Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Stateless" dan Arti Penting Kemerdekaan bagi Manusia

19 Agustus 2020   08:05 Diperbarui: 19 Agustus 2020   13:09 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memaknai 75 tahun kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus 2020, tentu tak bisa dipisahkan dari semangat pembebasan yang diperjuangkan para pendahulu kita di masa lalu. Menjadi harga mahal yang membuat kita di masa ini bisa menghirup udara bebas dengan nyaman dan beraktivitas dengan merdeka tanpa hambatan.

Namun tak selamanya kemerdekaan itu hanya berbicara tentang pembebasan suatu negara dari tangan penjajah. Tak selamanya kemerdekaan identik dengan hadiah atas peperangan angkat senjata yang memakan korban jiwa.

Lebih dari itu kemerdekaan bagi manusia memiliki cakupan yang sangat luas. Merdeka untuk hidup, merdeka untuk bekerja, merdeka untuk mengeluarkan suara dan pendapatnya, serta merdeka untuk memilih masa depannya.

Sama seperti cerita pada miniseri Netflix berjudul Stateless yang mengizinkan kita sebagai penonton untuk memaknai kembali kemerdekaan yang sesungguhnya bagi manusia. Kemerdekaan yang sejatinya hanya sejengkal dari tempat kita berpijak, tapi kenyataannya cukup sulit untuk diraih.

Memiliki 6 episode dengan masing-masing episodenya berdurasi 45 menit sampai dengan 50 menit, miniseri asal Australia yang juga dipenuhi aktor dan aktris asal Australia ini memiliki cerita non-linear yang diambil dari sudut pandang 4 karakter utamanya.

Sumber: whatsonnetflix.com
Sumber: whatsonnetflix.com
Ada Sofie Werner (Yvonne Strahovski), seorang pramugari yang sedang berada dalam pencarian jati dirinya untuk membuktikan dirinya mampu menjadi wanita dewasa tanpa intervensi orangtua dan keluarganya. 

Namun dalam perjalanannya, Yvonne justru mendapatkan pelecehan seksual dari pasangan spiritual mentor yang selama ini dipercayainya, Gordon Masters (Dominic West) dan Pat Masters (Cate Blanchett).

Impiannya menjadi seorang wanita bebas terkubur dalam dan menjadi motivasi utama dalam pelariannya kelak.

Ameer dan keluarganya. Sumber: Variety.com
Ameer dan keluarganya. Sumber: Variety.com
Kemudian ada Ameer (Fayssal Bazzi), imigran asal Afghanistan yang mencoba peruntungannya bersama istri dan kedua putrinya untuk bisa tinggal di negara lain, keluar dari negara asalnya yang sarat konflik.

Selain itu ada Cam Sandford (Jai Courtney), seorang lelaki Australia yang berusaha lepas dari pengangguran dengan menerima tawaran pekerjaan sebagai petugas keamanan di pusat detensi imigrasi. 

Serta Clare Kowitz (Asher Keddie), kepala pusat detensi imigrasi yang menyadari banyaknya skandal nasional dari bobroknya sistem birokrasi di Australia.

Sumber: standard.co.uk
Sumber: standard.co.uk
Keempatnya dipertemukan dalam satu tempat di padang gurun nan tandus yaitu pusat detensi imigrasi Barton. Barton Centre yang dalam dunia nyata bernama Baxter Centre tersebut memang di desain layaknya sebuah penjara bagi para imigran yang tidak memiliki dokumen dan mencoba masuk ke wilayah Australia.

Namun meskipun berbeda latar belakang penceritaan yang dibawa masing-masing karakter tersebut, keempatnya nyatanya memiliki satu persamaan dalam hidup mereka. Yaitu keinginan untuk menjadi manusia bebas setelah terpenjara oleh keadaan yang mereka alami.

Terdiri dari 4 sudut pandang penceritaan, namun tokoh Ameer dan Sofie jelas memiliki porsi lebih besar dalam menggerakkan keseluruhan cerita pada miniseri ini. Di mana kisah keduanya cukup kontradiktif namun cukup untuk memberikan gambaran unik di sepanjang 6 episodenya.

tbvision.com
tbvision.com
Ameer adalah sosok imigran yang ingin terbebas dari belenggu konflik di negaranya dan menginginkan Australia sebagai tempat untuk mendapatkan harapan baru. 

Sementara Sofie yang merupakan warga Australia asli justru ingin keluar dari negaranya agar bisa terbebas dari belenggu trauma dan rasa kecewa yang dialaminya.

Ameer bersama istri dan dua putrinya adalah gambaran orang-orang di negara konflik yang menjadi korban keganasan perang dan propaganda politik yang menyakitkan. Tidak seperti kita yang memiliki kebebasan bereskpresi bahkan menentukan jalan hidup kita, mereka justru tidak memiliki kesempatan itu sama sekali.

Kalaupun ada kesempatan untuk lari dari "neraka" di negara mereka, seringnya justru mengalami penipuan berujung pemerasan bahkan tak sedikit yang berujung pada perdagangan manusia dengan iming-iming yang menggiurkan di awal. Dan hal ini nyatanya tidak hanya terjadi di Australia saja, melainkan hampir seluruh negara di dunia.

Sumber:kompas.com
Sumber:kompas.com
Sementara Sofie menjadi gambaran akan orang-orang yang seharusnya aman dan nyaman berada di negara yang tidak berkonflik, namun justru terpaksa harus membenci negaranya berkat perlakuan tidak menyenangkan yang dialaminya di negara sendiri. Konflik dan persekusi yang justru dihadirkan oleh saudara sebangsanya sendiri.

Kisah lainnya dari sudut pandang tokoh Cam dan Clare memang tak sekuat dua kisah yang sudah disebutkan sebelumnya. Namun tambahan sudut pandang kedua tokoh ini pun sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan cerita yang tak kalah menyentuh untuk melengkapi puzzle yang dibangun Ameer dan Sofie.

Kisah yang nampak seperti dua sisi mata uang, di mana Australia menjadi inti dari segala konflik tersebut jelas membuat serial ini mampu berjalan non-linear dan berhasil membuat banyak kepingan puzzle yang cukup seru untuk disusun hingga episode finalnya.

Sutradara Emma Freeman dan Jocelyn Moorhouse yang dibantu beberapa penulis skrip termasuk Cate Blanchett, jelas mampu menghadirkan kisah menarik yang tak hanya seru untuk diikuti namun juga membuat penasaran. Meskipun narasi yang dihadirkan cenderung kelam dan gelap.

Bahkan rasanya tak berlebihan jika kemudian penulis mengatakan bahwa Stateless lebih dari sekadar miniseri.

Stateless memberikan para penontonnya fakta kehidupan para imigran yang menohok sekaligus pahit, yang sayangnya masih banyak terjadi di berbagai belahan dunia hingga saat ini.

Sumber: netflix.com
Sumber: netflix.com
Tak hanya itu, tema trauma yang juga menjadi bagian dari mental illness juga memiliki porsi yang cukup dalam. Cerita Sofie sang pramugari yang mengalami pelecehan seksual menjadi pesan kuat terkait betapa persekusi dan ancaman pasca pemerkosaan memiliki efek yang luar biasa bagi korbannya.

Sama seperti setiap korban pemerkosaan yang ada, Sofie mungkin bisa saja langsung melapor ke polisi terkait pelecehan yang baru saja ia alami. 

Namun ancaman dari pelaku yang nampak lebih kuat dari korbannya, serta ketakutan akan stigma negatif yang disematkan, kerap membuat si korban enggan melaporkan dan memilih untuk mengubur cerita kelam tersebut meskipun berakibat sangat fatal pada dirinya sendiri. 

Belum lagi birokrasi rumit di kepolisian yang membuat para polisi enggan bertindak secara cepat mengungkap kasus seperti ini.

Bahkan lebih menyakitkan lagi kala mental illness yang dialami olehnya dianggap remeh oleh orang-orang di sekitarnya. Menjadi gambaran nyata akan kondisi dunia saat ini, di mana pengidap mental illness justru lebih sering dikucilkan dan tak dihiraukan alih-alih dibantu dicarikan jalan keluarnya.

Karakter Sofie mungkin hanya rekaan yang diinspirasi dari kisah nyata, namun Yvonne mampu menghidupkan karakter Sofie dengan segala problematika yang dialaminya dengan begitu hidup dan menyentuh. 

Membuat karakternya begitu believable hingga kita diizinkan untuk ikut empati dan mengutuk keras pelaku yang membuatnya menjadi seperti itu.

Sumber: rollingstone.com
Sumber: rollingstone.com
Stateless yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti tidak memiliki kewarganegaraan memang bisa diartikan secara harafiah lewat tema imigran yang disematkannya. Namun lebih daripada itu, Stateless juga memiliki arti lebih dalam terkait arti sebuah rumah dan kemerdekaan bagi manusia itu sendiri.

Karena tanpa adanya 'rumah' tempatnya pulang, ada kalanya manusia justru terpenjara oleh keputusan yang dipilihnya. Hingga terkadang mampu melawan hati nurani yang menginginkan hal sebaliknya.

Ada kalanya juga manusia justru terpenjara oleh perlakuan di sekitarnya, oleh intervensi keluarga, yang seolah-olah membuat manusia tidak bisa bergerak bebas dalam menentukan jalan hidupnya.

Stateless dengan tone oranye-merahnya memang memberikan kita visualisasi panas, pengap, dan chaotic dari sebuah instalasi detensi imigrasi di tengah padang tandus. Memberikan kita suasana sesak dan tidak menyenangkan di sepanjang 6 episodenya.

Thehindu.com
Thehindu.com
Namun meskipun begitu, Stateless tetap memberikan kita beberapa titik senyum yang timbul dari harapan, kabar bahagia, dan pengorbanan yang semakin nyata menjelang episode akhir.

Ya, setidaknya masih ada kebahagiaan yang bisa kita nikmati pada miniseri ini. Yang menyadarkan kita bahwasanya kemerdekaan bagi manusia itu sangatlah berarti itu mahal harganya.

Stateless: 8/10
Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun