Tentu kita sepakat bahwa dua film awal Terminator yaitu Terminator(1984) dan Terminator 2: Judgment Day(1991) adalah dua karya James Cameron(Titanic, Avatar) yang begitu klasik dan melegenda. Selain sajian aksi tensi tinggi ditambah unsur thriller ala cat and mouse yang menegangkan, dua film tersebut juga menjadi semacam showcase atas penggunaan teknologi paling unggul di zamannya.
Tentu tak mudah untuk melanjutkan kisah yang menjadi mahakarya James Cameron ini, di mana standar yang ditanam pada dua film awalnya sudah begitu tinggi. Itulah sebabnya 3 film Terminator selanjutnya yaitu Rise of The Machines, Salvation dan Genysis yang muncul tanpa 'restu' Cameron, kemudian berkembang dalam permainan timeline yang membingungkan dan tak pernah benar-benar memuaskan fans nya.
sekuel langsung dari Judgment Day sekaligus mengabaikan 3 film setelahnya, namun juga karena James Cameron ikut kembali ke dalam gerbong produksi film ini.
Dark Fate yang menjadi seri ke-6 film Terminator dan ke-7 jika menghitung serial televisinya, lantas muncul dengan maksud untuk membersihkan 'dosa' film-film sebelumnya. Bukan hanya karena film ini didaulat sebagaiTidak seperti Alita Battle Angel yang 'menjual' nama Cameron meskipun hanya sebatas produser, di film ini Cameron justru ikut terlibat dalam pembentukan cerita lanjutan dari Judgment Day. Dengan Tim Miller yang dikenal lewat film Deadpool, dipercaya untuk duduk di kursi sutradara.
James Cameron bersama 6 orang penulis naskah lainnya termasuk David S.Goyer(The Dark Knight Trilogy, Batman v Superman) dan Billy Ray(Hunger Games, Captain Phillips), lantas mencoba untuk membuat sekuel yang tak hanya berperan sebagai pelengkap, namun juga sebagai pondasi baru apabila franchise ini ke depannya akan diperpanjang.
Lantas, apakah masuknya Cameron serta merta membuat film ini menjadi semagis dua film originalnya? Jawabannya bisa iya ,bisa tidak.
Iya karena film ini kembali mampu mengembalikan 3 faktor kunci yang membuat franchise ini pertama kali dikenal dunia. Yaitu adegan aksi dengan tensi tinggi dan pace cepat, kembalinya aktor original lewat Arnold Schwarzenegger dan Linda Hamilton, serta tema perjalanan waktu yang cukup klasik.
Tidak karena film ini kerap menghilangkan atau memodifikasi beberapa faktor penting dari franchise Terminator secara tidak hormat. Entah lewat cara 'penghapusan' salah satu karakternya, quotes klasik yang dirubah, juga bagaimana film ini terlalu mengangkat isu sosial saat ini dan memaksakannya untuk bisa masuk ke dalam timelinenya.
***
"I'll be back!"-Sarah Connor(Linda Hamilton)
2 dekade berlalu setelah Sarah Connor(Linda Hamilton) berhasil menggagalkan terjadinya 'hari kiamat' yang akan memusnahkan umat manusia. Masa depan berganti, takdir manusia pun seakan ditulis ulang.
Kita pun diajak untuk berkenalan dengan Dani Ramos(Natalia Reyes), seorang perempuan yang hidup sederhana bersama kakak laki-laki dan ayahnya di Mexico City. Semuanya terasa normal sampai kemudian sebuah Terminator model Rev-9(Gabriel Luna) yang mirip dengan T-1000 namun lebih canggih, datang dari masa depan dan menjadikan Dani sebagai target buruannya.
Di tengah pengejaran terminator mematikan tersebut, Dani pun lantas mendapat pertolongan dari Grace(Mackenzie Davis), seorang tentara super yang juga dikirim dari masa depan untuk menyelamatkan Dani. Perlindungan terhadap Dani pun semakin solid setelah Sarah Connor muncul dan memutuskan untuk ikut menyelamatkan Dani.
Namun ketangguhan Rev-9 juga nyatanya semakin menyulitkan langkah mereka. Di mana pada akhirnya menuntun mereka untuk bertemu dengan Terminator model T-800(Arnold Schwarzenegger) yang menjadi satu-satunya harapan. Meskipun hal tersebut membuka kembali kenangan masa lalu yang menyakitkan bagi Sarah Connor.
***
'Wow' adalah kesan pertama yang terucap pasca menyaksikan film ini. Selama kurang lebih dua jam durasi film, kita seakan diajak untuk ikut berjibaku dalam perang melawan Terminator jahat dari masa depan. Adegan aksi tensi tinggi langsung di gas sejak awal film.
Memang sempat menurun tensinya di pertengahan. Tak lain untuk memberikan sedikit porsi drama dan beberapa penjelasan lain yang memang diperlukan untuk menjawab paruh pertama film. Namun eskalasi aksi yang kembali diperlihatkan di babak final, kembali membuat adrenalin kita membuncah sekaligus berdecak kagum atas kualitas yang ditunjukannya.
Tentu kita sepakat, James Cameron memang selalu memberikan lompatan teknologi yang luar biasa pada tiap filmnya. Setelah Alita: Battle Angel yang berhasil menjadi standar baru teknologi motion capture, maka Terminator:Dark Fate seakan menunjukkan standar baru dari sebuah sajian CGI yang begitu halus serta teknologi de-aging yang begitu memesona.
Ya teknologi de-aging nya begitu seamless, hingga tampilan Linda Hamilton dan Arnold muda di salah satu adegan nampak sangat halus dan tak terasa bahwa itu adalah permainan visual efek.
Tak hanya itu, film ini juga seakan menjadi homage atas apa yang pernah ditampilkan Cameron pada dua film sebelumnya. Sehingga hal tersebut juga berfungsi efektif sebagai sarana nostalgia bagi para fans Terminator.
Nuansa thriller yang dibangun dari adegan kejar-kejaran ala tikus dan kucing, cukup berhasil memberikan kita rasa yang sama layaknya kita menyaksikan dua film originalnya. Pun deretan aksi spektakuler dan bertensi tinggi juga membuatnya berhasil meneruskan tradisi aksi Terminator yang kita kenal. Sederhanya, Terminator: Dark Fate adalah sebuah fan service dengan paket lengkap yang memuaskan hasrat penonton film laga.
Sampai sini kita seakan diyakinkan bahwa ini adalah sekuel Terminator yang jauh lebih baik dari 3 seri sebelumnya. *Meskipun bagi saya pribadi, Salvation dengan Christian Bale nya berhasil menjadi Terminator paling beda sekaligus mampu menggambarkan sosok John Connor dewasa paling apik.
Tapi ya itu saja. Karena dari segi penceritaan, Terminator:Dark Fate nyaris tak memberikan kita sesuatu yang baru selain hanya mengulang formula yang sama layaknya film-film sebelumnya. Yaitu narasi distopia yang begitu kelam, di mana pada akhirnya harus ada perjalanan waktu yang dilakukan demi menyelamatkan dunia sekaligus menghancurkan mimpi buruk dari masa depan.
Bahkan jika dibandingkan dengan Terminator 2: Judgment Day, Dark Fate cenderung memiliki plot yang hampir mirip. Hanya saja jagoan utama dan target buruannya kali ini diubah menjadi wanita, tak lain demi terangkatnya topik woman empowerement yang saat ini masih jadi 'jualan' efektif para pembuat film Hollywood. Pun Skynet berganti Legion yang dari ambisi dan tujuannya sama, sehingga praktis hanya sekadar berganti nama.
Selain itu, kita juga tahu bahwa Terminator faktanya tak akan bisa lepas dari saga John & Sarah Connor. Namun di sini, peran John Connor nampak tak lagi diperlukan karena sang sutradara dan penulis -sesuai kesepakatan Cameron tentunya-Â memilih untuk mengakhiri peran karakter ini dengan cara yang cukup mengejutkan dan sedikit 'tidak hormat'.
Seolah-olah sosok John Connor memang tak lagi diperlukan karena ada sosok Dani Ramos sebagai gantinya. Yang meskipun perannya bakal begitu penting di sekuel Terminator lainnya -jika ada-, namun sosok Dani Ramos yang diperankan Natalie Reyes nyatanya belum mampu menunjukkan dirinya adalah sosok pengganti John Connor yang sepadan.
Malah Mackenzie Davis yang mencuri perhatian berkat perannya sebagai cyborg tangguh. Pun Linda Hamilton juga mampu mencuri perhatian berkat perannya sebagai Sara Connor versi tua yang tak kenal takut. Meskipun penampilannya disini tak semagis comeback Jamie Lee Curtis sebagai Laurie Strode di film Halloween(2018).
"I won't be back!" - T-800(Arnold Schwarzenegger)
Proses kreatif yang terasa kurang dan hanya sekadar mengambil formula lawas untuk kemudian disesuaikan dengan topik saat inilah yang menyebabkan seri Terminator kali ini terasa kurang spesial. Mirip dengan apa yang dilakukan Disney pada trilogi Star Wars baru yang dimulai sejak episode VII.
Bahkan beberapa quotes terkenal dari masa lalu seakan dipelesetkan demi menunjukkan bahwa ini adalah Terminator yang benar-benar baru karena tak lagi bergantung pada saga Connor bahkan wibawa seorang Schwarzenegger. Meskipun jujur, hal ini sedikit membuat dahi ini mengernyit.
Maka beruntung Terminator:Dark Fate masih terselamatkan oleh deretan aksi spektakuler nan menggelegar yang memanjakan mata. Terbantu juga dengan sinematografi Ken Seng yang mampu menangkap setiap momen close combat dahsyat dengan sangat baik dan scoring dari Junkie XL yang menggugah karena disertai juga dengan scoring original Terminator garapan Brad Fiedel yang legendaris itu.
Dark Fate jelas tak cukup hanya dengan menambahkan narasinya dengan berbagai isu sosial dan sentilan-sentilun yang jadi trending topic saat ini agar membuatnya nampak segar.
Karena seperti halnya Halloween yang membawa tradisi Laurie Strode vs Michael Myers, atau Star Wars yang membawa tradisi Skywalker vs Dark Side, Dark Fate pun seharusnya juga tetap membawa tradisi Connor vs Terminator -meskipun memang harus ada penyegaran konflik- bukan malah mengeluarkan lokomotifnya dari rel demi masuknya berbagai kampanye sosial yang ada.
Namun jika boleh jujur, apabila formula ceritanya tetap seperti ini ada baiknya franchise ini diistirahatkan bahkan bila perlu segera disudahi. Karena Dark Fate yang dimaksudkan sebagai penyelamat timeline membingungkan Terminator, nyatanya tak pernah benar-benar bisa menjadi penyelamat.
Jelas tak cukup hanya sekadar menghadirkan kembali Linda Hamilton dan Arnold Schwarzenegger, Terminator butuh sesuatu yang lebih revolusioner dari sisi narasi agar tidak membuatnya nampak basi.
Skor: 7,5/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H