Segar dan menghibur mungkin menjadi dua kata yang paling pas untuk penulis sematkan pada miniseri Netflix ini. 7 episodenya sudah cukup untuk memberikan kita sajian hiburan yang solid, visual yang menarik, dan para aktor yang bermain peran dengan cukup apik.
Memiliki latar waktu era 40-an, Hollywood lantas memberikan kita gambaran mengenai awal kebangkitan industri film Amerika Serikat pasca berakhirnya perang dunia kedua. Di mana industri film menjadi semacam primadona baru yang menawarkan peluang untuk menghasilkan ladang uang baru khususnya bagi para veteran perang.
Cerita utamanya sejatinya begitu sederhana, yaitu mengenai sekelompok anak muda yang berusaha untuk menaklukkan Hollywood meskipun hal tersebut harus dilakukan dengan berbagai cara. Ya, di mana hal tersebut terkadang harus mereka lalui dengan cara merendahkan harga diri mereka sendiri.
Mereka adalah Jack Castello(David Corenswet), seorang veteran perang yang berambisi menjadi aktor. Raymond Ainsley(Darren Criss), seorang sutradara muda debutan yang memiliki impian untuk membuat film dengan pesan keberagaman. Camille Washington(Laura Harrier), seorang aktris kulit hitam yang selalu memerankan sosok pelayan dan bermimpi untuk menjadi seorang aktris utama. Serta Archie Coleman(Jeremy Pope), seorang gay dan berkulit hitam yang cukup berbakat dalam penulisan naskah.
Keempatnya lantas juga bertemu dengan aktor berbakat lainnya yang kelak akan berada di satu produksi film berjudul "Meg", adaptasi dari cerita nyata menyedihkan mengenai seorang aktris yang kecewa dan memilih bunuh diri di papan huruf "H" Hollywood yang terkenal itu. Mereka adalah Rock Hudson(Jake Picking), Claire Wood(Samara Weaving), dan Anna May Wong(Michelle Krusiec).
Mereka memiliki ambisi yang sama. Mereka juga memiliki problem yang sama dengan bagaimana Hollywood memandang ras minoritas pada tahun tersebut. Bagaimana American Pride begitu mempengaruhi pola pikir dan cara kerja para pelaku industri di belakang layar.
Namun mereka juga memiliki impian yang sama bagi Hollywood. Mereka harus bisa mengubah Hollywood di masa keemasannya dari yang begitu rasis dan terlalu kulit putih menjadi sebuah industri hiburan yang mampu merangkul semua kalangan.
Karakter yang Kuat dan Relevan
Kita diizinkan untuk melihat perkembangan, motivasi, dan ambisi para karakternya hingga mengeluarkan 'jati diri' mereka yang sebenarnya seiring dengan berkembangnya cerita di tiap episodenya.
Sehingga masing-masing karakter terasa sangat spesial dan relevan di satu sisi. Membuat kita percaya bahwa mereka tak hanya sekadar karakter dalam layar kaca, namun juga gambaran manusia sebenarnya dalam kehidupan nyata.
Mereka bisa begitu lucu dalam memainkan line dialognya, pun bisa membawa atmosfer sedih, marah, dan gembira di kesempatan lainnya. Menjadikan setiap scenenya begitu inamis dan atraktif tentu saja.
Dengan karakterisasi yang begitu kuat, maka latar industri Hollywood dan para pelaku di dalamnya pun bisa ditampilkan dengan detail yang mumpuni. Membuat kita mengetahui bagaimana intrik politik dan kejahatan terkadang diperlukan untuk memuluskan jalan sebuah produksi film beserta aktor/aktris yang sedang diorbitkan namanya.
Bisa dibilang Hollywood juga menjadi serial dengan ensemble cast yang mumpuni dan seimbang dalam memberikan porsi aktingnya baik untuk aktor muda maupun senior.
Mulai dari Samara Weaving yang hanya memiliki durasi kemunculan yang sebentar hingga aktris senior Patti LuPone yang menjadi sosok penting di sini, masing-masing memiliki penampilan yang memorable.
Visual dan Scoring yang Asyik Dinikmati
Kekuatan lain dari miniseri ini tentu saja ada pada sisi visual dan scoring yang apik menemani serial garapan Ryan Murphy, sutradara yang juga dikenal lewat serial Netflix lainnya berjudul The Politician.
Begitu juga dengan sinematografer Simon Dennis (Peaky Blinders, American Crime Story) yang mampu menangkap setiap detail era 40-an menjadi sebuah visual yang klasik namun juga stylish di satu sisi. Pun begitu dengan departemen musik yang dikoordinir oleh Julian Drucker (The Umbrella Academy, Isn't It Romantic), mampu menambah kesan elegan dan klasik melalui sentuhan musik jazz dan nuansa broadwaynya yang kental.
Namun yang pasti, mulai dari departemen kostum, make-up, departemen visual efek, departemen set dekorasi, hingga desain produksi, menjadi tim yang memang harus mendapatkan penghormatan lebih. Karena tanpa keseriusan mereka menggarap setiap detail yang nampak begitu akurat pada zamannya untuk ditampilkan pada serial ini, nampaknya Hollywood hanya akan menjadi miniseri bernuansa klasik yang biasa saja dan tak meninggalkan kesan apapun.
Historical Fiction yang Menarik
Hollywood pun berjalan demikian. Menggunakan beberapa karakter yang ada di kehidupan nyata untuk kemudian menggabungkannya dengan beberapa elemen fiksi pendukung lainnya. Sehingga bisa dibilang ceritanya menjadi versi alternatif atas sejarah yang terjadi karena memiliki elemen "what-if" tersebut.
Itulah sebabnya beberapa dari kita mungkin tak lagi asing ketika nama-nama seperti Rock Hudson, Vivian Leigh yang terkenal lewat Gone With The Wind, Hattie McDaniel, Henry Wilson, serta George Cukor muncul bergantian. Mereka menjadi contoh karakter nyata yang dihadirkan sebagai pilar untuk penulisan ulang sejarah di miniseri Hollywood.
Tujuannya sederhana, yaitu bagaimana jika Hollywood membuat keputusan-keputusan seperti yang dihadirkan pada miniseri ini puluhan tahun yang lalu. Selain juga menunjukkan cerita nyata yang menampilkan sisi lain Hollywood yang kelam dan kejam yang beberapa dari kita mungkin belum mengetahuinya.
Karena sang agen Henry Wilson menutupi identitas seksualnya ini dengan selalu memberikan citra laki-laki straight di depan publik, lengkap dengan wanita pendampingnya. Maklum saja, pada tahun tersebut publik masih memandang tabu perihal homoseksual dan juga kulit hitam.
Juga sosok pemilik pom bensin Golden Tip Gas, Ernie West(Dylan McDermott), yang juga merupakan tokoh fiksi. Namun cerita pom bensin penyedia layanan prostitusi pria atau biasa disebut gigolo tersebut memang diambil dari kisah nyata yang ditulis berdasarkan memoar milik Scotty Bowers tahun 2012. Scotty adalah seorang mantan marinir yang pada akhirnya membuka usaha pom bensin 'plus-plus' di jalanan Hollywood pada golden era Hollywood.
Hattie tak hanya menjadi aktris kulit hitam pertama yang memenangi Oscar, namun juga menjadi saksi bagaimana rasisnya ajang Oscar di masa itu yang tega memisahkan tempat duduk Hattie dengan nominator lainnya. Hattie pun mempertahankan prestasinya tersebut sampai dengan tahun 1964, di mana kemudian Sydney Poitier mencatat sejarah baru sebagai aktot kulit hitam pertama yang menerima kategori Best Actor lewat perannya dalam Lilies of the Field.
Tentu saja masih banyak lagi fakta menarik dan easter egg dalam serial ini. Apalagi jika kita rutin mengikuti perkembangan industri Hollywood dan mengetahui tentang bagaimana kondisi era keemasan Hollywood tahun 40-an. Menjadikan serial ini semacam surat cinta untuk Hollywood dan para pelaku di dalamnya dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Usaha Merevisi Masa Lalu dan Impian akan Masa Depan
Sekiranya ada 3 hal utama yang diangkat dalam serial ini yang memang relevan yaitu soal kesetaraan gender, woman empowerement, dan anti rasisme. Di samping juga memiliki beberapa tambahan isu yang diangkat untuk melengkapi cerita semisal bisnis prostitusi ilegal, pelecehan seksual di tempat kerja, dan politik kotor dalam praktik industri.
Sehingga Hollywood menjadi semacam usaha untuk merevisi masa lalu dan bagaimana dampaknya terhadap masa kini. Pertanyaan-pertanyaan semisal bagaimana jika sedari dulu Hollywood bahkan dunia sudah menerima keberagaman yang terjadi, atau bagaimana jika wanita sudah diberikan kesempatan memimpin industri sejak dulu, menjadi beberapa contoh pertanyaan yang kelak akan kita dapatkan jawabannya di serial ini walaupun beberapa di antaranya disampaikan secara subtil.
Hollywood seakan menjadi impian dari para pelaku industri, penggemar, dan semua orang yang jatuh cinta pada industri film untuk mewujudkan sebuah industri yang tak hanya sehat namun juga menjanjikan cerita manis layaknya rasa dari sepotong gulali di taman bermain. Meskipun mungkin, hal tersebut rasanya sulit untuk diwujudkan hingga saat ini. Karena pencitraan untuk publik jauh lebih penting  dari perubahan yang sebenarnya harus dilakukan.
Penutup
Miniseri 7 episode ini tentu saja ditujukan untuk para penonton dewasa. Karena tak hanya ceritanya yang memang tidak sesuai untuk anak-anak, namun juga bagaimana serial ini begitu vulgarnya menunjukkan adegan percintaan yang panas, entah itu antara pria dan wanita ataupun percintaan sesama jenis.
Namun lebih dari itu, serial ini menjadi semacam surat cinta bagi para pelaku di industri film dan kita semua yang mencintai sinema apa adanya. Hollywood tidak memiliki twist layaknya Once Upon a Time in Hollywood nya Quentin Tarantino memang, namun cerita ringan ditambah dengan cottoncandy endingnya membuat Hollywood menjadi serial yang menarik, manis, dan mengizinkan kita untuk berimajinasi dengan bagaimana jika cerita industri Hollywood benar-benar bisa diubah sedari awal.
Entah apakah akan dilanjutkan ke musim keduanya atau tidak, namun yang pasti akhir cerita di musim pertamanya sudah sangat baik. Namun memang masih meninggalkan beberapa poin yang sejatinya bisa digali untuk dilanjutkan ke musim berikutnya.
Penulis memberikan nilai 8,5/10 untuk miniseri ini. Karena cukup segar, unik, dan lucu. Sehingga membuat kita tak sabar untuk terus binge watching menyelesaikan episode demi episodenya.
Selamat menonton teman-teman. Selamat Idul Fitri juga bagi yang merayakan. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H