bangsa dan negara.
Serta ayat (2) yang selengkapnya berbunyi: Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk wajib menindaklanjuti rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dengan dasar itu, apakah berarti Presiden harus selalu melaksanakan rekomendasi DPR? Biarlah pakar hukum yang berdebat. Sebab frasa “wajib menindaklanjuti” tidak berarti harus melaksanakan sesuai bunyi rekomendasi. Dengan demikian, jika pun Presiden menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan DPR bisa saja bentuknya berbeda dengan bunyi rekomendasi (keinginan DPR).
Tulisan ini hanya ingin menyoroti sikap di balik kengototan Rieke (Baca: PDIP) untuk mencopot Rini dan RJ Lino. Dalam perkembangan terakhir, Lino sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mengapa Rieke dan sejumlah anggota Fraksi PDIP di DPR, berani mengertak dan mengancam untuk melengserkan Presiden? Bukankah dia berasal dari partai utama pengusung pasangan Jokowi-JK dalam pilpres kemarin?
Jawabannya adalah adanya gesekan yang sangat kuat di antara partai pendukung dan juga PDIP-Jusuf Kalla. Namun yang paling utama adalah adanya keraguan PDIP terhadap loyalitas Jokowi kepada partai. Kader-kader PDIP tidak yakin Jokowi bekerja sungguh-sungguh untuk partai (PDIP). Beberapa kebijakan Jokowi ditengarai justru bertolak-belakang dengan ‘nafas’ PDIP. Jokowi juga dinilai tidak mampu mengendalikan JK sehingga kementerian BUMN (hanya untuk menyebut salah satunya saja) berhasil di “JK-kan”. Beberapa petinggi dan komisaris BUMN ditengarai sebagai “orangnya JK”.
PDIP pun lantas ‘menguji’ kesetiaan Jokowi. Salah satunya dengan permintaan pelengseran Rini dan Lino- yang dianggap sebagai tangan kanan JK. Pencopotan Rini dari kursi BUMN setidaknya bisa sedikit mengobati luka hati kader-kader PDIP. Sebab meski dibawa oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, namun dalam perkembangannya, Rini dianggap lebih loyal kepada JK.
Pertanyaan menariknya, mengapa Presiden Jokowi enggan menuruti suara-suara yang berasal dari partainya? Untuk mengetahui jawabannya, sebaiknya kita melihat rekam jejak Jokowi saat menjadi Walikota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta. Beliau bukan tipe pemimpin yang mau diarahkan, dikendalikan oleh kekuatan manapun. Ketika memutuskan untuk menolak pembangunan mal di atas lahan bekas pabrik es Sari Petojo di Purwosari Solo, Jokowi pun tetap keukeuh meski harus berhadapan dengan Gubernur Jawa Tengah yang notabene juga berasal dari PDI Perjuangan (sebelum kemudian pindah partai pada Pilgub Jateng 2013).
Demikian juga saat menjadi Gubernur DKI. Mesti tentangan sangat deras, namun Jokowi tetap mempertahankan Lurah Susan. Isu agama yang diusung oleh para penentangnya, tidak lantas membuat Jokowi gentar. Demikain juga saat memulai penataan Pasar Tanah Abang dan penggusuran warga di sekitar waduk dan bantaran sungai. Tekanan massa dan Komnas HAM sama sekali tidak digubris.
Dari situ saja jelas terlihat, Jokowi bukanlah pemimpin bermental ayam sayur. Jokowi tidak mempan digertak. Jokowi memiliki strategi yang kadang sulit dibaca oleh kawan maupun lawan politiknya.
Jadi, bisa dipastikan Jokowi pun tidak akan mengalah pada gertakan Oneng dan “gerombolan Brutus” di tubuh PDIP. Jokowi hanya akan mencopot Rini jika kinerjanya jelek, bukan karena tekanan pihak lain.
Salam...@yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H