Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Misteri Benteng Van Der Wijck (Bag. 3)

14 Desember 2015   20:48 Diperbarui: 30 November 2016   17:30 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Putuku ya? Ngeneh mlebu…”

Titis mengernyitkan dahi. Apa maksudnya. Namun jika dilihat dari gerakkannya, nenek itu menyuruhnya masuk ke dalam gubuk. “Iya..iya..” jawab Titis gugup. Ia mundur beberapa langkah dan kemudian berlari sekencangnya. Bulu kuduknya berdiri semua. Setelah lumayan jauh, Titis berhenti dan langsung muntah-muntah. Nenek itu tidak punya bola mata. Tinggal menyisakan sarangnya.  Meski tidak yakin yang dengan pengelihatnya, namun ia tetap bergidik.  Sebab sepertinya ia bisa melihat isi kepala nenek itu melalui lubang matanya!

“Mama…Papa!” jeritnya setelah isi perutnya keluar. Badannya kini terasa lemas. Keringatnya mengucur deras. Sementara suasana di sekitarnya semakin gelap. Titis berdiri  dan mengedarkan tatapannya ke sekeliling tempat itu. tidak ada apa-apa kecuali jajaran pohon-pohon besar yang kini terasa menakutkan.

Aku tidak mau mati di sini, kata TItis dalam hati. Ia memaksa kakinya untuk kembali melangkah. Mengikuti jalan setapak yang ia tidak tahu arahnya. Tapi ia yakin pasti menuju ke suatu tempat yang ada manusianya. Bukankah jalan ini bikini manusia? Rasanya tidak mungkin hanya nenek itu yang lewat jalan ini! tegas hatinya.

Titis terus berjalan dan berjalan. Namun kampung yang diharapkan tidak juga ditemui. Jalanan mulai menurun. Samar-samar ia melihat ada orang berjalan ke arahnya. Bukan berjalan, bantah hatinya. Orang itu berdiri di bawah sana seperti sedang menunggu dirinya. Titis bersorak meski belum kenal, tapi setidaknya ada seseorang yang bisa dimintai tolong untuk menunjukkan jalan pulang.

Titis mempercepat langkahnya. Jaraknya kian dekat. Namun ia belum bisa memastikan orang itu karena suasana di sekelilingnya benar-benar telah gelap. Titis kembali mempercepat langkahnya. Ia sudah hampir berteriak ketika tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya melotot seolah tidak percaya dengan pemandangan di depannya. Ternyata orang itu nenek yang ditemuinya di gubuk tadi!

“Tolong…tolong…!” jerit Titis begitu menyayat. Ia berbalik dan bermaksud untuk kabur. Namun ia justru menabrak orang yang sudah berdiri di belakangnya. Orang itu jatuh terlentang. Pekik Titis kian menjadi-jadi ketika mengetahui orang yang ditabraknya ternyata juga serupa dengan nenek yang ada di bawah sana! BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun