Penceritaan pada Ashfall lantas semakin menarik kala dilengkapi dengan balutan CGI dan special effect yang cukup memuaskan. Tampilannya bahkan tak kalah dengan disaster movie asal Hollywood seperti San Andreas, Geostorm, atau 2012 misalnya. Cukup halus dan realistis.
Bahkan menurut penulis pribadi, CGI dalam film ini menjadi lompatan yang cukup besar sejak Korsel membuat film bencana alam pertama mereka, Haeundae. Menjadi penanda bahwa Korsel sudah siap bersaing dengan Hollywood dalam urusan efek visual di tahun-tahun mendatang.
Ya, mirip dengan film sci-fi asal Tiongkok, The Wandering Earth (ulasannya baca di sini), yang di beberapa part terkesan kasar visualnya namun masih sangat layak untuk dipuji secara keseluruhan.
Faktor keberuntungan yang melingkupi tokoh utamanya pun masih tetap ada. Namun tak seperti disaster movie lain khususnya 2012 yang faktor keberuntungannya terasa berlebihan bahkan tidak masuk akal.
Ashfall masih berada dalam tahapan yang masih bisa dimaafkan oleh kita sebagai penonton. Karena luck factor memang nyatanya dibutuhkan dalam tiap penceritaan disaster movie, asal dalam penyampaiannya tidak terlalu berlebihan.
Gempuran efek letusan gunung Baekdu yang digas pada menit-menit awal film juga kemudian diturunkan tensinya di pertengahan demi memberikan porsi drama tersebut. Namun untungnya tensi adegannya dinaikkan kembali di third act-nya untuk memberikan konklusi yang apik, patriotik, sekaligus mengusung tema 'mission impossible'.
Ya, layaknya film bencana lainnya, Ashfall nyatanya juga masih mempertahankan unsur pengorbanan dan misi 'perdamaian' terhadap alam yang marah. Seperti mengebor meteor dalam Armageddon, membuat bahtera Nuh dalam 2012, atau membuat bumi berputar kembali dalam The Wandering Earth.
Ashfall juga memiliki misi luar biasa yang pada akhirnya memaksa manusia untuk melawan kemustahilan sekaligus memberikan statement secara tersirat dan cukup klise bahwa manusia harus menguasai alam.