Apa sih yang sebenarnya kita harapkan dari sebuah film horor? Jalan cerita, atmosfer yang disajikan, atau deretan teror tanpa henti yang membuat jantung berpacu tak menentu?.
Jika 3 hal tersebut yang kita cari, maka Perempuan Tanah Jahanam berhasil menjawab ketiganya, tanpa mencederai salah satunya.
Pada dasarnya Perempuan Tanah Jahanam bukanlah sebuah horor yang rumit. Ia sederhana. Pun menyenangkan di satu sisi hingga kita selalu penasaran untuk terus ikut menikmati kisah perjalanan 2 tokoh protagonisnya.
Adalah Maya (Tara Basro) yang kemudian memiliki ide untuk kembali ke desanya, Harjosari, demi mencari tahu warisan apa yang sebenarnya ditinggalkan kepadanya. Karena konon, keluarganya di desa adalah keluarga yang kaya dan cukup dipandang.
Ditemani Dini (Marissa Anita) yang menjadi sahabatnya sekaligus rekan bisnisnya saat ini, mereka pun akhirnya mendatangi desa terpencil tersebut tanpa mengetahui bahaya apa yang sejatinya sedang mengintai mereka. Keanehan demi keanehan yang terjadi lantas semakin meyakinkan mereka bahwa ada yang tak beres di desa tersebut.
Desa itu seakan menunggu kedatangan Maya. Menunggu kedatangan seseorang yang konon mampu memutus rantai kutuk dan mengembalikan desa itu dari yang sebelumnya desa yang penuh ratap tangis menjadi desa yang penuh kebahagiaan.
Membuka filmnya dengan dialog natural antara Tara Basro dan Marissa Anita di pos gerbang tol yang merupakan tempat kerja mereka, tentu menjadi opening sequence yang sangat menarik dan menggelitik. Dengan dialog padat dan nakal, kita mungkin tak akan menyangka bahwa teror yang akan terjadi di sepanjang film dimulai dari sini.
Dengan adanya perubahan atmosfer dari obrolan ceria ke situasi penuh teror, Perempuan Tanah Jahanam lantas berhasil menghadirkan salah satu opening sequence terbaik untuk film Indonesia. Di mana hal tersebut juga langsung menunjukkan kelasnya di ranah horor nasional.
Perempuan Tanah Jahanam tidak terburu-buru dalam menyampaikan maksud dan tujuannya. Meskipun teror sudah menghentak di awal, setelahnya kita justru diberikan semacam bonding time untuk kita bisa mengenali masing-masing karakter utamanya dengan baik.
Hingga kemudian dua protagonis kita pergi ke desa untuk investigasi, kita pun sudah diberikan bekal yang cukup terkait alasan dan latar belakang mereka pergi kesana.
Ada kontak batin antara Maya dan desanya. Bahkan ada faktor yang lebih emosional dan personal, alih-alih pergi untuk sekadar memenuhi rasa penasaran.
Setiap shoot nya sangat detail pun cukup efektif dalam menghadirkan rentetan kengerian dan perasaan tidak nyaman tanpa harus bergantung kepada jumpscare.
Apalagi kemudian tiap shoot nya berpadu apik dengan scoring garapan Aghi Narottama dan Bembi Gusti. Seakan semakin menghidupkan rentetan teror dengan dinamika yang mengasyikkan. Entah berapa kali saya menurunkan posisi saya di kursi penonton, berkat suasana tidak nyaman tersebut.
Membawa semangat horor klasik, pemilihan judul Perempuan Tanah Jahanam juga semakin meyakinkan bahwa ini adalah sebuah penghormatan yang ditujukan bagi penggunan judul khas film cult horor Indonesia yang kerap muncul di era 70 hinggar 80-an semisal Dikejar Dosa dan Lukisan yang Berdarah.
Pun unsur ultra violence, usaha pemerkosaan dan tumbal yang dibawa di film ini juga seakan mengingatkan kita akan unsur yang sama yang kita kenal lewat film-film klasik tersebut.Â
Bahkan kita pun sejatinya sudah sering diberikan tontonan seputar desa terpencil nan berbahaya semisal dalam film The Village, Apostle, bahkan yang terbaru adalah Midsommar yang banyak dibicarakan para penikmat film. Lantas, apa yang membedakan Perempuan Tanah Jahanam ini?.
Detail dan eksplorasi budaya lokal jelas menjadi jawabannya. Entah dalam penampilan unsur kebudayaan, cara pengambilan gambar, tokoh-tokoh pendukung atau ragam clue yang tersebar hingga menjadi satu jawaban yang utuh, menjadi sebab mengapa waktu 10 tahun untuk menggarap film ini nampak masuk akal.Â
Perempuan Tanah Jahanam berhasil menyentuh milestone baru dalam ranah horor nasional terkait ragam detail yang dibawanya tersebut. Jelas, tak mudah membuat film sesolid ini.
Jika Pengabdi Setan memunculkan tren baru di ranah supernatural horor terkait penggunaan tema vintage baik pada latar tempat, musik maupun plot, maka Perempuan Tanah Jahanam niscaya akan membawa tren baru di ranah psychological horror di masa depan. Tinggal kita lihat saja beberapa tahun ke depan, referensi apa dari Tanah Jahanam yang akan dibawa oleh film horor lokal lainnya.
Ada masa lalu kelam yang disimpannya hingga ia berubah menjadi dirinya saat ini dan menjadi semacam alasan logis dan relevan dengan keadaan dunia saat ini.
Dengan tokoh lain yang dimainkan Ario Bayu dan Asmara Abigail juga berhasil menunjukkan kelasnya dalam tiap porsi yang dipercayakan pada mereka.
Jika Ario Bayu begitu meyakinkan dalam memerankan sesosok dalang yang karismatik sekaligus mistik, maka Asmara Abigail menghadirkan kejutan lain di film ini.
Aktingnya begitu total hingga membuat tiap scene yang menghadirkan Asmara di dalamnya begitu worth untuk disaksikan. Dan satu hal, apa yang awalnya mungkin kita kira soal gambaran karakternya di trailer nyatanya berbanding terbalik dengan apa yang dihadirkan karakter ini di sepanjang film.Â
"Kerasa nggak?"
Seperti kita tahu, Joko Anwar memang kerap sengaja memasukkan berbagai adegan yang mengambil referensi dari berbagai film garapannya.
Hingga kemudian sebutan Joko Anwar Cinematic Universe muncul, mengacu pada film-filmnya yang memang nampak saling berhubungan.
Alih-alih fokus pada penampakan, Perempuan Tanah Jahanam nyatanya memang lebih menghadirkan kengerian dari para penduduk desa itu sendiri.Â
Penduduk yang menjalani kehidupan biasa, namun terpaksa harus melakukan tindakan jahat yang dibenarkan akibat terlalu 'menuruti' keinginan yang salah dari seseorang yang mereka hormati.
Para penduduk tidak berlaku aneh layaknya apa yang ditampilkan pada Midsommar atau The Village. Mereka normal. Hanya saja terpaksa 'jahat' karena tekanan dari si penguasa tanah penuh kutukan tersebut.
Tak hanya itu, Perempuan Tanah Jahanam juga menjadi sebuah film horor dengan subliminal message seputar purpose atau tujuan seseorang kala terlahir di dunia. Entah diinginkan atau tidak, kelahiran seseorang bisa menjadi semacam berkat, harapan bahkan kutukan.Â
Dan semua hal tersebut bermuara dari sosok orang tua yang kelak menjadi penentu akan status yang disematkan kepada garis keturunannya kelak.
Itulah sebabnya penulis sampaikan di awal bahwa film ini adalah milestone baru bagi perkembangan film horor nasional ke depannya. Apalagi jika kemudian film ini mencapai angka penonton yang besar. Maka bukan tidak mungkin banyak rumah produksi yang akan mencoba mengadopsi tema yang sama.
Bahkan solidnya berbagai aspek dalam film ini seakan membuat kita ingin mengadopsi salah satu dialog Christine Hakim, untuk kemudian kita sampaikan ke deretan film horor lokal yang kerap digarap oleh sineas secara asal-asalan;
"Kalian adalah kesalahan besar yang harus aku hapus."
Skor 9/10
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H