Di mana hal tersebut menjadi simbol-simbol yang disampaikan secara terselubung dan tersebar di sepanjang film, bahkan juga menjadi bahan cemoohan di beberapa dialog dan penggambaran aktivitas ritualnya.
Dan gambaran masyarakat kecil dalam Midsommar tak lain sebagai sindiran akan tren Xenofobia yang sejatinya tak hanya menjangkiti masyarakat Swedia namun juga berpotensi untuk terjadi seluruh dunia, termasuk (ehem..) Indonesia.Â
Dimana di satu sisi kelompok tersebut takut, benci dan apatis terhadap dunia luar, namun di sisi lainnya kelompok masyarakat itu jugalah yang "membutuhkan" orang atau sesuatu dari dunia luar untuk menuntaskan misi mereka.
Penutup
Tapi memang benar, secara harafiah Midsommar bukan film untuk semua orang, bahkan untuk setiap kita penikmat genre horor sekalipun. Tema yang berat dibalik sederhananya plot, membuat film ini hanya mampu dinikmati dengan pikiran yang rileks dan jernih. Kontradiktif dengan horor kebanyakan yang biasanya justru lebih nikmat disaksikan kala pikiran sedang penat-penatnya.
Selain itu, alur yang lambat, minimnya jumpscare, atau nihilnya berbagai template horror standar lainnya, jelas membuat film ini bukanlah pilihan bagi penonton yang mengaharapkan hal-hal tersebut.Â
Namun bagi penonton yang memang suka dengan gaya penceritaan horor psikologis yang bergerak secara perlahan, pasti akan menyukai film ini.
Skor 8/10 untuk pengalaman sinematik yang memukau sekaligus mencekam. Hanya saja masih menyisakan kekurangan lewat sensor yang mengganggu dan beberapa satir yang cukup segmented. Rasanya saya butuh menonton versi director's cut nya.
Selamat Menonton. Salam Kompasiana