Tentu kita sepakat bahwa selama 1 dekade terakhir, Frozen menjelma menjadi cerita Disney Princess yang begitu dicintai dan diminati oleh banyak anak-anak.Â
Bahkan Frozen yang dirilis di tahun 2013 silam, sukses membuat para orangtua was-was karena merchandise bertema Frozen dalam bentuk apapun selalu diminati oleh anak-anak dan harganya sendiri terkadang tidak ramah untuk kantong.
Setidaknya ada 4 faktor utama yang penulis tangkap terkait mengapa Frozen bisa menjadi film animasi yang begitu diminati oleh anak-anak. Kualitas animasi yang luar biasa, cerita Princess yang berbeda, lagu yang catchy dan menyenangkan serta karakter Elsa dan Anna yang begitu khas dan mudah diingat oleh anak-anak.
Keempat hal itulah yang membuat Frozen lantas begitu fenomenal, yang mungkin saja tidak pernah disadari sebelumnya oleh Chris Buck dan Jennifer Lee sebagai 2 nakhoda di belakang layarnya.Â
Fairytale yang terinspirasi dari Snow Queen-nya Hans Christian Andersen tersebut lantas menjadi tontonan wajib bagi anak-anak dan Let it Go sebagai original song-nya berperan layaknya lagu kebangsaan anak-anak di seluruh dunia.
![Fortune.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/11/26/images-2019-11-26t185111-357-5ddd11fcd541df205b683a12.jpeg?t=o&v=770)
Tentu rasanya tidak perlu membuat sinopsis untuk tulisan kali ini. Namun tentunya, penulis akan mencoba membahas film ini dari sisi lain yang kemudian akan terbagi ke dalam beberapa sub bahasan. Dan tulisan ini tentunya akan mengandung banyak spoiler.
Disney dengan Detailnya yang Semakin Menawan
Kualitas animasi luar biasa yang dihasilkan Disney jelas terlihat melalui tiga detail menawan yang ditampilkan pada Frozen 2.
Yang pertama melalui landscape Arendelle yang memukau di mana atmosfer desa benar-benar tergambar hidup melalui efek air, angin dan sinar matahari yang realistis. Tampilan latar surealis 'the unknown' pun juga cukup mencuri perhatian karena begitu magis dan mistis di satu sisi.
![cnbcc.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/11/26/images-2019-11-26t185346-686-5ddd1286d541df48322b2712.jpeg?t=o&v=770)
Tentunya hal ini menjadi lompatan teknologi yang luar biasa setelah Moana pertama kali memukau penonton dengan hal tersebut sebelum kemudian Toy Story 4Â melampauinya dan Frozen IIÂ pun kemudian menyempurnakannya.
Tak hanya itu, detail karakter juga menjadi hal yang paling menarik perhatian penulis. Bagaimana latar waktu Frozen II yang memang beberapa tahun setelah film pertamanya, mampu ditranslasikan dalam bentuk wajah Anna dan Elsa yang semakin dewasa.Â
Bahkan detail pada wajah masing-masing berhasil membuat kita paham bahwa wajah Elsa yang flawless jelas berbeda dengan Anna yang cenderung tidak terlalu mulus.
Pun begitu dengan detail pada setiap helai rambut sang Princess yang begitu memukau. Apalagi ditambah dengan detail kain pada pakaian yang mereka kenakan, jelas menjadi kombinasi luar biasa yang membuatnya nampak realistis.
Dengan poin-poin di atas, sudah jelaslah mengapa kemudian Frozen IIÂ penulis sebut semakin menawan dalam hal detail animasinya.
Disney Princess Tak Harus Memiliki Super Villain
![Screencrush.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/11/26/images-2019-11-26t185438-785-5ddd13f4097f3635f34e2dc2.jpeg?t=o&v=770)
Namun perkembangan zaman yang lebih modern juga menuntut adanya konflik yang lebih relevan dan tak hanya sekadar jagoan lawan penjahat, agar kelak pesan-pesan di dalamnya dapat tersampaikan dengan maksimal.
Pada film sebelumnya, Elsa dan Anna memang memiliki sosok villain bernama Hans. Namun ia bukan menjadi inti konfliknya, melainkan sosok penjahat yang berperan mengeluarkan potensi terbaik dari konflik utamanya.
Konflik utamanya sendiri kala itu adalah tema ketakutan melawan cinta yang lantas tergambar melalui cinta yang mampu mengubah Elsa dari sosok 'the cursed princess' menjadi sosok 'lovable princess'. Pengendalian diri dan rela berkorban kemudian juga menjadi tambahan pesan yang berhasil disampaikan secara subtil ataupun secara terang-terangan.
Di installment keduanya ini, konflik tematik lantas masih tetap dipertahankan. Yaitu dengan usaha mengungkap kebenaran masa lalu menjadi poin utama penceritaannya yang lagi-lagi tanpa menyertakan sosok super villain.
Lantas, apakah Frozen II menjadi hambar tanpa adanya super villain? Bagi beberapa orang dan pecinta disney princess garis keras mungkin saja iya. Namun beberapa lainnya termasuk penulis merasa hal tersebut tidak terlalu berpengaruh.
Karena tim penyusun cerita dan skenarionya sendiri memang cukup mampu membangun dinamika konflik dalam step-step yang jelas dan terus naik hingga mencapai klimaksnya. Konflik emosional yang lebih dikedepankan bahkan membuat kita ikut larut dalam 1 jam 43 menit penceritaannya hingga tak menyadari bahwa film ini berjalan tanpa sosok villain.
Paket Lengkap 'Cinematic Experience'
Dengan konflik cerita dan kualitas animasi yang semakin berkelas, Disney lantas melengkapi pengalaman sinematis bagi penggemarnya dengan deretan lagu yang lagi-lagi menjadi salah satu primadona dalam film ini.
Into The Unknown yang menggantikan Let it Go sebagai main theme film ini, jelas menjadi bukti bahwa kepiawaian Disney dalam menghasilkan lagu hits yang catchy dan memorable nampak belum akan habis.Â
Pun dengan deretan lagu-lagu lain di film ini yang tak kalah bagus, membuat Frozen IIÂ sukses menyajikan cinematic experience yang membuat setiap penontonnya ikut menikmati kombinasi visual dan lagu layaknya menyaksikan pertunjukkan musikal di panggung teater.
Bahkan menariknya lagu-lagu di film ini juga seakan menjadi jaminan kesuksesan penjualan album soundtracknya kelak. Maka tak hanya cinematic experience, business experience pun semakin terbuka lebar berkat peluang pendapatan baru dari lagu-lagu tersebut.
Menurut penulis, Frozen IIÂ semakin membuat Disney belum terkalahkan untuk urusan kombinasi film+lagu. Sepakat?
Karakter Baru, Ladang Uang Baru
Star Wars yang juga diakuisisi Disney sebelumnya sudah merasakan efek komersialisasi ini lewat kemunculan BB-8 di Episode VII, makhluk bernama Porgs di episode VIII dan yang terbaru baby Yoda di serial The Mandalorian. Semua makhluk lucu dan menggemaskan tersebut tentu saja dihadirkan untuk mendongkrak penjualan merchandisenya dalam bentuk apapun.
Frozen II pun demikian. Tercatat ada 4 karakter/makhluk baru yang bisa menjadi sumber inspirasi merchandisenya kelak. Yaitu The Earth Giants, Bruni si salamander api, Gale si angin lucu dan The Nokk si kuda air yang gagah.
![Contoh merchandise Bruni (ebay.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/11/26/s-l300-5ddd14df097f3644ac35b344.jpg?t=o&v=770)
Sementara The Gale bisa menjadi karakter potensial bagi Disney kala dibutuhkan sebagai tokoh utama dalam ragam film pendek yang bisa digunakan untuk bertarung di ajang festival film ataupun sebagai special content pada versi rilisan blu-ray misalnya.
Jadi, luar biasa bukan strategi Disney untuk mempertahankan franchisenya? Ya, cukup dengan menambah sedikit karakter baru, ladang uang baru pun terbuka lebar.
Frozen II yang Menjadi Pondasi Sekaligus Sarana 'Cek Ombak'
Tentu sudah banyak yang tahu bahwa Frozen II memiliki kontroversi terkait isu LGBT yang dibawanya. Penulis mungkin akan menceritakan garis besarnya, sedangkan pembahasan lengkapnya bisa diakses melalui tautan website luar negeri disini.
Meskipun tak pernah secara explicit menunjukkan tema LGBT pada waralaba Frozen, namun banyak yang meyakini bahwa Elsa adalah seorang Queer Princess yang berarti juga seorang lesbian secara ketertarikan seksualnya.Â
Tak adanya sosok pangeran sebagai love interest serta konflik emosional Elsa dalam film pertama yang diyakini banyak orang sebagai konflik penerimaan dirinya sebagai LGBT yang kemudian disamarkan, menjadi dua hal utama mengapa teori konspirasi ini terus berkembang.
Bahkan tagar #giveelsagirlfriend terus menggema di media sosial, di mana sebagian besar menuntut Disney untuk segera menjadikan Elsa sosok princess lesbian pertama dalam semesta fairy talenya.
![Collider.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/11/26/images-2019-11-26t185122-499-5ddd1523097f364c1d2c0302.jpeg?t=o&v=770)
Karena sejak live action Beauty and The Beast berhasil mengangkat isu LGBT pada sepersekian detik adegan penutupnya dan secara terang-terangan ditunjukkan melalui karakter yang diperankan Joe Russo pada adegan sharing community di Avengers: Endgame, Disney nampaknya memang ingin mengangkat isu kesetaraan gender ke level selanjutnya.
Hanya saja, isu LGBT ini memang masih cukup sensitif di wilayah Asia. Apalagi jika menyangkut konten anak-anak. Sementara di sisi lain Asia mulai menjadi ladang pendapatan yang besar bagi Disney yang apabila Disney tidak berhati-hati, bisa jadi justru akan membawa kerugian besar bagi bisnisnya di masa mendatang.Â
Maka cek ombak ini jelas diperlukan untuk melihat seberapa besar urgensinya memasukkan isu tersebut ke dalam filmnya dan seberapa besar pengaruh isu tersebut terhadap kontinuitas bisnisnya di seluruh dunia, bukan hanya di Amerika dan Eropa saja.
![Hitc.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/11/26/images-2019-11-26t190228-595-5ddd15bc097f36323c304762.jpeg?t=o&v=770)
Bisa jadi cerita klasik tentang pangeran dan putri akan tetap bertahan. Namun tak tertutup kemungkinan juga jika nantinya akan ada cerita tentang cinta pada pandangan pertama antara putri dengan putri atau pangeran dengan pangeran bila potensi bisnis mengarah ke hal tersebut terkait hasil 'cek ombak' sebelumnya.
Dan jika kemungkinan terakhir itu benar-benar terjadi, bisa dipastikan semua studio animasi akan mengikuti jejaknya. Karena dimana ada potensi bisnis baru, disitulah industri akan bergerak. Dan Disney, tentu berperan sebagai penggeraknya.
Penutup
Dengan berbagai poin pembahasan di atas, sudah jelas bahwa Frozen IIÂ menjadi bukti nyata terkait superioritas Disney di ranah film anak.Â
Bukan hanya karena kualitas visual dan teknologi yang nampak belum tertandingi, namun juga karena kepiawaian mereka mengolah berbagai karakter dan kontroversi menjadi peluang bisnis baru, tanpa meninggalkan pesan-pesan positif terkait kehidupan tentunya, yang tentu saja kemudian semakin mengokohkan mereka di puncak bisnis hiburan dunia.
Memang, dari segi penceritaan Disney sudah mulai bisa dilawan oleh para pesaing. Namun Frozen II masih membuktikan bahwa sebuah sekuel yang terdapat label Disney, meskipun tak selalu bisa melampaui kualitas film pertamanya, tetap bisa menjadi hiburan baru yang menarik minat.
Ya, meskipun hanya manambahkan sedikit modifikasi di beberapa bagian penceritaan, yang formulanya sendiri sejatinya adalah pengulangan dari yang sudah ada.
Melalui Frozen II, Disney menunjukkan superioritas yang begitu kokoh, hingga tetap menjadikannya pilihan utama dalam dunia hiburan anak.
Meskipun mungkin jika hal-hal kontroversial yang kerap ditentang dalam adat ketimuran tetap dimunculkan oleh Disney di masa depan, akan sedikit membawa riak dalam perkembangan bisnisnya di Asia khususnya Indonesia terkait statusnya sebagai 'pilihan utama' konten hiburan anak.
Salam Kompasiana.
I hope this article will give you a new perspective. Because it's fun, fresh and..
![20191122-153219-0000-5ddd152ad541df1398736bb3.png](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/11/26/20191122-153219-0000-5ddd152ad541df1398736bb3.png?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI