Hampir 4 dekade lalu dunia diperkenalkan kepada sesosok veteran perang Vietnam, yang harus berjuang sendirian melawan segala kejahatan dan penolakan dari lingkungan tempat tinggalnya.Â
Hingga kemudian petualangannya terus berlanjut menembus hutan belantara, penjara keji hingga berbagai medan tempur lainnya, demi mengukuhkan dirinya sebagai sesosok pahlawan yang kita butuhkan.
Ya, dialah John Rambo, sosok karakter rekaan David Morrell dari novel yang memiliki judul sama dengan film pertamanya, First Blood. Karakter yang pada akhirnya juga ikut melambungkan nama besar Sylvester Stallone sebagai icon film action era 80-an, selain film Rocky tentunya.Â
Kesuksesan film pertamanya lantas membuat franchise ini berkembang, dengan film keduanya yang berjudul Rambo: First Blood Part 2, juga mendulang pendapatan yang jauh lebih besar.
Hancur lebur baik secara kritik maupun pendapatan, membuat installment ketiganya yang berjudul Rambo IIIÂ harus legowo menerima berbagai nominasi Razzie Awards.Â
Respon pasar yang kurang baik dan kejenuhan penonton itu sendiri, pada akhirnya membuat franchise Rambo terpaksa hibernasi panjang sejak 1988. Sebelum kemudian dibangunkan kembali 20 tahun kemudian melalui film Rambo IVÂ di tahun 2008.
Dan di tahun ini kita kembali disajikan cerita petualangan sang legenda, John Rambo, yang sudah memasuki masa tuanya dengan trauma masa lalu yang masih menyiksanya. Rambo: Last Blood lantas menjadi penyegaran akan franchise Rambo yang digadang-gadang menjadi aksi terakhir Rambo-nya Stallone.
Sinopsis
Semua hal indah tersebut berubah begitu cepat ketika Gabrielle memutuskan untuk pergi sendirian ke Meksiko demi bertemu dengan ayah kandungnya. Rambo yang tak mau kehilangan Gabrielle karena khawatir dengan keselamatannya di Meksiko, lantas mencoba untuk menyusulnya.
Namun apa yang dihadapi Rambo di tanah Meksiko ternyata jauh lebih berbahaya. Bukan lagi pasukan Vietcong atau Soviet yang dihadapi, melainkan kartel obat terlarang yang besar dan kuat yang akan menjadi lawan baru bagi Rambo.Â
Rambo pun terpaksa untuk terjun kembali ke medan perang, menggunakan sisa-sisa tenaga dan skill yang dikuasainya di masa mudanya dulu demi menyelamatkan anak tercintanya.
Tragedi membuatnya kembali menjadi Rambo yang selama ini kita kenal. Cerdas, brutal dan tetap berjuang menyelamatkan orang-orang tercintanya walaupun kemudian berbagai kesulitan bergantian datang menghadangnya.
Film Aksi Klasik dengan Banyak Referensi Modern
Chemistry yang tercipta antara Rambo dan Gabrielle hingga bagaimana usahanya dalam menemukan sang putri, sekilas bahkan mengingatkan kita pada sosok Liam Neeson di trilogi Taken.Â
Namun nuansa Taken seketika berubah kala di suatu adegan Rambo akhirnya harus menerima pukulan telak dari lawan-lawannya hingga membuatnya jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Rambo yang sekarang, meskipun tetap menjadi momok bagi siapapun yang melawannya, jauh lebih melambat dan menua, pun di dunia nyata sosok Sylvester Stallone sendiri memang sudah menyentuh usia 73 tahun.
Maka film ini pun kemudian memang menurunkan tensi aksinya dengan memperbanyak unsur drama di hampir 60 menit awal. Sekaligus memperkenalkan calon musuhnya yang sayangnya tidak terlalu banyak porsi pengembangan karakternya. Yang kita tahu dia jahat, sudah itu saja.
Tepukan riuh jelas beberapa kali terdengar dari kursi penonton tiap Rambo berhasil memainkan jebakannya. Karena pada akhirnya di 30 menit akhir film ini mampu kembali ke akarnya Rambo Movies dengan menghadirkan ragam ultra violence sequence yang brutal, penuh darah namun tentu saja tetap menghibur.
Penutup yang Kurang Greget
Namun pernyataan Stallone pada wawancaranya dengan salah satu media AS, seakan menyiratkan bahwa franchise ini kemungkinan akan tetap lanjut, entah sebagai sekuel ataupun prekuel.
Rambo: Last Blood memang menyajikan berbagai homage akan 4 film sebelumnya. Baik dalam bentuk adegan kilas balik maupun rekonstruksi adegan lawas yang kemudian dimodifikasi agar terlihat segar. Dimana hal tersebut tentu saja menghadirkan kembali nuansa nostalgia yang menyenangkan.Â
Desingan peluru, ledakan bahkan darah yang bermuncratan dari tubuh lawannya tentu saja tetap ada. Tak lupa, cara bertempur yang hiperbolis sekaligus surealis tetap dipertahankan sehingga kita tahu ini tetap Rambo yang sama seperti kala kita menyaksikan film pertamanya.
Setidaknya hal tersebut juga kemudian ditampilkan secara halus lewat Meksiko yang berada dibalik tembok besar yang memisahkannya dengan daratan Amerika. Dimana kemudian digambarkan sebagai negara penuh kejahatan dan tak ada harapan. Dan sosok Rambo atau kita menyebutnya sebagai Amerika, jelas menjadi harapan akan pembebasan orang-orang tertindas di dalam negara tersebut.
Entah karena durasi filmnya yang hanya 1,5 jam sehingga porsi pendalaman karakter harus dipangkas, atau memang para karakter pendukung tersebut overshadow oleh sosok Rambo itu sendiri. Bahkan karakter yang diperankan Paz Vega pun tak memiliki arti apapun, meskipun sejatinya berpotensi untuk menjadi sidekick Rambo di film ini.
Maka meskipun film ini kemudian mengakhirinya dengan cukup baik, dan klasik khas Rambo tentu saja, namun seakan masih menyisakan sedikit ganjalan terkait konsep open endingnya.Â
Jadi, bisa dibilang Rambo:Last Blood cukup klimaks dalam menghadirkan rentetan final fightnya, namun tak benar-benar bisa dibilang greget untuk film yang dipercaya sebagai penutup saga John Rambo.
Penutup
Namun yang terpenting, Rambo:Last Blood tetap menghadirkan nuansa action klasik yang kental dengan cerita yang cukup ringan untuk bisa dinikmati siapapun. Menjadikan film ini sebuah popcorn movies yang seru dan menyenangkan. Dan pastinya, tak boleh dilewatkan begitu saja bagi para penikmat genre action dan para fans Stallone tentunya.
Rambo: Last Blood tayang mulai hari ini, Rabu 18 September 2019 di jaringan bioskop XXI.
Skor: 7/10
"Don't Push it, or i'll give you war you won't believe. Let it go"- John Rambo(First Blood, 1982)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H