Tepat 2 bulan lagi kita akan merayakan 13 tahun rilisnya Children of Men. Salah satu film terbaik garapan sutradara Alfonso Cuaron yang flop secara pendapatan, namun mendapat respon positif dari para kritikus. Praktis, film ini cenderung terlupakan karena tidak sukses secara komersil.
Tiga belas tahun yang lalu pun kala saya menyaksikan film ini pertama kali via dvd bajakan nyatanya memang tidak saya sukai pada masa itu. Ya, terkait selera remaja yang kala itu nampaknya tidak cocok dengan narasi yang dibawa oleh film ini.
Namun film yang baru muncul di Netflix Indonesia dan masuk ke dalam kolom sugesti terkait kesukaan saya menyaksikan film bertema serupa, lantas membuat saya kembali untuk menyaksikan film ini dan mencoba mendalami narasi yang disampaikannya.Â
Karena tentu cara pandang saya terhadap sebuah film pada saat ini dan 13 tahun lalu bisa berbeda.
Wajar jika kemudian film ini memperoleh rating 92% certified fresh di Rotten Tomatoes, meskipun pendapatan film ini hanya sekitar 69 Juta USD untuk penayangan secara global dari budget sebesar 76 Juta USD.Â
Tentu ini juga menjadi film yang merugikan bagi Universal selaku distributornya meskipun berjaya di berbagai festival film semisal Venice & Vancouver Film Festival serta mendapatkan 3 nominasi Oscar.
Namun tentu tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa rasanya sangat sulit untuk menemukan kembali sebuah karya layaknya yang dilakukan Alfonso Cuaron 13 tahun lalu.Â
Bukan hanya dari sisi teknis yang nampak tak ada cela, melainkan juga kisah distopia yang pada saat itu nampak mengada-ada bagi sebagian kalangan namun justru relevan dengan kondisi dunia saat ini.
Children of Men justru berada pada dunia kita saat ini, pada masa depan yang nampak tak terlalu jauh untuk kita raih.
Mobil terbang jelas tidak ada. Pun pasukan robot atau komunikasi via hologram juga tidak ada. Namun kondisi sosial politik yang ada dalam latar kota London tahun 2027 lah yang justru nampak familiar dengan apa yang sudah terjadi saat ini.
Adalah cerita karya novelis science fiction ternama, P.D. James berjudul sama yang kemudian menjadi premis utama film ini.Â
Meskipun kemudian Alfonso Cuaron merubah 90% jalan ceritanya yang membuatnya berbeda dengan novelnya -seperti dilansir dari laman sbs.com.au- , namun latar distopia London, nama karakter, dan konflik utama tetap dipertahankan.
Pada Children of Men, London tahun 2027 bukan hanya berperan sebagai kota modern. Namun juga memiliki peran sebagai pusat dari peradaban dan tanah impian bagi banyak orang.Â
Karena di tengah kehancuran kota lain akibat perang, London lah yang masih tetap berdiri tegak tanpa ada gangguan apapun.
London pun menjadi semacam tempat tujuan bagi banyak pengungsi yang kemudian disebut sebagai "fugee" pada film ini, kependekan dari kata "refugee".Â
Namun banyaknya pengungsi menyebabkan London memagari dirinya dan menyaring para pengungsi yang masuk layaknya hewan yang ada di kandang.Â
Pada gambaran sebuah dunia di mana kehamilan berhenti, masyarakat lantas mulai kehilangan harapannya pasca kematian seorang remaja 18 tahun bernama Diego atau dikenal sebagai Baby Diego, satu-satunya bayi yang berhasil lahir, hidup dan tumbuh selama 18 tahun terakhir.Â
Dunia lantas meratapi kesedihannya dan beberapa orang meyakini bahwa bencana kemandulan ini adalah hukuman Tuhan atas keserakahan manusia. Tuhan mengambil sesuatu yang paling berharga dari manusia yaitu kehidupan dan harapan.
Di sisi lain kita diajak mengenal Theo Faron(Clive Owen) yang pertemuannya dengan mantan istrinya, Julian(Julianne Moore), membawanya kepada misi penyelamatan seorang perempuan bernama Kee ke sebuah daerah yang dianggap aman.Â
Kee (Clare-Hope Ashitey) pada akhirnya diketahui sedang hamil.Â
Kehamilan yang lantas tak hanya menjadi harapan baru bagi kemanusiaan, namun juga diperebutkan berbagai kalangan untuk segala kepentingan berbau politik.
Poor fugees. After escaping the worst atrocities and making it to England, our government hunts them down like cockroaches-Jasper(Michael Caine)
Pujian tentu saja disematkan pada sang visioner Alfonso Cuaron, yang memang memiliki detil khas pada penggambaran situasi konflik melalui camera movement yang apik.Â
Emmanuel Lubezki yang berperan sebagai sinematografernya, di mana juga berperan pada film Cuaron lainnya Gravity, nampak tahu betul keinginan Cuaron untuk menciptakan kondisi sosial yang tak hanya gelap namun juga membuat kita sebagai penonton tidak merasa nyaman.
Adegan one shoot di sebuah jalanan pinggir kota misalnya, mampu menjadi adegan yang luar biasa menyeramkan dan menegangkan.Â
Kita diajak untuk melihat karakter Theo dan Julian flirting satu sama lain di mobil sembari kamera berputar memperlihatkan kondisi jalanan dan karakter lain di dalam mobil secara bergantian.Â
Tentunya masih banyak adegan one shoot lain yang memang diciptakan Cuaron di film ini untuk memaksimalkan unsur ketegangan dan kengerian atas kondisi distopia dunia. Inilah yang membuat film ini mampu bekerja sebagai thriller kejam.
Karena alih-alih menghadirkan kekacauan dan kengerian dunia lewat ledakan & peperangan, Cuaron justru menghadirkan kekacauan dunia lewat rengekan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem yang diciptakan penguasa.Â
Usaha untuk menghindar dari kepunahan pasca tak adanya kehamilan, membuat setiap kelompok memiliki sistemnya tersendiri yang seringnya berujung pada aksi vandalisme.
Percayalah, tak ada yang lebih menyeramkan dari sekumpulan masyarakat pemberontak yang lantas menciptakan sistemnya sendiri untuk melanjutkan kehidupan mereka.
Sedangkan sebagai sebuah melodrama yang kelam dan menyentuh, Cuaron memainkannya lewat 3 konflik besar yang disematkannya pada film ini. Di mana benang merahnya terajut lewat karakter Theo.
Yang kedua lewat hubungan Theo dan Jasper(Michael Caine) yang menggambarkan arti persahabatan di tengah kacaunya dunia.
Layaknya peran Alfred pada Batman Begins yang dimainkannya setahun sebelum rilis film ini, Michael Caine yang di film ini berperan sebagai orang tua pecandu ganja juga menjadi sosok penenang sekaligus penolong bagi Theo.Â
Sosoknya bukan hanya menjadi semacam simbol terkait masih adanya persahabatan di tengah kacaunya dunia, namun juga menjadi semacam harapan yang memberikan Theo alasan untuk tetap hidup.
Maka ketika karakter ini harus dimatikan di tangan Luke (Chiwetel Ejiofor) dan Patric (Charlie Hunnam), bisa dipastikan bagaimana hal ini begitu memengaruhi mental Theo begitu dalam.Â
Meskipun masih ada secercah harapan lain dalam perut Kee, namun harapan yang selama ini mengiringnya hidup telah tiada. Hilang ditelan kesunyian hutan, tempat kesukaan Jasper menghisap daun kebahagiaanya.
Theo menunjukkan empati yang begitu murni pada dunia di mana empati terhadap sesama hampir tak lagi ada.
Your baby is the miracle the whole world has been waiting for.-Jasper(Michael Caine)
Dirilis tepat di tanggal 25 Desember 2006, film ini juga bisa dimaksudkan sebagai metafora kelahiran Mesias atau sang Juruselamat di tengah-tengah kekacauan dunia.Â
Perjalanan Theo dan Kee mencari tempat terbaik untuk kelahiran sang buah hati sama sulitnya layaknya Yusuf dan Maria mencari penginapan di Bethlehem.
Kelahiran anak tersebut lantas disembunyikan terlebih dahulu, untuk menghalau dari niat orang-orang jahat yang ingin memanfaatkan anak tersebut.Â
Hingga kemudian takdir tak bisa lagi menutupi kehadirannya, maka seketika itu juga banyak orang yang justru menghormati si bayi mungil tak berdosa itu dan melihatnya sebagai sebuah harapan yang seakan telah sirna selama 18 tahun terakhir itu.
Harapan yang mampu menyatukan segala perbedaan dan konflik kepentingan, hingga menghentikan sesaat segala perang yang berkecamuk.Â
Harapan itu begitu dijaga hingga tak ada yang boleh membiarkannya lenyap bahkan padam. Dan hal tersebut nyatanya digambarkan secara harfiah, lewat adegan emosional kala anak tersebut diberikan jalan di tengah medan peperangan.
Benar bahwa "kekuasaan" robot dan A.I bagi kehidupan manusia adalah teror yang paling menakutkan yang mungkin terjadi di masa depan.Â
Benar juga bahwa bisnis penjualan data di masa depan menjadi fakta menyeramkan untuk kita terima. Pun berbagai percobaan genetik juga menjadi ancaman yang tak boleh dibiarkan begitu saja.
Namun yang lebih menyeramkan tentu saja ketika harapan yang menjadi pondasi manusia untuk terus hidup dan mencapai tujuannya, hilang dari muka bumi. Karena hilangnya harapan berarti juga kehilangan sisi kemanusiaan.
I can't really remember when I last had any hope, and I certainly can't remember when anyone else did either. Because really, since women stopped being able to have babies, what's left to hope for?-Â Theodore Faron(Clive Owen)
Sementara kita di dunia nyata, tentu lebih banyak lagi alasan yang menjadi sumber hilangnya harapan tersebut.
Memang, kita masih sangat jauh dari narasi kemandulan global berujung kepunahan yang dibawa film ini.Â
Namun kondisi sosial yang mengiringi narasi tersebut semisal perang memperebutkan sumber daya alam, teror bom, munculnya pemimpin dunia yang otoriter nan fasis, pengungsi yang diperlakukan tidak layak, hingga gerakan pemberontakan rakyat berujung aksi vandalisme, menjadi gambaran yang seakan terwujud nyata di 13 tahun setelah rilisnya film ini.
Tentu saat ini kita sudah terbiasa akan berita teror bom di Eropa, sekelompok gerakan radikalis mengatasnamakan agama, pengungsi Suriah yang mendapat perlakuan tak layak dari negara tetangga, hingga kebijakan Trump yang nampak seperti xenophobia.
Namun 13 tahun lalu, berita-berita tersebut yang nyatanya sudah digambarkan lebih dulu pada Children of Men tentu kita anggap sebagai adegan fantasi yang kalaupun terjadi pasti masih jauh sekali.
Benar bahwa kehancuran dunia bisa datang dari perang dunia ke-3 lengkap dengan pembantaian massal nya, hantaman meteor, atau bencana alam super dahsyat lainnya.
Namun sejatinya kehancuran terjadi cukup melalui perubahan lingkungan sosial yang diciptakan manusia sendiri.Â
Ketika hal tersebut berujung pada ketidakstabilan kehidupan, dimana dunia pun hancur secara perlahan dengan sendirinya, maka disitulah kita baru menyadari peran penting sebuah harapan.Â
Harapan yang menjadi secercah sinar yang mampu menembus kegelapan dunia yang begitu pekat, agar kita tetap bisa hidup.
Skor: 9,5/10
*Tulisan ini dimaksudkan sebagai pembuka atas pembahasan mendalam film-film klasik lain ke depannya. Salam Kompasiana!