Mohon tunggu...
Yoan Yohana
Yoan Yohana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Akuntansi SV IPB'58

just an ordinary girl with extra ordinary dreams

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Panic Buying di Kala Pandemi

17 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 17 Juli 2021   10:13 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi COVID-19 telah berlangsung setahun lebih sejak Presiden RI Joko Widodo, mengumumkan kasus pertama pada 2 Maret 2020. Kini kasus positif COVID-19 di Indonesia terkonfirmasi ada 2.379.397  jiwa yang mana 34.379 di antaranya adalah kasus terbaru per tanggal 7 Juli 2021. Hal ini tentu menimbulkan rasa panik dan khawatir pada masyarakat. Salah satunya membuat sebagian warga melakukan penimbunan berdasarkan rasa takut atau biasa disebut panic buying.

Menurut wikipedia, panic buying atau pembelian karena panik adalah tindakan membeli barang dalam jumlah besar untuk mengantisipasi suatu bencana, setelah bencana terjadi, atau untuk mengantisipasi kenaikan maupun penurunan harga. Seperti yang pernah kita alami di awal pandemi 2020, banyak orang berbondong-bondong memborong produk kesehatan seperti masker, hand sanitizer, dan lain-lain. Mereka tanpa pikir panjang langsung membeli dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Banyak pro kontra tentang hal ini, terlebih lagi ada beberapa warga yang tidak mematuhi protokol kesehatan dan social distancing saat melakukan kegiatan jual beli. Seperti yang sudah dikatakan oleh Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, bahwa social distancing adalah suatu keharusan dan itu adalah cara paling jitu untuk tidak saling mendapatkan atau menularkan COVID-19.

Siapa sangka ternyata panic buying terjadi lagi akhir-akhir ini. Beredar video yang menampilkan sekumpulan orang di pusat perbelanjaan tengah memperebutkan salah satu produk susu yang dianggap bisa menjadi penangkal dan juga menyembuhkan seseorang dari COVID-19. Faktanya kandungan yang ada pada susu tersebut hampir sama dengan susu dari merk lain sehingga tidak ada yang membuat produk ini lebih istimewa daripada produk lainnya. "Susu beruang untuk mengobati COVID-19, ya tentu saja tidak bisa, susu beruang tak bisa mematikan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19." kata Profesor Zubairi, Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Susu saja tidak cukup untuk mempertahakan kondisi imun kita di masa pandemi ini, kita juga harus memenuhi kebutuhan nutrisi lainnya dengan mengonsumsi sayuran, buah-buahan, karbohidrat, protein, vitamin, serta mineral lainnya.

Nyatanya bukan hanya satu kasus itu saja yang sempat ramai di kala pandemi ini. Dilansir dari laman kompas pada tanggal 5 Juli 2021, dijelaskan bahwa terdapat beberapa warga Jakarta yang membeli ataupun mengisi ulang tabung oksigen untuk persediaan di rumah tanpa alasan yang jelas. Direktur Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin, Fridy Juwono, mengatakan bahwa, ada masyarakat yang membeli oksigen tapi mereka tidak tahu cara memakainya. Hal tersebut dapat menghambat ketersediaan oksigen yang dibutuhkan untuk merawat pasien COVID-19 dengan gejala sedang sampai berat.

Menurut Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), perilaku panic buying dipicu oleh faktor psikologis yang terjadi karena penerimaan informasi yang tidak tepat. Akibatnya, timbul kekhawatiran yang berlebih di masyarakat, sehingga mereka melakukan tindakan belanja secara impulsif sebagai upaya penyelamatan diri. Masyarakat khawatir jika harga barang akan melambung tinggi apabila tidak bisa belanja sekarang dan mereka takut kehabisan stok barang jika harus menunda pembelian. Faktor inilah yang dimanfaatkan para pedagang untuk mencari keuntungan. Jika hal ini terus-menerus dilakukan, maka akibatnya adalah terjadi kelangkaan barang yang disebabkan ketidakseimbangan antara demand dan supply dan berujung pada kenaikan harga.

Untuk mengatasi fenomena panic buying, apa yang harus Indonesia lakukan? Pertama, menambah stok barang di pasar dan melakukan riset operasi pasar untuk menjamin ketersediaan produk yang dibutuhkan. Pemerintah juga harus mengambil langkah tegas dalam mengendalikan harga barang, karena tidak bisa dipungkiri banyak pedagang nakal yang menaikan harga berkali-kali lipat dari harga normalnya. Pemerintah juga harus mengimbau masyarakat agar tidak panik karena semua barang kebutuhannya akan terpenuhi.

Kedua, masyarakat harus lebih bijak dalam melakukan kegiatan jual beli. Beli apa yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Biasakanlah diri untuk membuat daftar belanjaan terlebih dahulu sebelum pergi ke pasar dan berpegang teguhlah pada daftar itu. Menimbun barang tidak akan membuat Anda merasa lebih baik. Sebisa mungkin, kendalikan diri dalam menerima informasi yang masuk. Informasi yang beredar bisa saja valid atau justru hoaks. Oleh karena itu, kita harus menahan diri dan membatasi diri kita dari informasi yang tidak jelas asalnya.

Dalam menghadapi ancaman yang tidak diketahui, manusia cenderung menggunakan pengetahuan yang mereka ketahui sebelumnya dari ancaman serupa. Panic buying atau berbelanja sesuai kebutuhan adalah keputusan konsumen. Namun, ada baiknya jika kita menjaga segala tindakan  kita agar tidak merugikan orang lain. Sebab dengan adanya panic buying bisa saja yang diuntungkan adalah para pedagang nakal dan sebaliknya, orang-orang yang benar-benar membutuhkannya yang dirugikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun