Tak bisa dipungkiri bahwasanya Wonder Woman 1984 atau juga disebut WW84 adalah film yang cocok dinikmati di layar lebar. Karena selayaknya film-film DC Extended Universe lainnya, WW84 juga menawarkan visual yang indah, CGI kelas atas, dan scoring megah khas Hans Zimmer yang nampak menjadi warisan sekaligus benang merah untuk berbagai film DC Universe lainnya.
Hal itu jugalah yang lantas membuat penulis makin yakin untuk melangkahkan kaki ke bioskop setelah jam kerja berakhir. Melihat film yang kehadirannya sudah diantisipasi sejak beberapa tahun yang lalu. Melihat film yang diyakini tak hanya sekadar jualan CGI khas superhero namun juga memberikan keceriaan sekaligus harapan di tengah situasi pandemi yang tak kondusif ini.
Bahkan di film ini saya berani mengatakan bahwa "Hans Zimmer is in another level" . Musiknya terasa magis dan membuat mood penonton terbangun dengan sempurna, siap menyambut "The Goddess of DC" tersebut.
Pada adegan tersebut penonton disajikan sebuah cerita tentang bagaimana seorang Diana kecil menemukan arti tentang kejujuran untuk pertama kalinya. Sebuah pesan kuat yang kelak menjadi poin utama dalam pencapaian klimaks ceritanya.
Setelahnya penonton kemudian diajak untuk melihat petualangan Diana of Themyscira (Gal Gadot) di tahun 1984. Sebuah tahun di mana musik elektronik dan fashion warna-warni menginvasi dunia.
Lagi-lagi musik dari Hans Zimmer membuat kita ikut masuk ke dalam suasana tahun 1984. Mengingatkan kita pada suasana petualangan klasik Marty McFly dalam film Back To The Future.
Setelahnya film baru menemui konflik intinya ketika kita diperkenalkan oleh karakter Max Lord(Pedro Pascal) serta Barbara Minerva(Kristen Wiig). Keduanya kelak menjadi villain utama yang lagi-lagi akan menyibukkan Diana sebagai penjaga kedamaian dunia.
Sembari melindungi dunia dari orang-orang yang haus kuasa tersebut, Diana sekali lagi harus menemui sebuah pilihan hidup yang sulit. Menjadi kuat dan terus menatap harapan akan masa depan atau mendapatkan kembali cinta Steve Trevor(Chris Pine) yang kehadirannya justru melemahkan Diana?
Kisah Cinta Seorang Diana Prince yang Begitu Menyentuh
Sosok Wonder Woman dalam film ini memang sudah mengalami banyak perubahan sejak kita menyaksikan film pertamanya yang dirilis 3 tahun lalu. Diana Prince sudah menjadi sosok "hero" yang dibutuhkan masyarakat meskipun kemunculannya di hadapan publik masih terkesan malu-malu.
Namun Diana Prince masih menjadi seorang wanita yang sama, yang sulit untuk move on dari kisah cinta masa lalunya, Steve Trevor. Sosoknya terus membayangi langkah kakinya kemanapun ia pergi.
Hal inilah yang kemudian mampu dieskploitasi secara maksimal oleh Patty Jenkins. Bagaimana ia mempertemukan kembali Diana dengan Trevor untuk kemudian memisahkannya kembali digarap dengan begitu apik. Menghasilkan kisah percintaan yang manis sekaligus menyakitkan, namun terasa amat kuat untuk dikenang oleh para penontonnya.
Saya rasa kisah cinta dalam film ini menjadi salah satu kisah cinta terbaik dalam lingkup film superhero yang mana bisa disandingkan dengan kisah Peter Parker dan Gwen Stacy di dwilogi The Amazing Spider-Man, serta Steve Rogers dan Peggy Carter dalam franchise Captain America.
Ketika Kejujuran Mampu Merobohkan Keserakahan dan Iri Hati
Salah satu kekuatan sekaligus kelemahan film ini adalah terkait pesan yang dibawanya untuk dunia. Berbeda dari film pertamanya yang lebih fokus pada isu woman empowerement, film keduanya justru terasa lebih universal.Â
Karena WW84 membawa isu sosial mengenai keserakahan yang sejatinya menjadi awal dari segala pertikaian yang terjadi di seluruh dunia hingga hari ini. Sembari tetap menyentil terkait isu misogini yang hingga kini masih melekat di masyarakat.Â
Namun tentu saja dunia masih butuh setitik kejujuran untuk mengubah keadaan. Kejujuran yang lantas dibawa dan diperjuangkan Diana untuk dunia.
Pesan inilah yang sejatinya dieksekusi cukup baik oleh Patty Jenkins. Menjadi semacam sentilan keras kepada para pemangku kepentingan di seluruh dunia yang memiliki hasrat berkuasa seakan tak ada habisnya.
Hanya saja hal ini juga menjadi kelemahan lantaran penyampaiannya di beberapa adegan terkesan terlalu preachy lewat monolog Diana juga beberapa dialog dengan lawan mainnya. Bahkan beberapa diantaranya cenderung dipaksakan dan tak pada tempatnya.
Sajian Seru yang Menghibur
Namun terlepas dari apa yang menjadi titik lemahnya, tak bisa dipungkiri bahwa film ini adalah sebuah wahana hiburan whole package. Penonton dimanjakan melalui visualnya, akting apik para aktornya, homage akan film-film superhero yang kita kenal di masa kecil, serta tentu saja dipuaskan oleh alunan musik Hans Zimmer.
Gal Gadot absolutely Goddess!
Penampilannya begitu memukau baik tanpa kostum maupun ketika berkostum Wonder Woman. Pun beberapa adegan fightingnya terasa padat di mana beberapa di antaranya dilakukan sendiri oleh Gal Gadot tanpa bantuan stuntman.
Visual CGI yang ditampilkan pun tidak main-main. Menghidupkan Themyscira yang agung dan megah tentu menjadi catatan positif film ini. Serta bagaimana CGI nya mengakomodir berbagai adegan fighting berintensitas tinggi, tentu menjadi poin tambahan yang berhasil memunculkan kekaguman bahkan tepukan tangan di beberapa scene klimaksnya.
Tak hanya Gal Gadot yang bersinar di film ini. Mulai dari second lead hingga supporting actor film ini pun semuanya tampil maksimal. Chris Pine jelas menjadi pelengkap, sementara Pedro Pascal berhasil menghidupkan seorang karakter yang menyebalkan, melengkapi Kristen Wiig yang berhasil melakukan transformasi kepribadian dari yang sebelumnya seorang wanita biasa saja menjadi haus akan perhatian.
Menjadi semacam teaser akan apa yang bisa disajikan DC dengan universenya di masa depan sekaligus penutup yang klimaks akan sebuah perjalanan seru dan menghibur dari babak baru petualangan Diana Prince.
Jangan dilupakan bahwa Golden eagle armor, invisible jet, dan penampilan sosok legendaris di akhir film tersebut jelas menjadi fan service yang sangat memuaskan.Â
Penutup
Memang di beberapa negara yang sudah tersedia layanan HBO Max film ini tayang eksklusif di platform tersebut. Namun untuk negara yang belum tersedia termasuk Indonesia, theatrical release ini jelas menjadi angin segar bagi industri bioskop. Setidaknya untuk Indonesia, kehadiran Diana Prince sedikit memberikan nafas bagi bioskop nasional meskipun hasilnya mungkin tak akan sama dengan kondisi sebelum pandemi.
WW84 memang lebih asyik dinikmati pada layar lebar dengan sound yang menggelegar. Namun jika anda masih khawatir untuk bepergian ke bioskop, tak usah dipaksakan.Â
Dan jika mengambil keputusan untuk pergi, kiranya harus disiplin diri untuk menerapkan protokol kesehatan. Karena dari pihak bioskop pun sudah susah payah untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada para calon penonton.
Penulis berikan nilai 9/10 untuk petualangan Diana Prince yang memukau.
Selamat menonton. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H