Bersyukurlah kita sebagai penikmat film karena di tahun ini benar-benar dimanjakan dengan berbagai judul film unggulan yang bergantian memenuhi layar bioskop nasional. Baik dari mancanegara maupun lokal, seperti tak ada habisnya memberikan kita sajian film yang menghibur dan menyenangkan setelah dua tahun terakhir terhambat karena pandemi yang belum terkendali.
Baru saja kita menjadi saksi keseruan Dr. Strange melintasi multi semesta, juga Tom Cruise yang kembali ke kokpit pesawat tempur dalam sekuel Top Gun Maverick, menyaksikan kesuksesan "Badarawuhi" menjadi film Indonesia terlaris dengan 9 juta penontonnya, dan menikmati cerita dengan budaya Batak yang kental dalam Ngeri-Ngeri Sedap, kita pun kembali disuguhkan film yang sejatinya sudah cukup lama dinanti khususnya bagi para penggemar film action superhero.
Ya, Satria Dewa: Gatotkaca yang menjadi film pembuka Satria Dewa Universe akhirnya bisa ditonton mulai hari Kamis kemarin, tanggal 9 Juni 2022. Membawa semangat cerita jagoan lokal dengan unsur wayang yang kental serta rencana kelanjutan proyek filmnya yang nampak menjanjikan, praktis membuat film ini begitu diantisipasi kehadirannya.
Namun apakah film ini berhasil memberikan impresi yang baik?
Sejujurnya dari segi penceritaan dan rencana jangka panjang, Satria Dewa: Gatotkaca cukup menarik untuk disimak dan diikuti. Membawa kisah klasik pewayangan tentang perselisihan Pandawa dan Kurawa, film ini juga didesain untuk menjadi pondasi pembuka semesta Satria Dewa yang nantinya akan berujung kepada perang Barathayuddha.
Melalui film ini, cerita wayang yang kompleks bisa disederhanakan menjadi cerita petualangan bertema remaja yang ringan dan mudah diikuti. Memperkenalkan berbagai karakter wayang kepada generasi muda dalam wujud, peran, serta ambisi yang relevan dengan dunia modern saat ini.
Itulah sebabnya tokoh-tokoh utama dalam film ini juga disesuaikan melalui pemilihan aktor muda yang sedang naik daun lalau dikombinasikan dengan aktor senior yang namanya sudah tak asing lagi di dunia perfilman sebagai peran pendukung dan villain di film ini. Seimbang.
Nama-nama seperti Rizky Nazar sebagai Yuda atau Gatotkaca, Yasmin Napper sebagai Agni, Omar Daniel sebagai Dananjaya, menjadi contoh aktor muda yang menjadi lead actor di film ini dan nampak dipersiapkan juga untuk proyek film selanjutnya dalam skala yang lebih luas, tentunya jika film pertamanya ini berhasil.
Di mana mereka kemudian beradu akting dengan aktor senior seperti Yatie Surachman, Sigi Wimala, Edward Akbar dan tentu saja aktor laga yang sudah tak asing lagi, Cecep Arif Rahman dan Yayan Ruhiyan.
Penampilan para aktor di film ini rasanya tak perlu dibahas. Semuanya berhasil memberikan penampilan yang terbaik sesuai porsinya masing-masing. Utamanya memang berperan dengan serius namun celetukan jenaka juga cukup banyak hadir untuk menyegarkan suasana.
Penampilan ensemble cast yang bisa dibilang menjanjikan itu sayangnya tak dibarengi dengan kualitas dialog yang baik. Maksudnya, dialog di sini terasa generik dan banyak yang terasa tidak terlalu penting. Sehingga bukan hanya menganggu pace cerita namun juga dalam hal penciptaan suasana atau atmosfer yang seharusnya serius, tegang, ataupun misterius, justru harus terdistraksi oleh dialog yang overused tersebut.
Contoh paling mudah adalah seluruh dialog yang disampaikan Zsazsa Utari menjadi dialog yang paling tidak terasa penting dan justru malah membuang-buang durasi. Pun dialog "Papa tega" dari Yasmin Napper saat diajak ke ruang rahasia milik ayahnya terkesan tidak pas dan jadi terdengar aneh.
Begitupun dari sisi editing, bagi saya editing film ini terasa kurang. Entah mengapa, perpindahan antar scenenya terasa jumpy dan kurang halus. Pun pada adegan pertarungan juga seringnya terasa kalau adegan itu memang di fast forward sehingga gerakannya terasa lebih cepat.
Tapi bukan berarti koreografi pertarungannya buruk. Justru fighting scene di film ini bisa dibilang cukup memuaskan meskipun bukan yang terbaik. Cukup pas untuk mengakomodir cerita yang memang didominasi oleh adegan tarung jarak dekat. Apalagi ketika pertarungannya melibatkan Kang Yayan dan Kang Cecep, sudah pasti mantap hasil akhirnya.
Sedangkan dari segi visual film ini tak bisa dibilang spesial. Ya, khas film-film Hanung Bramantyo pada umumnya. Namun untuk urusan CGI, lagi-lagi saya katakan bukan yang terbaik namun sudah cukup oke untuk mengakomodir adegan "henshin" sang jagoan serta dalam menghadirkan final fight yang penuh adegan kejar-kejaran dan baku hantam ala Man of Steel. Pun untuk CGI yang digunakan untuk menggambarkan mantra atau special power juga cukup oke untuk dinikmati.
Nah, yang luar biasa adalah kualitas kostumnya. Bagaimana kostum di film ini benar-benar terasa original, gagah, dan tetap modern walaupun membawa tradisi tokoh wayang melalui lekukan dan emblem yang ada pada kostum sang tokoh utama.Â
Sayang, kostumnya hanya muncul sebentar dan sempat diwarnai kontroversi terkait pengakuan desainer awal kostum tersebut.
Dengan berbagai poin yang sudah saya tuliskan di atas, maka bisa saya simpulkan bahwa film ini cukup menarik meskipun bukan yang terbaik. Cerita kebaikan melawan kejahatan menjadi cerita sederhana yang berhasil dikembangkan ke dalam semesta alternatif yang melibatkan eksistensi manusia dan alam semesta.
Bagi saya, Gatotkaca memiliki sedikit kesamaan dengan Wiro Sableng dan Gundala sebagai film pembuka yang "ditugaskan" untuk membuka jalan bagi kelanjutan semesta dan perkenalan akan tokoh-tokoh lainnya. Yaitu terasa ambisius, terlalu banyak memperkenalkan berbagai karakternya, dan cerita yang berisi banyak easter eggs untuk dibedah dan diulas.
Hal itulah yang menjadi kekuatan film ini karena membuat Gatotkaca juga menarik untuk dibedah khususnya untuk istilah-istilah Jawa Kuno yang ditampilkan melalui tulisan ataupun lambang yang tersebar di berbagai adegannya.Â
Sementara banyaknya karakter yang diperkenalkan menjadi titik lemah film ini karena penonton terlalu banyak diisi banyak informasi dan berujung tak peduli layaknya dua film origin story jagoan lokal yang saya sebut sebelumnya.
Sekarang tinggal bagaimana tim marketing bekerja untuk menjaga word of mouth para penonton untuk terus membicarakan soal easter eggs, lambang, bahkan cameo yang muncul di film ini. Mengingat Gundala cukup sukses karena teori-teori di dalamnya berhasil diangkat dan dibicarakan banyak orang. Khas franchise superhero Hollywood yang sudah kita kenal.
Untuk yang penasaran, Satria Dewa: Gatotkaca tentu saja layak untuk dicoba. Tak perlu berekspektasi terlalu tinggi dan cukup nikmati saja cerita yang ditawarkan film ini.
Intinya ini adalah film pembuka yang masih terdapat banyak kekurangan di sana-sini, namun tetap bisa dinikmati sebagai popcorn movie yang menghibur. Semoga saja film ini sukses dan film lanjutannya tetap dibuat serta ditingkatkan kualitasnya agar penonton benar-benar mendapatkan sajian film jagoan lokal yang memuaskan.
Skor 6,5/10 untuk Satria Dewa: Gatotkaca
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H