Pujian patut diberikan kepada Ratna Riantiarno yang begitu luar biasa merepresentasikan sosok ibu 'impian' di dunia nyata. Dia baik, taat beribadah, bahkan mampu menjadi role model bagi anak-anaknya pasca ditinggal suaminya, meskipun tingginya ekspektasi kepada para menantunya selalu mengiringnya kepada kekecewaan dan cerewet tiada akhir.
Sementara Adipati Dolken, meskipun menampilkan performa yang tidak bisa dibilang mengecewakan, penampilannya disini tak begitu iconic layaknya apa yang ditampilkan Gading Marten sebelumnya. Sosoknya yang jauh 'lebih teratur' membuatnya tampak biasa, tak sesegar Gading dengan garukan di sekitar selangkangan yang menjadi cici khasnya.
Karena biar bagaimanapun saya tetap berada dalam posisi membela Arini meskipun tagar #AriniBaik vs #AriniBangsat menggema di jagat twitter. Arini yang kali ini dilengkapi dengan fam Chaniago, jelas punya itikad baik untuk membahagiakan orang-orang yang mempercayakan 'jasanya'. Arini, sangat profesional.
Maka film ini pun juga meninggalkan sebuah pesan yang begitu dalam terkait kebahagiaan, sudut pandang dan ekspektasi. Karena nyatanya kebahagiaan hanya bisa didapat jika kita memiliki sudut pandang yang baik dan mampu menangkap segala hal yang terjadi di sekitar kita dalam lingkup yang lebih luas.
Ya, sama seperti konsep Arini. Karena bagi saya sejatinya Arini itu baik dengan segala niatnya memberikan kebahagiaan pada semua orang. Justru ekspektasi kitalah yang kemudian membuatnya nampak menjadi jahat.
Skor: 8/10
*Jangan lewatkan mid credit scene film ini. Dan bagi yang belum menyaksikan film pertamanya, Love for Sale sudah bisa di streaming di platform Netflix.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H