Mengawali minggu baru di hari Senin seperti ini memang paling asyik membahas tentang cinta. Cinta yang selalu punya cerita dan tak ada habisnya untuk terus dinikmati.
Cinta itu bisa dibilang sebuah perasaan misterius yang muncul dari dimensi antah berantah, namun seketika juga mampu mengubah realita seseorang yang dikunjunginya. Kadang berakhir bahagia, namun tak sedikit juga yang berakhir menyakitkan.
Adalah Modern Love, sebuah serial 8 episode yang ditayangkan secara eksklusif di platform streaming Prime Video, yang kemudian mencoba menunjukkan magisnya cinta dalam potret kisah percintaan di era modern ini. Pertemuan dan perpisahan yang mengiringi kedatangannya, kemudian menjadi pondasi utama dalam setiap episodenya.
Di mana 4 tahun yang lalu, kolom ini kemudian berekspansi dalam bentuk podcast, hasil kerjasamanya dengan stasiun radio Boston, WBUR, untuk lebih memanjakan penggemarnya. Dan di tahun ini kemudian ditambahkan lagi medium ceritanya dalam bentuk serial televisi.
Jika anda familiar dengan film-film drama romantis karya sutradara John Carney(Begin Again, Sing Street, Once) yang ringan, hangat, namun selalu memberikan after taste yang tahan lama, serial ini pun demikian.
Wajar saja, karena dirinya turut menjadi salah satu produser dan penulis skrip film ini. Dan tentu saja ikut menyutradarai 4 dari 8 episode yang ada bersama 3 sutradara lain yaitu Tom Hall, Sharon Horgan dan Emmy Rosum.
Modern Love sendiri merupakan serial berkonsep antologi. Di mana setiap episodenya menawarkan cerita berbeda, namun berada pada satu universe yang sejatinya masih saling terkait. Dan tentu saja masih berada pada satu benang merah yaitu kisah cinta di era modern.
Dibintangi oleh aktor dan aktris kelas A semisal Anne Hathaway, Tina Fey, Andy Garcia, Dev Patel, John Slattery dan Sofia Boutella, Modern Love lantas menyajikan sebuah pengalaman menikmati cerita yang luar biasa dalam durasi 30 menit per episodenya. Singkat, padat, beragam, namun tetap fun untuk dinikmati.
Namun tentu saja bukan ayah dan anak asli, karena sosok ayah sekaligus sahabat itu justru datang dari seorang penjaga pintu paruh baya di sebuah apartemen kota New York.
Bagaimana sosok Guzmin si penjaga pintu(Laurentiu Possa), juga kerap 'menjaga' si wanita independen, Maggie(Cristin Milioti) dari kemungkinan terburuk sebuah hubungan yang ia jalin bersama pria-pria acak yang ditemuinya.
Hingga kemudian kemungkinan terburuk itu muncul dan membuat mental Maggie benar-benar jatuh, Guzmin lah yang kemudian tetap hadir menemani, menjaga dan melindungi Maggie hingga kelak ia menemukan lelaki impiannya di kemudian hari.
Bagaimana Joshua(Dev Patel) yang merupakan bos startup sebuah aplikasi kencan daring, justru memiliki masalah dengan kisah cintanya sendiri.
Pertemuannya dengan seorang jurnalis bernama Julie(Catherine Keener), lantas membuatnya berani membuka sebuah rahasia yang selama ini hanya dipendamnya sendiri.
Cerita cinta mereka berdua yang ternyata hampir sama, lantas menuntun Joshua pada sebuah kesimpulan baru yang mengubah cara pandangnya. Memberikannya pengertian baru tentang sebuah penantian, pengampunan dan penebusan akan 'dosa' masa lalu.
Memperbaiki dan menghangatkan kembali hubungan suami istri setelah puluhan tahun menikah seperti dalam episode Rallying to Keep the Game Alive (Tina Fey, John Slattery).
Musibah yang justru menjadi momen untuk mengenal pasangan lebih lagi seperti dalam episode At the Hospital, Interlude of Clarity(Sofia Boutella,John Gallagher Jr.). Adalah contoh bagaimana serial ini kerap menyajikan cerita-cerita seru yang membuat kita ikut tersenyum simpul.
Tema seorang remaja yang tertarik dengan pria yang memiliki figur ayahnya, lantas berakhir dengan kesimpulan yang cukup datar bahkan membingungkan.
Dan untuk menjawab tren sosial yang dicintai para SJW -heuheu-, serial ini pun kemudian melengkapinya dengan tema LGBT lewat episode Hers Was a World of One(Olivia Cooke, Andrew Scott).
Episode ini sejatinya cukup oke dalam memberikan gambaran yang relevan terkait kisah cinta pasangan sejenis, namun sayangnya episode ini tak begitu memberikan after taste yang maksimal layaknya episode-episode lainnya selain kemunculan Ed Sheeran yang mengejutkan, heuheu.
Bahkan pada episode ini Anna Hathaway ikut menyumbangkan suaranya pada sebuah lagu yang menjadi musik pengiring salah satu adegan tarian flash mob yang seru.
Berjudul The Race Grows Sweeter Near It's Final Lap (Jane Alexander, James Saito), episode ini lantas menceritakan bagaimana event olahraga lari mempertemukan dua sejoli di usia yang tak lagi muda. Sangat hangat, namun juga lucu dan efektif mendatangkan tangis haru.
Seakan menjadi bukti nyata bahwa datangnya cinta tak kenal batasan usia bahkan perbedaan ras sekalipun. Pertemuan Margot dan Kenji seakan menjadi kontradiksi atas kisah cinta 'unyu-unyu' yang kerap diidentikkan dengan pasangan remaja. Hei, pasangan kakek-nenek ini juga tak kalah 'unyu' loh kisah cintanya.
Sedikit spoiler, episode ini memang sad ending dikarenakan Margot yang harus rela ditinggal selamanya oleh Kenji. Namun kemudian menjadi happy ending kala Margot akhirnya bisa merasakan bagaimana kemurnian cinta itu ada walaupun hadir sesaat dan 'life must go on' apapun yang terjadi.Â
Namun layaknya sebuah ajang lari, pada momen putaran akhir jugalah kelak kita akan menyadari siapa yang selama ini setia menjadi partner perjalanan kita, yang selalu menyemangati dan menemani apapun kondisi kita.Â
Sehingga pada saatnya harus selesai segala perlombaan hidup kita di dunia, kita sudah berada di sisi orang yang tepat, yang bisa mengantarkan kita melewati garis finish dengan cinta yang menjadi kalung medalinya.
Sisi teknis Modern Love yang digarap dengan cukup serius ini sejatinya juga menjadi faktor pendukung yang membuat serial ini makin mantap untuk disaksikan.
Mulai dari sederhananya sinematografi Yaron Orbach yang mampu menyajikan visualisasi efektif dalam menyampaikan pesan cinta lewat detail-detail kecil yang lantas membuat perasaan deg-degan, senang dan sedih bercampur jadi satu. Kemudian dikombinasikan dengan music score garapan Gary Clark yang hangat dan menyentuh serta soundtrack yang tentunya membuat eargasm.
Sematan pujian pun kemudian ditujukan pada tim editing serial ini, yang berhasil mengemas baik tiap episodenya meskipun hanya berdurasi singkat. Pun pada adegan penutup musimnya yang menjadi catatan manis, karena mampu menyambungkan tiap adegan tambahan di tiap-tiap episode, yang lantas menyadarkan kita bahwa kisah mereka sejatinya berada pada satu lingkungan sosial yang saling berkaitan.
Faktor penceritaan dan sisi teknis yang digarap cukup hangat itulah yang membuat kita sebagai penonton juga merasakan bahwa Modern Love ini bukanlah deretan kisah cinta dongeng yang sulit untuk digapai. Modern Love adalah kita dengan segala problematika cinta yang kita hadapi.
Modern Love membiarkan kita untuk ikut ambil bagian dalam ceritanya dan mempersilakan kita untuk merenungkan setiap problematika hidup yang dibawanya. Apakah kemudian bisa menjadi jawaban atas kegalauan kita terhadap satu problematika yang sama, tentu tergantung bagaimana masing-masing kita menyikapinya.
Memberikan kita keyakinan akan adanya kehangatan cinta, membuat kita percaya akan berharganya sebuah perjuangan cinta, dan menenangkan kita yang mungkin masih ada dalam fase 'pencarian cinta', bahwa sejatinya cinta pasti menemukan tempat bernaungnya.
Jadi, sudah siap untuk menyelam lebih jauh ke dalam cerita cinta yang manis dan menyenangkan ala Modern Love ini? Kalau penulis sih malah sudah tidak sabar menunggu musim keduanya, heuheu.
Skor: 8,5/10
Salam Kompasiana!
I hope this article will give you a new perspective. Because it's fun, fresh and..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H