"Somewhere over the rainbow skies are blue
And the dreams that you dare to dream really do come true"
Nampaknya tak sulit untuk mengenali potongan lirik dari lagu yang melegenda tersebut. Apalagi lagu tersebut juga menjadi bagian dari sebuah film klasik bergenre fantasi yang tak kalah melegenda yaitu Wizard of Oz.
Tentu juga tak sulit menebak nama penyanyi yang membawakan lagu tersebut. Ya, dia adalah Judy Garland, seorang artis serba bisa yang menjalankan karirnya dalam gemerlap lampu sorot panggung pada era keemasan Hollywood.
Mulai dikenal sejak penampilannya pada film Wizard Of Oz di usianya yang masih belia, Judy Garland kemudian menjelma menjadi performer bertalenta luar biasa yang kemunculannya selalu dinanti. Tak salah jika kemudian dirinya menjadi salah satu legenda di dunia hiburan dan namanya terus dikenang hingga saat ini.
Judy yang akan dibahas pada tulisan kali ini, lantas dimaksudkan sebagai film biopik seorang Judy Garland, dengan penceritaan konflik pribadi yang mungkin belum kita ketahui sebelumnya.
Namun alih-alih menyajikan formula biopik pada umumnya yang menceritakan dengan detail timeline kehidupan sang tokoh utama, Judy justru mengambil timeline masa tua Judy Garland di mana juga menjadi masa-masa akhir karir serta kehidupannya. Dengan selipan cerita Judy di masa remaja menjadi sebab atas akibat yang dialaminya di masa dewasa.
Jadi, ini bukanlah cerita romantisasi keberhasilannya memerankan Dorothy dalam Wizard Of Oz(1939), keberhasilannya dalam live recording di Carnegie Hall, ataupun peran legendarisnya sebagai Esther Blodgett dalam A Star Is Born(1954).
Memulainya dengan cerita penawaran kontrak kerja dari MGM untuk Judy Garland muda(Darcy Shaw) agar bisa bermain film The Wizard Of Oz, film ini sejatinya terasa cukup lambat dalam membangun mood konfliknya di awal. Lompatan timeline dari versi Garland muda ke Garland yang lebih dewasa pun seolah belum menggambarkan jelas arah tujuan film ini ke depannya.
Namun seiring berkembangnya cerita, barulah kita memahami bahwa film ini mengambil timeline jelang akhir masa hidup Judy Garland(Renee Zellweger). Masa dimana Judy Garland sedang menghadapi titik terendah kehidupannya seperti rumah tangga yang hancur berantakan bersama Sid(Rufus Sewell), bangkrut, hingga masalah kesehatan mental yang terakumulasi dari kejadian pahit sejak masa kecilnya.
Ya, Judy Garland muda memang terpaksa mengkonsumsi obat-obatan demi bisa memenuhi tuntutan karir profesional di usianya yang masih belia. Kesuksesan yang diraihnya pada akhirnya memang tak sebanding dengan masalah kesehatan mental yang terus dideritanya hingga akhir masa hidupnya. Ketergantungan kepada obat menjadi hal lain yang tercipta, buah dari apa yang industri tanamkan secara paksa kepadanya.
Hanya saja, pemilihan garis waktu penceritaan yang pendek membuat kita sebagai penonton memang lebih fokus kepada sosok Judy Garland itu sendiri. Bukan sekadar fokus kepada event/kejadian tertentu yang muncul pada kehidupan Judy. Hal itulah yang kemudian membuat Judy menjadi menarik.
Bahkan kesempatan untuk comeback ke dunia hiburan dan mendapatkan uang untuk bisa kembali kepada anak-anaknya "hanya" datang dari tawaran Sir Bernard Delfont(Michael Gambon) untuk konser selama lima minggu berturut-turut di klub malam miliknya di kota London. Namun kelak, momen konser di kota London inilah yang akan terus dikenang oleh para fansnya di seluruh dunia.
Di London kita kemudian diperlihatkan sosok Judy Garland yang nampak nervous melihat banyaknya penonton yang memenuhi ruang konser. Di mana tiketnya sendiri sudah sold out sejak nama Judy Garland pertama kali diumumkan di tempat tersebut. Ya, Judy nampak depresi dan tak sehat secara mental.
Ini memang filmnya Renee Zellweger dan melalui film ini Renee membuktikan bahwa dirinya memang pantas mendapatkan piala pada kategori Best Performances by Actress in a Leading Role di gelaran Oscar 2020 lalu.
Persis seperti yang dilakukan Rami Malek kala menjadi Freddie Mercury, Taron Egerton sebagai Elton John, atau Joaquin Phoenix sebagai Johnny Cash.
"I can live without money, but I cannot live without love"- Judy Garland
Judy memang menjadi salah satu film produksi Hollywood di tahun 2019 yang sekaligus menjadi kampanye kesehatan mental. Meskipun tak se-viral Joker, namun pesan yang disampaikan nyatanya tetap kuat dan on point.
Judy secara garis besar bercerita tentang tragedi yang timbul akibat ketenaran, oleh mesin bernama dunia hiburan yang memaksa seseorang untuk terus tampil sempurna dan tidak menjadi dirinya sendiri. Di mana pilihan pribadi yang tak kalah buruk juga kemudian menjadi pelecut atas berbagai masalah dalam hidup dan kesehatan mental yang muncul kemudian.
Seperti yang sudah penulis tuliskan sebelumnya, adanya sosok LGBTQ dalam wujud fans Judy Garland di film ini juga tentu saja menjadi pesan yang kuat mengenai kesetaraan gender. Di mana sindiran untuk masyarakat yang masih phobia terhadap segala bentuk perbedaan kemudian muncul melalui salah satu potongan dialog yang penulis tuliskan di atas.
"Oh! I love you all. You won’t forget me, will you? Promise you won’t."- Judy Garland
Namun yang pasti, di antara berbagai pesan kehidupan yang disampaikan secara subtil, film ini tentu saja menyajikan fokus penceritaan seorang Judy Garland yang pantang menyerah di tengah kondisi kehidupannya yang tidak ideal. Judy, meskipun di beberapa kesempatan konsernya tampil destruktif dan tidak kolaboratif hingga membuat fansnya kecewa, nyatanya masih menyisakan hati seorang pejuang yang tak mau kalah dengan keadaan.
Hingga lagu Somewhere Over The Rainbow dinyanyikan dan membuatnya tak kuasa untuk melanjutkan liriknya. Lirik yang pada akhirnya dilanjutkan oleh para fansnya hingga diakhiri dengan standing ovation yang dahsyat.
Sebuah momen yang tentu saja sangat sempurna untuk diingat dan dikenang dari seorang Judy Garland yang hidupnya berakhir tanpa diduga 6 bulan setelah penampilan terakhirnya di konser London tersebut.
Seolah menjadi secercah pelangi yang mewarnai akhir kehidupannya yang sebelumnya sangat amat kelam.
Judy pada akhirnya memang bukanlah film yang meninggalkan after taste yang panjang dan lama untuk dinikmati. Namun poin-poin penting tentang kehidupan, isu kesehatan mental, dan gambaran kelam dunia hiburan yang disampaikan secara gamblang dan apa adanya, tentu menjadi poin-poin positif yang membuat film ini layak dimasukkan ke dalam watchlist teman-teman kompasianer, khususnya yang menggemari film biopik.
Skor: 7,5/10
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H