Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"The Aeronauts", Cerita Lepas Landas Balon Gas Menuju Angkasa Luas

19 April 2020   18:11 Diperbarui: 20 April 2020   14:23 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Aeronauts. Sumber: amazon.com

Pada masa dimana terbang menuju cakrawala masih menjadi sebuah hal yang begitu mewah, manusia masih memandang langit sebagai sesuatu yang sakral dan sulit untuk dilampaui. 

Layaknya samudera luas yang menyimpan banyak misteri terkait kedalamannya, laut pun demikian dengan ketinggiannya yang tak terukur kala itu.

Seperti halnya laut, keterbatasan informasi pada langit juga menjadi sumber inspirasi untuk cerita-cerita klasik yang cukup mistik, yang kerap menggambarkan langit sebagai tempat bagi makhluk raksasa yang bisa membawa manusia terbang dan menghilang untuk selamanya. 

Pun langit juga dipercaya sebagai tempat dimana uap penyakit dari bumi berkumpul di titik tertingginya sehingga manusia bisa mati jika kesana.

Penerbangan balon gas pertama oleh Montgolfier bersaudara asal Prancis pada tahun 1783, lantas menjadi pembuka bagi umat manusia dalam mempelajari langit. Namun tinggi langit yang baru bisa dicapai sejauh 3.000 kaki, tentu masih menyisakan banyak pertanyaan terkait rahasia langit.

Lukisan perjalanan Glaisher & Coxwell. Sumber: bbc.com
Lukisan perjalanan Glaisher & Coxwell. Sumber: bbc.com
Setelahnya, penerbangan menggunakan balon untuk observasi memang banyak dilakukan. Namun salah satu sejarah yang paling diingat terkait penerbangan ini tentu saja penerbangan dari London Vauxhall Garden yang dilakukan oleh ilmuwan James Glaisher dan penerbang balon profesional Henry Coxwell di tahun 1862 menggunakan balon raksasa yang dijulukinya Mammoth.

Pasalnya, penerbangan merekalah yang kelak membuka pandangan baru terkait ilmu pengetahuan yang telah lama diperdebatkan semisal bagaimana komposisi kimia pada atmosfer.

Pandangan peneliti pada meteor, apa yang menyebabkan terjadinya petir dan hubungan antara ketinggian dan temperatur yang lantas berdampak signifikan pada kondisi tubuh manusia.

Aeronauts. Sumber: bbc.co.uk
Aeronauts. Sumber: bbc.co.uk
Penerbangan bersejarah itulah yang lantas diadaptasi ke dalam film berjudul The Aeronuts garapan sutradara Tom Harper(Peaky Binders, The Woman in Black 2) dan penulis skenario Jack Thorne(Wonder, His Dark Materials). Pun kisah dalam film ini juga berdasarkan cerita pada novel karya Richard Holmes tahun 2013 silam berjudul Falling Upwards: How We Took To The Air.

Meskipun berdasarkan kisah nyata, namun film ini nyatanya tidak begitu akurat secara sejarah karena mengganti sosok Henry Coxwell dengan karakter rekaan yang merupakan seorang wanita bernama Amelia Wren. 

Meskipun karakter Amelia memang terinspirasi dari Henry Coxwell, namun sangat disayangkan ketika sosok Henry Coxwell sendiri justru dihilangkan hanya demi isu women empowerement yang nampak diusung film ini.

Namun diluar gender swap tersebut, film ini nyatanya masih memberikan banyak faktor menarik yang lantas menjadikan film ini layak untuk dimasukkan ke dalam watchlist para penikmat film.

The Aeronauts. Sumber: thetimes.co.uk
The Aeronauts. Sumber: thetimes.co.uk
Film ini juga kembali mempertemukan pasangan yang sebelumnya bermain apik dalam film biopik Stephen Hawking berjudul Theory Of Everything, yaitu Eddie Radmayne dan Felicity Jones. Keduanya masing-masing berperan sebagai tokoh utama yaitu James Glaisher dan Amelia Wren.

Namun jangan harap bahwa mereka akan berperan sebagai sepasang kekasih yang jatuh cinta layaknya film mereka sebelumnya. Di sini mereka berperan sebagai dynamic duo yang karena keadaan pada akhirnya saling melengkapi dalam perjalanan bersejarah tersebut.

James Glaisher yang membutuhkan perjalanan balon tersebut untuk membuktikan teorinya kepada para peneliti lain yang meragukannya, sementara Amelia Wren mengiyakan tugasnya sebagai pilot karena faktor finansial dan upayanya "menebus dosa" atas kematian suaminya pada perjalanan balon sebelumnya.

The Aeronauts. Sumber: time.com
The Aeronauts. Sumber: time.com
Dua tujuan berbeda yang melatarbelakangi perjalanan mereka ke angkasa itulah yang kelak akan menjadi konflik selama mereka di udara. 

Konflik yang kelak akan mengajarkan mereka banyak hal terkait ego, ambisi, usaha berdamai dengan masa lalu, dan tentu saja rahasia alam semesta yang pada akhirnya sedikit demi sedikit mulai terkuak.

Perjalanan udara selama satu jam yang tercatat oleh James Glaisher setinggi 29 ribu kaki sebelum ia pingsan karena tipisnya oksigen (atau yang dipercaya para peneliti modern bisa mencapai 37 ribu kaki), lantas dikemas ke dalam sajian drama petualangan menarik selama 2 jam oleh Tom Harper.

The Aeronauts. Sumber: movieinsider.com
The Aeronauts. Sumber: movieinsider.com
Tom dengan piawai menggabungkan cerita perjalanan tersebut dengan adegan flashback yang menjelaskan backstory masing-masing karakter tanpa terasa mengganggu atau duration wasted. Semuanya masih dalam porsi yang cukup.

Pada adegan flashback kita diizinkan melihat konflik internal dari masing-masing tokoh utama sebelum mengiyakan tawaran terbang untuk melakukan observasi. 

Sementara pada timeline utama, menceritakan konflik yang terjadi selama penerbangan yang dibangun apik oleh Eddie Radmayne dan Felicity Jones.

The Aeronauts. Sumber: usatoday.com
The Aeronauts. Sumber: usatoday.com
Emosi penonton pun bisa dipermainkan dengan sukses oleh keduanya karena mereka berhasil memerankan karakter yang sama mengesalkannya terkait ego dan tujuan pribadi yang mereka bawa. 

Pun mereka bisa menjadi sepasang Aeronauts yang loveable kala berhasil saling bahu membahu mengatasi berbagai permasalahan pelik di udara semisal serangan petir, katup udara yang tidak terbuka, bahkan ketika James Glaisher kehilangan kesadarannya pada ketinggian diatas 30 ribu kaki.

Namun jika peran Eddie Radmayne jauh lebih bersinar pada Theory Of Everything, di sini justru akting Felicity Jones lah yang mencuri perhatian. 

Perannya sebagai wanita pemberani yang juga trauma dengan masa lalunya, mampu ditampilkannya dengan sangat baik dan berpadu apik dengan sisi ambisius James Glaisher yang diperankan Radmayne.

The Aeronauts memang tidak begitu spesial dalam menawarkan sajian CGI-nya. Namun usahanya dalam menampilkan suasana langit di atas kota London era Victoria sejatinya perlu diapresiasi. Cukup apik, megah, dan penuh warna, apalagi pada saat mereka dikelilingi gumpalan awan yang indah.

The Aeronauts. Sumber: slashfilm.com
The Aeronauts. Sumber: slashfilm.com
Tak hanya sajian seru petualangan di atas awan yang diusung oleh The Aeronauts, namun juga sejatinya film ini membawa pesan tentang pantang menyerah dan bahwasanya manusia mampu menembus batasan yang ada jika mau berusaha dan tetap percaya dengan kemampuannya.

Seperti kala mereka mulai menjauh dari daratan dansadar betapa mengerikannya kondisi mereka berdua di atas awan kala terombang-ambing di dalam awan cumulonimbus tanpa adanya bantuan sedikitpun. 

Dengan usaha Amelia Wren untuk membuka katup udara menggunakan giginya, kala tangannya sudah menghitam karena hiportemia, menjadi contoh bagaimana usaha mereka menembus batasan yang menghadang kadangkala sangat tipis jaraknya antara kematian dan keberuntungan.

Semua pesan kehidupan dalam balutan cerita petualangan yang inspiratif tersebut semakin lengkap kala sosok Amelia Wren menjadi representasi akan sosok wanita kuat yang terus memiliki ambisi dan tujuan hidup yang jelas.

Serta tak mau menyerah dengan stereotip janda yang diembannya. Tentu ini menjadi faktor plus bagi anda penikmat film yang suka dengan tema feminisme yang cukup kental.

Penutup

The Aeronauts. Sumber: amazon.com
The Aeronauts. Sumber: amazon.com
Di tengah pandemi covid-19 yang belum mereda dan paceklik film baru dikarenakan kondisi tersebut, The Aeronauts yang ditayangkan secara eksklusif di platform streaming Amazon Prime Video lantas bisa menjadi pilihan tontonan selama berada di rumah.

Formula film petualangan yang dipadukan dengan drama persahabatan bernafaskan feminisme dan biopik yang inspiratif memang bukan menjadi sesuatu yang segar saat ini. 

Namun usaha Tom Harper dan Jack Thorne meramu sebuah film petualangan dengan latar klasik yang mengasyikkan untuk diikuti dan visualisasi indah yang memanjakan mata memang sejatinya patut diapresiasi.

Namun selayaknya mencicipi segelas kopi hitam yang dipadukan sedikit gula hingga membuat rasa asli kopi sedikit berbeda, demikian juga dengan film ini. Gender swap menjadi keputusan yang tidak begitu baik dan memberikan rasa yang berbeda pada film ini. Tentu saja.

Embel-embel based on true story pun jadi terasa tidak relevan dan pada akhirnya meninggalkan after taste yang tidak begitu lama kala kita selesai mencicipinya. Tentunya film ini cukup tidak ramah bagi anda yang menyukai keakuratan sejarah pada sebuah film biopik.

Skor: 7,5/10
Tetap sehat, tetap nulis dari rumah, dan salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun