Bukan bermaksud spoiler, namun adegan mati lampu di rumah Yasmin yang diperankan oleh Marsha Timothy adalah salah satu adegan paling mengerikan bagi saya. Bukan hanya karena situasinya menjadi menegangkan, namun juga bagaimana rentetan teror setelahnya seakan tak pernah habis disajikan ke penonton.
Kombinasi tata kamera di area total blackout berpadu apik dengan beberapa adegan yang didesain total silent. Maksudnya di sini adalah adegan yang tidak ada musik latar ataupun dialog, melainkan hanya suara derap langkah, nafas dan berbagai benda yang tersentuh di sekitar sang tokoh utama. Hingga rasa sunyinya benar-benar terasa hingga ke kursi penonton.
Percayalah, detail-detail seperti ini yang membuat elemen horor dari Qodrat terasa begitu kokoh walaupun tak harus ada penampakan sosok hantu populer sebagai punchlinenya. Bahkan detail ini jugalah yang ketika dipadukan dengan adegan yang menggunakan CGI terasa semakin mantap dan tak terkesan garing. Dan surprisingly kualitas CGI nya sangat baik. Thumbs up!
Untuk itulah bagi saya Qodrat lebih dari sekadar film tentang rukiah. Juga lebih dari sekadar film yang berdakwah bagi penontonnya. Ini adalah film yang segar dan menghibur karena merupakan paket lengkap horor, drama dan action yang terasa digarap dengan sepenuh hati.
Qodrat juga menunjukkan bahwa genre horor religi apabila dikemas dengan menarik rasanya akan tetap bisa diterima para penikmat film, mengingat penonton lokal pun tumbuh dengan film-film horor religi yang bertebaran di masa lalu.
Dan apabila jumlah penonton Qodrat benar-benar tinggi, tak tertutup kemungkinan juga bahwa kelanjutan film ini akan diproduksi dan menciptakan semestanya tersendiri.
Pun apabila Qodrat meraup sukses, bukan tidak mungkin akan lebih banyak lagi sineas yang berani untuk mengangkat genre horor dengan kemasan dan pendekatan yang berbeda karena sejatinya penonton lokal sudah siap untuk menerima sajian yang baru walaupun mungkin belum tentu hasil akhir semuanya mampu menyamai genre mainstream yang lebih dulu dikenal.
Satu hal lagi yang jadi 'what-if' bagi saya setelah menyaksikan film ini dan sifatnya out of topic, heuheu. Bagaimana jadinya jika film superhero lokal yang tempo hari dirilis dan angka penontonnya sangat-sangat sedikit itu jadi digarap oleh sutradara film ini, Charles Gozali. Apakah hasil akhirnya akan berbeda? Mengingat adegan pertarungan dan penggunaan CGI film ini sangat efektif dan begitu mengasyikkan untuk disimak.