Kostum Thor dan Jane sangat setia pada versi komiknya. Bahkan sebutan Mighty Thor dan Lady Thor yang memang ada pada komiknya namun terasa aneh jika diaplikasikan pada live action ternyata juga berhasil dimasukkan secara halus melalui salah satu dialog dalam film ini.
Sehingga memang hal ini mengindikasikan bahwa ke depannya unsur-unsur komik yang sebelumnya terasa "asing" bagi mata dan telinga penonton awam akan mulai diaplikasikan ke dalam format film dan serial MCU.
Bagi saya Thor: Love and Thunder berhasil memberikan sajian cerita yang menyenangkan dan menghibur di tahun ini. Memang tak benar-benar terasa spesial, namun cukup untuk mengobati kerinduan kita akan ciri khas film MCU yang ringan dan penuh warna, setelah sebelumnya terasa gelap di film Eternals dan Doctor Strange.
Kombinasi visual, CGI, adegan aksi, cerita romantis dan alunan musik latar berupa rock era 80'an dan Guns n Roses, membuat film ini terasa balance dalam memuaskan sisi audio dan visual para penontonnya. Membuatnya terasa maskulin dan manis di waktu yang bersamaan.
Film ini juga harus diakui menjadi sarana bagi Disney dalam menyisipkan isu kesetaraan yang memang sedang terus disuarakan.Â
Bagaimana karakter wanita seperti Jane menjadi representasi woman empowerment serta Valkyrie dan Korg yang menjadi representasi atas komunitas LGBTQ.
Dan hal tersebut berhasil disampaikan dengan halus baik secara langsung melalui adegan maupun secara subtil melalui dialog, cerita asal-usul dan bahasa tubuh yang ditunjukkan.
Thor: Love and Thunder juga menegaskan posisinya sebagai pondasi bagi kelanjutan saga Thor yang memang masih sangat terbuka lebar.Â
Dan mengingat tema ceritanya yang berhubungan dengan alam semesta, galaksi, dan dewa-dewi, bisa dipastikan bahwa Thor akan memiliki posisi penting pada fase 4 ini dan ambisi multiverse-nya MCU.