Angka 93% tomatometer dan 82% audience score pada website rottentomatoes.com rasanya sudah cukup memberikan gambaran awal tentang bagaimana kualitas film yang akan saya bahas pada tulisan kali ini. Setidaknya bagi Anda yang memang lebih senang melihat rating sebelum menonton suatu film.
Artinya secara kritik film ini sangatlah baik dan dari sisi penonton pun menunjukkan kalau apa yang disajikan film ini cukup memuaskan.
Prey adalah film yang akan dibahas di sini. Sebuah film yang ditujukan sebagai prekuel dari franchise action-survival yang terkenal di era 80-an akhir yaitu Predator.
Sebelum lanjut ke pembahasan film Prey, film Predator sejatinya menjadi film yang memiliki tempat tersendiri di hati saya. Karena film ini adalah salah satu dari beberapa film klasik yang saya nikmati di masa kecil pada saat format pemutar film masih berupa laser disc.
Begitu memorablenya film ini karena pada saat itu teknologi yang dihadirkan film ini termasuk canggih pada zamannya dan paduan unsur thriller serta actionnya juga begitu unik dan seru untuk dinikmati. Ya, walaupun berkali-kali orang tua saya kerap menutupi mata saya dengan tangannya karena berbagai adegan yang sadis dan penuh darah.
Betapa misterius dan menyeramkannya kehadiran sosok predator yang masuk ke hutan di Amerika Tengah tempat Arnold Schwarzenegger beserta rekan-rekannya berada serta betapa serunya adegan pertempuran yang penuh taktik demi bisa bertahan hidup menjadi ciri khas yang kelak menjadi dasar kisah pada cerita 3 sekuelnya dan 2 film crossover dengan franchise sci-fi horror yaitu Alien bertajuk Alien vs Predator.
Namun sayangnya setelah era Schwarzenegger, film Predator tak pernah tampil memuaskan bahkan cenderung diproduksi dengan kualitas biasa saja. Predator 2 yang diperankan Danny Glover begitu mengecewakan meskipun budgetnya lebih besar dari film pertamanya, The Predator yang diperankan Olivia Munn di tahun 2018 pun sama-sama tak mendapat respon positif.
Praktis hanya Predators-nya Adrien Brody di tahun 2010 yang cukup lumayan walaupun tak pernah mencapai level yang sama dengan film pertamanya. Itupun berkat visi Robert Rodriguez di tahun 1994 yang baru berhasil direalisasikan belasan tahun kemudian karena film ini merupakan 'soft reboot' yang tak memperdulikan film sebelumnya.
Sementara dua film Alien vs Predator juga terkesan hanya mengeruk keuntungan dari fanbase dua franchise terkenal ini karena secara cerita lagi-lagi terasa begitu generik.
Prey yang saat ini ditayangkan di Disney+ Hotstar pada awalnya tak begitu mencuri perhatian saya. Karena ketika proyek ini diumumkan, ekspektasi saya adalah film ini bakal jadi film yang tak jauh berbeda dari pendahulunya.Â
Namun saya lupa bahwa film ini ditangani oleh Dan Trachtenberg, yang melalui tangan dinginnya berhasil melanjutkan cerita teror Cloverfield dalam film 10 Cloverfield Lane dengan rasa dan genre yang jauh berbeda dari film pertamanya.
Prey, ternyata benar-benar memuaskan bahkan di atas ekspektasi saya. Prey seakan menunjukkan bahwa beginilah seharusnya franchise Predator dikembangkan. Bukan sekadar teror kedatangan makhluk extra terrestrial di tengah kehidupan manusia yang sudah jamak kita saksikan di berbagai film lainnya lalu membuat keributan namun juga mempertahankan beberapa ciri khas yang membuat film pertamanya begitu populer.
Ciri khas tersebut adalah porsi action-survivalnya, pertempuran Predator dan si tokoh utama yang solid dan berimbang, serta tentu saja adanya adegan sadis penuh darah yang tak hanya mengerikan tapi juga digarap dengan cara yang kreatif. Dan kali ini latar ceritanya berada ratusan tahun silam, tepatnya di tahun 1719.
Dari segi action survival, Prey bisa mengakomodir hal tersebut dengan baik. Bagaimana sang tokoh utama, Naru, yang diperankan oleh Amber Midthunter berhasil memberikan gambaran seorang wanita dari suku comanche (suku lokal yang menjadi asal muasal Amerika Serikat) yang tangguh dan memiliki semangat juang tinggi.
Naru bukanlah seorang wanita biasa, lingkungan sekitarnya yang merupakan pejuang dan pemburu membentuk dirinya menjadi pribadi yang tak gampang takut menghadapi berbagai ancaman.Â
Kecuali ketika akhirnya dirinya dipertemukan pertama kalinya dengan makhluk yang tak pernah dilihatnya, membuatnya harus berpikir lebih keras untuk bisa mencari tahu sekaligus jika memungkinkan, mengalahkannya.
Naru juga merupakan sosok yang gigih dan kreatif. Di mana hal ini ditunjukkan secara implisit melalui beberapa adegan dan secara eksplisit melalui dialog. Tentu saja ini menjadi hal penting bagi pengembangan karakternya dan juga menjadi poin yang membuat set up berbagai adegan pamungkas di film ini terasa masuk akal.
Saya suka dengan bagaimana Dan Trachtenberg menghadirkan nuansa thriller di film ini dengan cara membangunnya secara bertingkat sehingga menghasilkan berbagai momen mengerikan dan menegangkan yang intensitasnya terus naik menuju akhir cerita. Bahkan dibuat lebih mencekam melalui tata kamera yang atraktif serta visual efek yang tak berlebihan namun efektif sehingga berhasil menambah bobot kengeriannya.Â
Layaknya 10 Cloverfield Lane yang tenang di awal film dan 'chaos' menjelang akhir demi memberikan ruang untuk pengenalan karakternya di awal film serta potensi bahaya dari sang musuh utama, Prey pun demikian.
Kita diajak untuk melihat seberapa besar kekuatan sang Predator mulai dari hal terkecil ketika dirinya bertemu pertama kali dengan berbagai binatang liar dan bagaimana caranya menghabisi binatang yang dianggapnya sebagai ancamannya. Untuk kemudian secara bertahap teror tersebut mulai merambah ke lingkungan manusia dan menunjukkan seberapa besar potensi kerusakan yang bisa dihasilkannya.
Dan ketika potensi kerusakan tersebut sudah berhasil kita serap dan pahami, Dan Trachtenberg pun lanjut mengisi scene demi scene dengan berbagai teror penuh darah yang begitu mengerikan sekaligus kreatif.
Kreatif di sini dikarenakan teknologi Predator pada film ini berbeda dengan yang kita temui pada franchise Predator lainnya. Karena ini adalah 'nenek moyang' Predator era modern, maka meskipun teknologinya sudah lebih advance dari yang dimiliki suku comanche, namun tentu saja belum secanggih sinar plasma dan berbagai 'gadget' futuristik lainnya.
Itulah sebabnya adegan gore di film ini memberikan efek yang berbeda dari film-film Predator lainnya. Karena berbeda bentuk senjatanya, maka berbeda pula kengerian yang muncul dari tiap korbannya.
Namun begitu ciri khas predator yang kita kenal tetap ada seperti topeng yang memiliki kemampuan melihat target dengan sinar infra merah, membidik target dengan 3 titik merah yang ikonik, pengendali senjata melalui gawai di lengan, hingga suara predator yang khas yang juga disebut dengan 'clicking noise' di mana tak hanya menimbulkan kesan seram tapi juga terasa menganggu dan menjijikkan.
Pun begitu dengan momen Naru vs Predator. Di mana momen kejar-kejaran layaknya kucing dan tikus berhasil diset-up dengan sangat baik sehingga menghasilkan rangkaian adegan yang sukses membuat jantung berdegup kencang.
Tak hanya itu, pemilihan Naru sebagai lawan tangguh sang pemangsa yang notabene seorang wanita juga memiliki makna tersendiri. Tak hanya mengedepankan unsur girl power, namun juga memberikan makna bahwasanya lawan yang awalnya dianggap remeh justru sejatinya memiliki potensi bahaya yang tak bisa dipandang sebelah mata. Familiar dengan cerita Daud melawan Goliat bukan?
Naru dengan otak brilian dan senjata tradisional yang menjadi modalnya dalam melawan musuh yang memiliki teknologi melebihi zamannya juga seakan menegaskan bahwasanya kesederhanaan justru terkadang menjadi 'senjata' yang efektif dalam melawan segala kerumitan dan kompleksitas yang terbentuk seiring bertambah majunya suatu zaman.
Pun ini adalah cerita klasik tentang bagaimana perjuangan manusia untuk bertahan hidup dan melindungi orang terkasih serta menjaga tanah yang dimilikinya dari serangan sosok asing.Â
Dengan tambahan bumbu kesetaraan gender melalui sosok wanita pejuang yang menjadi antitesis atas sosok lelaki dengan otot besar pada film Predator pertama yang sebelumnya (mungkin) dianggap paling ideal dalam menghadapi serangan makhluk asing tersebut.
Dengan berbagai hal yang sudah dibahas tersebut, sudah tentu film ini saya rekomendasikan untuk ditonton. Khususnya bagi anda penggemar film bertema sci-fi dengan bumbu action-thriller-survival yang kental.
Prey berhasil memberikan sajian yang segar dari franchise Predator yang kita kenal sekaligus menyajikan ciri khas film Predator yang sudah lama hilang. Prey juga seakan memberikan nafas baru bagi franchise Predator sehingga bisa terus hidup asalkan dipegang oleh tangan yang tepat.
Seru, tegang dan menyenangkan, membuat saya memberikan skor 8,5/10 untuk film ini. Sebuah film yang isinya begitu padat hingga 90 menit durasi filmnya terasa kurang. Semoga film ini mendapatkan sekuelnya di tahun-tahun mendatang.
Salam kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H