Ada satu adegan di teras kontrakan, di mana seluruh aktor Srimulat berkumpul dan berdialog dengan tokoh Ki Sapari (Whani Darmawan) yang menurut saya merupakan adegan paling maksimal dalam mengocok perut.Â
Hal ini dikarenakan semua bit komedi khas Srimulat benar-benar dikeluarkan secara bertubi-tubi sehingga membuat rahang ini tertawa tanpa henti.
Mungkin bagi generasi muda saat ini lawakan Srimulat begitu identik dengan sebutan "jokes bapak-bapak". Benar, memang jokes khas Srimulat ini adalah jokes klasik. Hanya saja film ini menunjukkan bahwasanya hal tersebut bisa tetap relevan dengan era modern dan tetap menghasilkan tawa maksimal jika diramu secara tepat dan pas.
Contoh nyata adalah betapa senangnya saya ketika kemarin, pada studio bioskop yang saya datangi, gelak tawa tak hanya datang dari rombongan ibu-ibu yang memenuhi sisi kanan studio namun juga datang dari deretan anak-anak muda yang duduk di barisan-barisan depan saya. Artinya adalah Srimulat: Hil yang Mustahal masih mampu membuat tertawa penonton lintas generasi.
Hal yang menarik lainnya adalah bagaimana film ini seakan tetap menggunakan struktur khas Ketoprak ke dalam adegan-adegan filmnya. Di mana cerita utama tetap ada, namun humor dan candaannya juga seringnya mendistraksi penonton dari cerita utamanya.
Cerita utama film ini sejatinya sederhana. Mengangkat momen perjalanan anggota Srimulat ke Jakarta sekaligus menyelipkan sisi dramatis dari kisah hidup pelawak muda, Gepeng.Â
Namun seperti yang sudah ditulis sebelumnya, cerita utama ini seringnya terlupakan dan fokusnya pun berpindah ke berbagai adegan humor yang memang mendominasi film ini.
Tidak masalah jika anda sudah terbiasa menyaksikan format Ketoprak yang dimainkan Srimulat. Saya pun suka. Namun jika anda tipikal yang lebih menyukai film dengan cerita utama yang fokus dan utuh, maka film ini bisa jadi mengecewakan Anda.
Dan seperti yang sudah disinggung pada awal tulisan ini, Srimulat terasa mewah berkat sinematografinya yang apik sehingga mampu memberikan visual yang enak untuk dinikmati.Â