Di tengah euforia pesta sepak bola Eropa yang saat ini terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia, tentu saja hal-hal berbau sepak bola akan banyak dicari dan digandrungi kembali.
Belanja jersey tim kesayangan, memainkan video Youtube gol-gol legendaris terbaik, hingga mungkin menyaksikan beragam acara televisi yang berhubungan dengan sepak bola guna menambah referensi, menjadi beberapa contoh kegiatan yang biasa masyarakat dunia lakukan ketika mengalami demam sepak bola musiman.
Begitu juga dengan penulis yang jadi semangat untuk menyaksikan beragam film atau serial bergenre sport drama karena terbawa suasana dan euforia turnamen sepak bola akbar tersebut.
Maka pilihan penulis pun jatuh kepada serial 10 episode yang di tanggal 23 Juli nanti akan muncul musim keduanya, di mana ditayangkan secara eksklusif di platform streaming Apple Tv+ berjudul Ted Lasso.
Namun layaknya sepiring nasi goreng yang nampak luarnya terlihat sama baik yang dimasak di restoran berbintang maupun di kaki lima dan baru terasa bedanya tergantung dari siapa yang memasaknya, Ted Lasso pun demikian.
Resep cerita drama olahraga yang sebelumnya sudah kita kenal tetap dipakai pada serial ini. Namun para penulis dan sutradara serial ini dengan kreatifnya memasukkan berbagai bumbu tambahan yang membuat serial ini unik, lebih segar, dan tentu saja sedap terasa.
Lasso yang didatangkan atas permintaan langsung sang pemilik klub, Rebecca Welton (Hannah Waddingham) pun diharapkan mampu mengubah situasi di internal klub dan mengubah posisi klasemen walaupun fakta berbicara bahwa Lasso belum punya pengalaman sama sekali melatih tim sepak bola. Lasso pun mau tak mau harus beradaptasi dengan cepat walaupun harus mengalami culture shock yang tidak mengenakkan.
Ted Lasso tetaplah menjadi seorang Ted Lasso yang humble, tidak mudah menyerah, dan selalu mengalirkan energi positif. Ia tidak menyadari bahwa kedatangannya ke Richmond berkaitan dengan misi balas dendam sang pemilik. Yang ia tahu hanyalah bahwa ia memiliki tantangan besar yang harus dihadapinya, baik pada klub barunya maupun pada kehidupan personal yang dijalaninya.
Ted Lasso yang sifatnya cenderung periang dan di beberapa hal terkesan polos, pada akhirnya justru menjadi semacam tameng yang menjaga dirinya sendiri. Bertubi-tubi serangan yang menghampirinya baik dari media, pemilik, bahkan pemainnya sendiri, semuanya bisa diatasinya dengan baik.
Seperti diketahui, peran media dalam menyebarkan gosip dan berita pedas yang seringnya menyerang pribadi pelatih maupun atlet cukup digambarkan secara gamblang pada serial ini. Tak terkecuali dengan bagaimana skeptisme yang cenderung toxic juga sering menjadi "senjata" para awak media kepada pelatih yang berasal dari luar Inggris itu sendiri.
AFC Richmond memang sebuah klub rekaan yang tidak ada di liga profesional Inggris saat ini. Namun AFC Richmond nampak terinspirasi dari klub liga Inggris yang seringnya bertengger di papan tengah hingga papan bawah.
Layaknya klub-klub papan bawah Liga Inggris yang seringnya menunjukkan performa angin-anginan di atas lapangan serta miss management yang berujung pada inkonsistensi prestasi, AFC Richmond pun digambarkan demikian.
Namun sayangnya, kecintaan fans tak dibayar dengan manis oleh sang pemilik klub. Ego dan kepentingan politik pemilik klub lah yang membuat AFC Richmond tak berprestasi walaupun selalu dapat dukungan loyal dari para fansnya. Sebuah gambaran nyata akan kondisi management klub sepak bola saat ini bukan?
Mulai dari desain jerseynya yang mengingatkan kita akan klub Crystal Palace, kondisi training centre yang tak terkesan mewah khas klub papan bawah, hingga karakteristik salah satu pemainnya yaitu Roy Kent yang terinspirasi dari Roy Keane-nya Manchester United, yang walaupun kharismatik namun memiliki masalah dalam mengatur emosinya.
Layaknya film/serial bergenre drama olahraga lainnya, tentu saja Ted Lasso masih membawa tema umum yaitu perjuangan, pengorbanan, dan persahabatan. Namun Ted Lasso tidak pernah memberikan hasil layaknya kisah fairy tale yang penuh keajaiban. Kisah Ted Lasso begitu membumi, dengan progress yang dicapai Ted Lasso pun terasa masuk akal dan tak berlebihan.
Seperti Ted Lasso yang tak pernah menjanjikan timnya juara namun berjanji akan melakukan perubahan, kita pun sebagai penonton lantas diberikan bukti akan perubahan yang dimaksudkan Lasso.
Dari sebuah tim yang kehilangan sosok pemimpin, terganggu oleh ulah pemain bintangnya yang arogan dan tak disiplin, hingga tak adanya kesatuan hati ketika bermain, AFC Richmond yang dilatih Lasso berhasil bertransformasi menjadi klub yang lebih baik dan disiplin. Dan perubahan nyatanya memang tidak selalu memberikan hasil yang instan.
Chemistry Ted pun sangat baik bahkan kepada orang yang selama ini tak pernah diperhatikan klub dan pemain yaitu Nathan Shelley(Nick Mohammed), seorang Kit Man yang ternyata memiliki talenta tersembunyi dalam membaca strategi dan kondisi starting eleven ideal untuk klub.
Dan chemistry Ted Lasso dengan Nathan di serial ini juga cukup mencuri perhatian, karena tak kalah lucu dibandingkan chemistry Ted Lasso dengan Coach Beard (Brendan Hunt).
Serial dengan komedi satire yang terkadang juga melemparkan dark jokes ini memang sangat jenaka. Setiap jokesnya terasa sangat segar dan tak usang. Bahkan penampilan Jason Sudeikis sebagai seorang coach yang memiliki pengetahuan sepak bola pas-pasan namun selalu riang, mampu mengalirkan aura positif nan energik yang terasa hingga ke kursi ruang televisi kita di rumah.
Ted Lasso yang merupakan konten original Apple Tv+ ini penulis berikan skor 9/10. Menjadi tontonan yang cocok dijadikan suplemen di tengah euforia gelaran Euro 2020 dan Copa America 2021 ini.
Selamat berakhir pekan. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H