Jika berbicara tentang film baru apa yang layak disaksikan minggu ini, tentu The Peanut Butter Falcon menjadi jawabannya. Film indie peraih Audience Award di gelaran SXSW Film Festival dan Deauville Film Festival ini tentu saja menghadirkan kisah yang inspiratif dimana juga aman untuk disaksikan bersama dengan keluarga.
The Peanut Butter Falcon sejatinya mengangkat kisah seorang lelaki penderita down syndrome sebagai tema utamanya. Dimana tema semacam ini sebelumnya juga pernah muncul pada film lainnya semisal Where Hope Grows, Yellow dan Detective Downs.
Dan untuk film populer dengan tema sejenis atau katakanlah hampir mirip, tentu kita ingat film Forrest Gump dan Please Stand By, yang masing-masing dibintangi oleh Tom Hanks dan Dakota Fanning.
Meskipun dua film tersebut lebih fokus pada sosok penderita intelectual dissability dan autis, namun energi positif dan nilai-nilai kehidupan didalamnya sama-sama menjadi pondasi utama penceritaan layaknya The Peanut Butter Falcon ini.
Zak yang hidup bersama dengan para orang tua, memiliki impian untuk menjadi pegulat hebat seperti Salt Water Redneck(Thomas Haden Church) dan pergi ke sekolah gulat seperti yang kerap disaksikannya pada rekaman kaset VHS gulat favoritnya.
Pelariannya yang dibantu oleh seorang pasien melalui celah di jendelanya, menyebabkannya harus melarikan diri dengan hanya menggunakan celana dalam saja. Sang perawat, Eleanor(Dakota Johnson), yang paham kemana satu-satunya tujuan pelarian Zak pasca menyaksikan kaset VHS-nya, lantas mengejarnya.
Di perjalanan itulah pada akhirnya Tyler bertemu Zak, yang kemudian mencoba untuk menyesuaikan diri satu sama lain. Dan bersama-sama menggapai mimpi dan belajar tentang arti hidup dibalik segala tragedi yang terjadi.
Namun apa yang membuatnya kemudian nampak spesial adalah bagaimana dengan piawainya sang sutradara sekaligus penulis debutan untuk feature film mereka, Tyler Nilson dan Michael Schwartz, meracik berbagai unsur pendukung semisal action, drama dan komedi menjadi kombinasi yang ideal, tanpa ada salah satu yang memiliki warna lebih dominan.
Sehingga praktis, hal tersebut membuat film ini tampil dengan warnanya sendiri meskipun menggunakan tema yang juga pernah muncul pada film-film lainnya.
Hampir tidak ditemukan plotting adegan yang kurang ideal pada film ini. Baik tiap adegan yang bertujuan menyampaikan pesan kehidupan, adegan yang memunculkan momen haru ataupun seru, hingga adegan dengan punchline komedi yang mampu mengocok perut, semuanya mampu ditampilkan dalam posisi dan porsi yang pas. Sehingga atmosfer yang muncul kala menikmati film ini adalah atmosfer yang sama layaknya kita membaca novel petualangan dan perjalanan khas Mark Twain.
Kolaborasi keempatnya menghasilkan nuansa folk yang kental dengan sisipan sound modern yang memanjakan telinga. Menjadikan tiap musik latar yang ditampilkan begitu mengena dan menyatu sempurna pada tiap adegannya.
Apalagi kemudian ditambahkan dengan soundtrack menawan dari grup gospel RnB 70-an The Staple Singers, musisi folk legendaris Ola Belle Read hingga musisi folk modern Chance McCoy dan Parker Ainsworth. Tentunya deretan musik tersebut semakin memantapkan suasana buddy road movies yang menggugah di film ini.
Tak hanya dengan Zack, bersama dengan Dakota Johnson pun Shia LaBeouf mampu menampilkan chemistry yang cukup apik. Membuat kita percaya bahwa dua insan ini memang betul-betul kasmaran meskipun masih saling menyembunyikan pada awalnya.
Pun Zack Gottsagen yang di dunia nyata memang seorang down syndrome, nyatanya mampu membuktikan bahwa keterbatasan tubuhnya bukanlah halangan untuk menggapai mimpi. Zack membuktikan bahwa nilai kehidupan yang dibawanya ke dalam film, adalah sebenar-benarnya dirinya di dunia nyata.
“People think that someone with Down can’t do things,” Zack says. “I want to prove them wrong. If they watch me in a movie, maybe they’ll think that they can do anything too. Maybe someone else with a disability will follow their dreams because of me." - People.com
Kekurangan film ini sendiri sejatinya hanya ada pada beberapa konflik yang nampak kurang greget penyelesaiannya termasuk beberapa konflik yang tampak tiba-tiba timbul kemudian tenggelam tanpa dijelaskan lebih lanjut. Tapi toh itu adalah minor flaws yang tidak memengaruhi jalan cerita. Karena fokus utamanya memang ke duet Zack dan Shia.
Setiap orang jelas layak untuk mengejar mimpinya. Setiap orang juga layak untuk menemukan kebahagiaannya. Bahkan setiap orang layak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya. Meskipun kemudian harus melalui berbagai rintangan, terlebih melawan keterbatasan tubuhnya.
Bahkan setiap orang layak mendapatkan seorang teman layaknya sebuah keluarga yang solid, yang saling support satu sama lain. Karena seperti yang Zak katakan di atas perahu layarnya bersama Tyler, bahwa seorang teman pun bisa menjadi keluarga yang tak kalah berharga.
"Karena sejatinya teman adalah keluarga yang kau pilih." -- Zak, The Peanut Butter Falcon.
The Peanut Butter Falcon tayang mulai Rabu, 9 Oktober 2019. Salam Kompasiana.
Skor: 8/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H