Bagi penulis, salah satu jenis masakan yang tidak pernah failed dan terasa membosankan ketika dikecap oleh indra perasa adalah masakan Padang. Kuatnya rempah, gurihnya santan, dan banyaknya jenis olahan lauk pauk yang menggugah selera, menjadi sebab mengapa masakan ini selalu cocok untuk dinikmati setiap hari.
Sama seperti minimarket yang letaknya berdekatan satu sama lain, restoran Padang pun sering ditemui yang seperti itu. Mungkin hanya terpaut jarak beberapa ratus meter antara satu rumah makan dengan rumah makan lainnya. Pun hampir di setiap daerah di Indonesia pasti terdapat restoran yang menyediakan masakan khas Sumatera Barat tersebut.
Bahkan ada gurauan yang menyatakan bahwa jika kita mengunjungi daerah tertentu dan kesulitan beradaptasi dengan jenis masakan setempat, maka restoran khas Padanglah penyelamat lidah kita.
Tentu menarik melihat menjamurnya restoran Padang tersebut. Apalagi jika kita mencoba untuk menyelami seperti apa sebenarnya persaingan antara satu restoran dengan restoran lainnya.
Namun membahas serial Saiyo Sakato sejatinya tak bisa dipisahkan dari film Indonesia bertema kuliner lainnya yang juga mendapatkan banyak penghargaan yaitu Tabula Rasa. Banyak kesamaan yang sejatinya bakal kita temukan di sepanjang cerita serial ini.
Namun jika Tabula Rasa membawa bumbu toleransi antar ras dan agama dalam alur kisahnya, maka Saiyo Sakato lebih mengedepankan sisi psikologis dan kemanusiaan terkait poligami dan konflik antara istri pertama dan istri kedua yang menyertainya.
Mengetahui usianya sudah tak lagi muda, Mar pun mencoba memberikan usaha restoran tersebut untuk diteruskan oleh anak-anaknya, Zainal (Chicco Kurniawan) dan Nissa (Fergie Britney), di mana mereka berdua harus menjalani semacam tes untuk mendapatkan kepercayaan Mar sekaligus menentukan siapa yang layak menjadi nakhoda restoran tersebut nantinya.
Masalah kemudian muncul ketika Zainal yang diharapkan menjadi penerus Saiyo Sakato, justru tumbuh menjadi pemuda idealis yang memiliki keinginan membangun usaha sendiri, lepas dari usaha milik orangtuanya. Sementara Anissa yang passionate terhadap bisnis ini, justru kurang dipercaya lantaran hasil masakannya tidak konsisten.
Ketika masalah penerus Saiyo Sakato masih menjadi konflik internal keluarga tersebut, tambahan konflik eksternal justru muncul dari seseorang yang tak pernah diduga kedatangannya. Ia adalah Nita (Nirina Zubir), seorang wanita yang mengaku bahwa dirinya adalah istri sah Da Zul yang juga memiliki satu orang anak.
Keadaan yang semula sudah panas pun lantas berkembang menjadi lebih panas lagi.
Konflik pun tak bisa dikendalikan lagi. Konflik yang pada akhirnya tak hanya membawa perselisihan di dalamnya, namun juga menghasilkan nilai-nilai kehidupan yang menyadarkan satu sama lain. Termasuk datangya cinta yang tak diduga antara Nissa dengan Emir(Jourdy Pranata), adik dari Nita.
Sebuah Serial yang Menggugah Selera
Sedari awal saja kita sudah disuguhi adegan masak yang memperlihatkan racikan penuh bumbu dan kaya rempah yang menarik mata. Visualnya sungguh indah dengan tone warna yang tajam dan detail.
Bukan bermaksud membandingkan, namun bagi penulis pribadi, tiap shoot makanan pada serial ini jauh lebih menggugah selera dari Tabula Rasa.Â
Namun tentu tidak lengkap rasanya jika film ini hanya berfokus pada makanan tanpa ada cerita lain yang melengkapinya. Maka tangan dingin Salman Aristo dan Gina S. Noer yang turut campur tangan dalam produksi dan penulisan skenario ini pun berhasil menunjukkan kelasnya tersendiri.
Pun kisah perselisihan antara istri pertama dan kedua tidak terasa menghakimi, di mana kedunya memiliki faktor benar dan salah yang cukup seimbang. Bahwasanya setiap masalah dalam rumah tangga selalu ada sebab akibatnya.
Serial ini juga mencoba menangkap sisi lain dari poligami itu sendiri lengkap dengan pesan kuat yang menyertainya. Karena entah keputusan poligami tersebut datang dengan alasan yang cukup kuat ataupun hanya sekadar "nafsu" belaka, keduanya memiliki permasalahan pelik yang menunggu di belakang, di mana seseorang yang menjalankannya harus mempersiapkan hal-hal tersebut dengan sebaik-baiknya.
Penggambaran konflik antara istri pertama dan kedua dalam serial ini benar-benar patut diacungi jempol. Pasalnya meskipun masih dalam koridor komedi yang jenaka, konflik yang terjadi antara Mar dan Nita tampil begitu natural. Duet Cut Mini dan Nirina Zubir benar-benar mampu menghibur sekaligus memainkan emosi penonton.
Bahkan khusus bagi Dea Panendra dan Indra Jegel, keduanya yang berperan sebagai petugas parkir masing-masing restoran mampu menjadi sumber komedi tambahan yang benar-benar menghibur. Tingkah laku serta dialognya yang jenaka memberikan warna tambahan bagi serial ini.
Serupa Tapi Tak Sama
Persaingan rumah makan Padang, adu resep legendaris, hingga pengkhianatan anggota keluarga menuju restoran sebelah, menjadi beberapa contoh faktor yang membuat keduanya tampak mirip.
Namun jika Tabula Rasa mengangkat isu toleransi agama dan ras yang kemudian dilengkapi dengan narasi "harapan semu" dalam menggapai impian di Pulau Jawa, maka Saiyo Sakato lebih mengangkat isu woman empowerment dan berbagai realita manis dan pahit yang mungkin terjadi terkait poligami dari sudut pandang wanita.
Sebuah realita yang masih terjadi hingga kini. Sebuah impian pulau Jawa yang kadang tak seindah yang dibayangkan.
Sementara pada Saiyo Sakato, karakter Zainal dan Anissa menjadi interpretasi atas realita anak muda masa kini yang sejatinya memiliki banyak pilihan dan fasilitas untuk menuju kesuksesan.Â
Beberapa diantaranya memang berhasil menghidupi passionnya berkat talenta bahkan privilegenya, namun tak sedikit juga yang terjebak pada tujuan hidup yang salah terkait idealisme yang tidak pada tempatnya.
Sampai di sini Tabula Rasa berhasil menyampaikan realita kehidupan yang tak lekang oleh waktu. Bahwasanya pesan-pesan kehidupan di dalamnya akan tetap relevan hingga beberapa generasi ke depan.Â
Sementara Saiyo Sakato mencoba lebih peka terhadap realita sosial di era modern ini sembari memberikan pesan kuat terkait efek samping dari poligami itu sendiri.
Pun kisah cinta Emir dan Anissa menjadi faktor lain yang membuat Saiyo Sakato tampil cukup segar dan mampu membuat pondasi tambahan untuk kelanjutan musim keduanya kelak.Â
Apalagi ditambah fakta bahwa di episode terakhir masih menyisakan kemungkinan adanya petualangan cinta lainnya dari Da Zul yang belum diketahui.
Penutup
Apalagi ada tangan dingin Salman Aristo dan Gina S.Noer, yang lantas membuat serial yang eksklusif ditayangkan di platform streaming GoPlay ini memiliki jaminan mutu. Setidaknya dari sisi cerita dan kedalaman karakter-karakternya.
Namun tentu saja sebagai penonton kita harus waspada. Bahwasanya setiap visualisasi masakan dalam serial ini berpotensi membuat kita meneteskan air liur tanpa disadari, perut keroncongan, yang lantas ditutup dengan melangkahnya kaki ini keluar, menuju tempat di mana Gulai Kepala Kakap berada, heuheuhe..
So, penulis merekomendasikan serial ini dengan memberikan skor 8/10.
Selamat menonton. Salam kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H