Tentu saja anak muda harus bisa membedakan namboru, nanguda, nantulang, bahkan panggilan lainnya kepada orang yang lebih tua jika tidak ingin kena semprot omelan.
Dan nyatanya, saya pun juga pernah seperti itu ketika baru memasuki keluarga Batak, heuheuehu. Makanya adegan ini begitu relate bagi saya pribadi.
Betapa otentiknya gambaran suasana tersebut tentu saja tak lepas dari dukungan akting brilian dari para aktornya. Dari mulai Arswendy, Tika Panggabean, Boris Bokir, Indra Jegel, Lolox hingga Ghita Bhebhita, semuanya berhasil memberikan penampilan yang memukau dan mengisi pos-pos aktingnya secara pas dan saling melengkapi. Belum lagi ditambah penampilan para cameo dan peran pembantu yang juga memberikan penampilan yang apik dan tak setengah-setengah.
Ditambah dengan komposisi aransemen musik yang super asyik oleh jagonya musik Batak, Vicky Sianipar, tentu saja membuat film ini semakin menarik untuk diikuti. Lagu-lagu Batak populer yang diaransemen ulang dalam komposisi rock, jazz dan pop bergantian masuk mengiringi berbagai jenis adegan dari mulai yang lucu, tegang, hingga adegan yang menguras air mata.Â
Pun aransemen musiknya tetap mempertahankan unsur kedaerahan yang kental dengan sentuhan modern yang tidak lebay sehingga bisa diterima di telinga pendengar dari berbagai usia dan latar belakang suku.
Intinya secara audio film ini berhasil memanjakan telinga. Pun secara visual film ini begitu indah dilihat berkat hamparan perbukitan di sekeliling Danau Toba yang keindahannya sungguh tiada taranya. Begitu magis melihatnya di layar bioskop.
Lalu bagaimana dengan ceritanya?
Ini yang saya suka. Bagaimana Bene Dion begitu rapi dalam membagi porsi komedi dan drama di sepanjang film yang membuat film ini terasa hidup.