Yang membuat penulis senang menyaksikan Greenland adalah bahwasanya film ini menawarkan hal yang berbeda di tengah narasi bumi terancam bahaya yang terasa repetitif. Ya, unsur kemanusiaan lebih ditekankan melalui sisi psikologis manusia dalam mengahadapi bencana skala besar yang tak mampu diprediksi siapapun itu.
Penulis film ini yaitu Chris Sparling cukup piawai dalam memainkan emosi penonton. Hal yang sebelumnya sudah pernah ia sajikan melalui film yang membuat kita phobia akan ruang sempit, Buried(2010).
Chris nampak menjadi pelengkap bagi sang sutradara, Ric Roman Waugh, yang sebelumnya juga pernah bekerja sama dengan Gerard Butler di film Angel Has Fallen. Melengkapi gaya penyutradaraannya yang bisa dibilang tak ada yang spesial.
Hal yang memang dengan apik dibangun sejak awal film ini hingga klimaksnya kemudian menyebabkan terjadinya pertikaian hingga kematian yang sebenarnya tidak diinginkan. Di sini unsur kemanusiaan benar-benar diuji.
Singkatnya, film ini mampu menangkap suasana chaos, mencekam, dan ketidakberdayaan manusia terhadap situasi mengerikan tersebut di sepanjang 2 jam durasi filmnya. Membuat kita tak berfokus pada kehancuran dunia karena tabrakan komet belaka, melainkan bagaimana perubahan sifat manusia itu nyata adanya dan teruji dalam setiap situasi sulit yang melanda hidup mereka.
Penutup
Greenland sebenarnya masih memiliki cerita yang tak jauh berbeda dengan disaster movie lainnya. Hanya saja lebih banyak porsi drama kemanusiaannya itulah yang membuat film ini cukup berbeda dan tampil segar.
Penulis cukup menyayangkan endingnya yang terkesan membuat film ini tak mendapatkan klimaksnya. Karena sebenarnya ada bagian yang jika sang sutradara mengakhirinya di situ bisa berpotensi menghasilkan cliffhanger atau ending multi tafsir yang menarik. Ya, sekadar opini penulis saja heuheu.