Kadang masih sering terlintas di momen-momen acak pemikiran saya pribadi yaitu bagaimana jika di tahun 1945 Amerika Serikat tidak menjatuhkan bom Atom ke kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang? Apakah kita masih dijajah? Apakah perang dunia ke-2 masih berlanjut hingga tahun-tahun setelahnya? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya.
Pemikiran lainnya yang muncul yaitu apakah si penemu bom atom ini pernah merasa bersalah atau tidak? Mengapa bisa sampai setega itu menciptakan sebuah bom yang ia tahu bakalan bisa menjadi senjata pemusnah massal yang mengancam kehidupan di dunia?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan acak saya itu pun pada akhirnya terbayar lewat film Oppenheimer karya Christopher Nolan yang baru saja dirilis.Â
Film biopik berdurasi 3 jam ini berhasil memberikan nuansa film biopik yang berbeda namun tetap dengan sentuhan Nolan yang khas.
Oppenheimer jika bisa dirangkum ke dalam tiga kata adalah megah, gila dan jujur.
"Megah" karena elemen audio visual dalam film ini benar-benar berkelas. Saya suka bagaimana komposisi musik film ini yang digarap oleh Ludwig Gransson (Tenet, Wakanda Forever) membuat atmosfer film ini tak hanya terasa mencekam namun juga menegangkan dan misterius.
Komposisi musiknya klasik namun dengan penambahan berbagai elemen sound effect yang semakin menambah keunikan dari musiknya itu sendiri.
Sedangkan dari departemen akting,  performa tiap aktor di film ini  hampir tidak ditemui kekurangannya. Semuanya terasa pas dan well casted.Â
Cillian Murphy sebagai Oppenheimer jelas luar biasa. Rasanya kandidat aktor terbaik di gelaran Oscar tahun depan sudah di depan mata.
Begitupun dengan Emily Blunt, Florence Pugh, Jason Clarke, hingga Robert Downey Jr. yang tak kalah mencuri perhatian sebagai supporting actor film ini. Dengan aktor lainnya yang porsinya tak sebesar keduanya seperti Rami Malek, Alden Ehrenreich dan Kenneth Branagh juga memberikan performa terbaik pada screen time minim namun penting.
"Gila" karena meskipun ini adalah film biopik yang jalan ceritanya sudah diketahui banyak orang namun Nolan bisa membuatnya tetap menarik dan mengundang rasa penasaran.Â
Caranya membangun dialog dan memainkan dinamikanya membuat 3 jam durasi film ini (bagi saya) tak terasa membosankan. Seakan mengikuti cara berpikir Oppenheimer yang rumit dan unik, kita pun jadi dibuat penasaran akan setiap keputusan dan tindakan yang dibuat Oppenheimer.
Apalagi kemudian Nolan menambahkan visualisasi berupa partikel atom di sekeliling kepala Oppenheimer dan visual yang disruptif sekaligus unik pada momen-momen yang menggambarkan peperangan batin dan pikiran Oppenheimer dalam menciptakan rumusan yang kelak akan mengubah dunia selamanya.
ilmuwan yang bekerja non-stop demi terciptanya senjata nuklir pertama di dunia. Perang dingin bahkan sudah dimulai sebelum perang dunia ke-2 benar-benar usai.
Lebih gilanya lagi adalah ketika Nolan benar-benar berhasil merekonstruksi adegan tes peledakan bom atom tanpa CGI, karena benar-benar diaplikasikannya langsung dengan practical effect yang produksinya top notch. Pun dia juga membuat replika kota Los Alamos yang pada saat itu menjadi markas paraTidak seperti yang dikerjakan Nolan pada Interstellar, Inception, Tenet atau Memento yang memainkan konsep ruang dan waktu sehingga kadang membuat penonton kebingungan, Oppenheimer tidak menggunakan formula yang sama.
Konsep akrobatik waktu digantikan oleh konsep perpindahan penceritaan secara subjektif dari sudut pandang orang pertama dan objektif dari sudut pandang orang ketiga yang kemudian dipisahkan dengan visual berwarna dan hitam-putih.Â
Perpindahan gaya visual ini di awal mungkin terasa membingungkan, namun seiring berjalannya film, kepingan puzzle pun akhirnya terbentuk dan menghadirkan konklusi yang tak hanya klimaks namun juga dengan gaya Nolan yang orang-orang zaman sekarang sebut sebagai momen yang "mindblowing".
Oppenheimer juga bagi saya adalah film Nolan yang cukup "ringan" untuk dinikmati. Meskipun gaya berceritanya tidak linear, namun ini adalah film Nolan yang tak perlu membuat penonton mengernyitkan dahi. Bahkan bagi saya, cara Nolan bercerita di Dunkirk tak sebagus di Oppenheimer apabila konteksnya sama-sama film sejarah.
Benar bahwa ada istilah-istilah fisika kuantum dan bahasa-bahasa keilmuan lainnya yang mungkin beberapa bikin bingung. Namun itu semua tak menganggu keseluruhan cerita yang ada. Tetap bisa dinikmati karena kita seperti masuk ke kelas di mana Oppenheimer dan fisikawan lainnya bertindak sebagai dosennya.
"Jujur" karena Oppenheimer menurut saya tidak membuat sang tokoh utama menjadi seorang "pahlawan" yang absolut.Â
Harus diakui Oppenheimer adalah seorang fisikawan yang "berjasa" dalam membuat partikel atom untuk digunakan sebagai senjata pemusnah massal yang mengerikan. Dunia tak lagi sama setelah kedua bom diterjunkan ke Hiroshima & Nagasaki yang menelan banyak korban jiwa pada masa itu. Bahkan derita moralnya terus ada hingga saat ini.
Adalah benar bahwa Oppenheimer menjadi satu-satunya ilmuwan pada masa itu yang bisa menyatukan banyak ilmuwan untuk tergabung ke dalam Manhattan Project yang mahal dan ambisius.Â
Kharismanya, kepintarannya dan kemampuannya berinteraksi dengan orang-orang dalam berbagai level dan usia membuatnya menjadi seorang director yang sangat cocok untuk proyek besar ini. Tentu ini adalah fairy tale pada sebuah cerita penemuan hebat yang digagas ilmuwan hebat.
Namun film ini juga secara gamblang menceritakan bagaimana sosok pribadi Oppenheimer yang tak hanya unik namun juga memiliki banyak kontroversi di kehidupan pribadinya. Perselingkuhannya, dugaan keterlibatannya dengan partai komunis, dan rencana pembunuhannya di masa muda jelas bukanlah sebuah cerita dongeng yang sempurna layaknya buku-buku tokoh dunia yang sewaktu kecil dulu saya koleksi dan beli di toko buku Gramedia. Cerita pribadinya tidaklah ideal.
Sehingga bagi saya ini adalah film yang menceritakan sisi lain dari pencapaian besarnya yang mendunia. Ambisinya, keinginannya untuk bisa mewujudkan apa yang ada di pikirannya, dan jatuh bangun kehidupannya dengan gamblang diceritakan selama 3 jam.Â
Tambahan unsur fiksi dalam kisah cinta Oppenheimer dan beberapa dialognya dengan ilmuwan terkenal di masa itu juga menambah bobot film ini dan memunculkan rasa ingin mendalami berbagai karakter dan latar belakang kisah yang menjadi referensi adegan film ini.
Perdebatan mengenai apakah Oppenheimer merasa menyesal atau merasa bersalah atas keterlibatannya dalam produksi bom Atom yang meluluhlantakkan Jepang kala itu juga dengan cerdasnya dimunculkan Nolan di film ini. Benar bahwa ada aura kesedihan dan distorsi realita di beberapa kesempatan saat Oppenheimer tampil di hadapan publik, namun mimik wajahnya dan aksi yang dilakukannya justru berpotensi menjadi perdebatan di antara penonton filmnya.
Menurut saya, ucapan penyesalan ataupun rasa bersalahnya atas apa yang terjadi di Jepang tak pernah benar-benar ada. Oppenheimer tahu efeknya akan sebesar apa. Oppenheimer tahu bahwa semuanya sudah dikalkulasikan. Oppenheimer pun tahu bahwa dia bisa menjadi pahlawan bahkan musuh dalam satu rentetan kejadian yang sudah lebih dulu diformulasikannya. Bahkan Oppenheimer sudah memperhitungkan apa saja yang akan diterimanya setelah Manhattan Project selesai dan menuai pujian.
Dan semua chain reaction yang dibuatnya pada akhirnya terjawab di adegan paling akhir film ini. Tapi lagi-lagi, bukan Nolan namanya kalau ending film ini tak memicu perdebatan dan diskusi lebih jauh lagi di kalangan penonton. Tinggal tunggu saja forum-forum di media sosial yang membahas detail bagian-bagian film ini.
Kudos buat Oppenheimer.
Skor sempurna untuk film ini. Oscars are on the way for this movie!
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H