Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"The Boys", Satir Superhero dengan Kemasan Intrik Politik yang Menggelitik

30 Agustus 2019   18:33 Diperbarui: 31 Agustus 2019   12:20 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah anda membayangkan akan seperti apa jadinya jika para superhero benar-benar eksis di muka bumi untuk kemudian menyalahgunakan kekuatannya? Atau pernahkah anda membayangkan mengenai kemungkinan adanya hal-hal lain yang tersembunyi dan cukup kelam, yang ternyata bertolak belakang dengan citra superhero yang selama ini kita kenal?.

Jika jawabannya adalah iya, maka serial dari Amazon Prime Video ini adalah jawabannya. Dilansir dari laman screenrant.com, serial ini pun ditahbiskan sebagai serial Amazon Original yang paling banyak ditonton di sepanjang 2019. Tak disebutkan angka resminya, namun yang pasti hal tersebut membuat serial ini kini telah mendapatkan lampu hijau untuk musim keduanya.

Komik The Boys(polygon.com)
Komik The Boys(polygon.com)
Serial yang berjumlah 8 episode dengan masing-masing episodenya berdurasi 45 menit sampai dengan 1 jam ini, mencoba menghadirkan sisi lain superhero yang selama ini sudah kadung terpatri dalam ruang-ruang imajinasi kita.

Sisi lain dan gelap yang mungkin saja terjadi jika para superhero tersebut benar-benar ada dan hidup di tengah carut-marutnya kondisi sosio politik seluruh dunia pada saat ini.

Diangkat dari komik garapan Garth Ennis dan Darick Robertson berjudul sama, The Boys lantas membawa narasi yang hampir sama dengan serial komik superhero dewasa lainnya, Watchmen. 

Hanya saja, The Boys kemudian memberikan bumbu yang lebih fun untuk kemudian menyelipkan komedi satir dengan nuansa kekerasan yang kental di dalamnya

Sinopsis
Serial ini langsung membuka kisahnya dengan tragedi yang dialami oleh Hughie(Jack Quaid), dimana kekasihnya, Robin(Jess Salgueiro) mati dengan kondisi hancur berkeping-keping pasca ditabrak secara tidak sengaja oleh seorang superhero yang memiliki kemampuan berlari cepat, A-Train(Jessie T.Usher).

Hancur leburnya tubuh sang kekasih kecuali sepasang tangan yang masih digenggam erat oleh Hughie, lantas meninggalkan luka yang cukup dalam di hati Hughie.

Tvmaze.com
Tvmaze.com
Berusaha mencari keadilan atas ketidakwajaran cara kematian sang kekasih, Hughie justru mendapatkan surat tutup mulut dengan nominal cukup besar dari Vought, perusahaan besar yang membawahi para superhero yang jamak disebut sebagai kelompok The Seven tersebut.

Merasa bahwa kematian sang kekasih tidak dihargai dan diacuhkan begitu saja, lantas membuat Hughie harus mencari cara untuk melawan dan bersuara lebih lantang.

Sumber: Metro.co.uk
Sumber: Metro.co.uk
Pertemuannya dengan Billie Butcher (Karl Urban) dan Frenchie(Tomer Capon), lantas membuat jalan bagi Hughie untuk membalaskan dendamnya kepada A-Train terbuka lebar. 

Sama-sama memiliki latar belakang tak mengenakkan dengan para anggota The Seven, dalam perjalanannya mereka justru menemukan lebih banyak kenyataan pahit dan menjijikkan yang ternyata bersembunyi dibalik ketatnya baju zirah para pahlawan super tersebut.

Sebuah fakta yang kemudian membuat sebuah pertanyaan besar bagi mereka. Benarkah eksistensi para superhero tersebut hanya sekadar menjadi lambang dan agen perdamaian bumi? Ataukah ada konspirasi lain yang harus dibangun demi kepentingan kelompok mereka sendiri?.

Sebuah Satir Superhero yang Tegas, Menggelitik dan Tentu Saja... Brutal
Jika Anda pernah menyaksikan film-film semacam Watchmen, Chronicle atau Brightburn yang memberikan perspektif berbeda dan berkebalikan mengenai konsep manusia super, maka anda tak akan kaget melihat narasi yang coba dihadirkan dengan energi sejenis dalam serial ini.

Deadline.com
Deadline.com
Disini, dimana dunia telah disesaki banyak superhero, superhero telah menjadi komoditas dan sumber kapitalisasi atas monopoli bisnis perusahaan besar. 

Superhero disini bukanlah superhero yang bisa menjadi penjaga masyarakat selama 24 jam, melainkan menjadi "pegawai" yang melakukan tiap aksinya dengan balutan unsur politis yang tinggi demi mencapai hasil akhir yang disebut reputasi.

Disini, dimana "kryptonite" para superhero bukan lagi berbentuk batu melainkan reputasi, membuat para superhero tersebut selalu menampilkan citra terbaik mereka dan menutup rapat segala rahasia gelapnya dengan berbagai kemasan menariknya.

Tentu saja hal ini menjadi sangat kontradiktif dengan konsep dan gambaran superhero yang selama ini kita kenal.

studentproblems.com
studentproblems.com
Homelander(Antony Starr) misalnya. Dirinya yang memiliki perawakan dan kemampuan layaknya Superman, menjadi perwujudan -atau bisa dibilang sebagai interpretasi atas segala kritik- Amerika sebagai tanah air. Kemampuan politisnya yang hebat dan kekuatan adidayanya, membuat ia bisa melakukan hal apapun meskipun kerap bertentangan dengan induk organisasi Vought.

Meskipun pada setiap aksi yang dilakukannya selalu dalam kemasan peduli atas kemanusiaan, nyatanya Homelander lah yang paling terdepan dalam mengabaikan hal-hal kemanusiaan demi kepentingan dirinya sendiri. Tentu saja hal ini menjadi semacam kritikan pedas yang juga cukup menggelitik terkait Amerika itu sendiri.

Bahkan di salah satu episodenya, serial ini menampilkan kritikan pedas yang saya rasa paling relevan namun tentu saja kontroversial. Yaitu mengenai penggunaan dalil agama untuk menutup segala kekurangan diri.

Sang superhero yang kemudian disebut "The Preacher", jelas menjadi potret jujur bagaimana agama bisa menjadi alat pengeruk popularitas bahkan uang, meskipun dibelakang layar kelakuan bejatnya yang tak mencerminkan ajaran agama juga terus dilakukan.

Keras, namun suka tidak suka seperti itulah kelakuan para pembesar di dunia nyata yang hobi mempermainkan agama demi keuntungan pribadi dan golongannya.

Gulfnews.com
Gulfnews.com
Pun begitu dengan isu kekerasan seksual yang diangkat lewat tokoh The Deep(Chace Crawford), superhero dengan kekuatan bak Aquaman namun memiliki berbagai kasus pelecehan seksual termasuk ke sesama rekan superhero, Starlight(Erin Moriarty). The Deep menjadi gambaran atas over masculinity yang sayangnya kerap menjadikan kaum hawa sebagai korban.

Sementara Starlight sendiri menjadi interpretasi seorang pahlawan yang memperjuangkan hak-hak wanita, namun tertindas hanya karena predikat anak bawang yang disematkan kepadanyan. Namun layaknya sinar terang yang menjadi arti dari namanya, Starlight pun nyatanya memang menjadi secercah sinar yang menjadi harapan di tengah kelompok superhero "amoral" tersebut.

Dengan plot kuat dan pembangunan konflik yang menarik, film ini lantas menyandingkan visual deep & dark ala Zack Snyder, dengan koreo pertarungan yang brutal dan banjir darah khas Tarantino. Menjadikan The Boys sebuah serial superhero berbeda, yang memang diperuntukkan untuk orang-orang dewasa.

Sementara dari karakterisasi, film ini meletakkan para tokohnya baik yang protagonis maupun antagonis di wilayah abu-abu. The Boys nampak membiarkan kita untuk memilih karakter mana yang sejatinya "paling baik".

Comingsoon.net
Comingsoon.net
Karena para superhero amoral yang bisa dibilang menjadi sosok penjahat utama di serial ini pun terkadang bisa sangat baik. Pun begitu dengan karakter yang diperankan Karl Urban dan lainnya yang diproyeksikan sebagai protagonis, justru bisa melakukan tindakan yang lebih jahat dari para superhero tersebut.

Tak ada batasan yang jelas mengenai sisi baik dan buruknya, lantas membuat serial ini sangat menarik karena mampu bergerak dinamis mengikuti segala intrik politik yang saling dilemparkan kedua sisi.

Dimana pada akhirnya, tujuan finalnya lah yang memberikan konklusi atas hal-hal yang sebelumnya mungkin sempat kita anggap jahat ataupun baik.

Sebuah "Antidote" atas Overdosis Film Superhero
Melihat premis yang cukup unik dimana berbagai kritik dan isu sosial yang diangkat kemudian melebur dalam narasi superhero, tentu menjadikan film ini semacam antidote atau penawar racun atas overdosis kita kepada film superhero.

StarTribune.com
StarTribune.com
Tentu kita sadar, menjamurnya berbagai film superhero berbudget raksasa saat ini membuat diferensiasi antar film superhero menjadi bias. Memang film-film tersebut hadir dengan balutan genre yang berbeda seperti rom-com, opera sabun luar angkasa, bahkan supranatural. Namun tak bisa dipungkiri bahwa narasi yang dibawa tetap seputar menghentikan "kiamat" bagi manusia, hanya itu.

Sementara The Boys hadir lebih membumi, dengan konflik yang memang telah menjadi fenomena global saat ini. Musuhnya pun bukan berupa monster atau makhluk aneh, melainkan lebih kepada konflik diri sendiri, lingkungan dan institusi. Ya, mirip dengan Gundala yang membuat konfliknya lebih terasa grounded tanpa embel-embel pemusnahan massal umat manusia.

Comicbook.com
Comicbook.com
Seth Rogen dan ke-21 produser lainnya, juga bersama dengan 8 sutradara yang menggarap masing-masing episode termasuk Dan Trachtenberg(10 Cloverfield Lane, Black Mirror) jelas patut diapresiasi hasil kerjanya. 

Mengambil euforia film superhero yang beberapa tahun ini kian digemari berbagai kalangan, lantas mereka kemudian memanfaatkannya untuk menyajikan narasi berbeda yang memberikan penonton alternatif kisah superhero yang lebih luas, kaya dan tidak berputar di satu tempat.

Penutup
The Boys jelas bukanlah serial superhero untuk semua orang. Tema dewasa yang cukup kelam, unsur nudity yang kerap hadir, adegan brutal yang menyeramkan dan memiliki slowburn pace di tiap episodenya, membuat serial ini memang cocok disaksikan oleh penonton dewasa yang menyukai tipikal cerita yang cenderung berat dan kaya unsur intrik politik. Ingat, jangan sampai serial ini dikonsumsi oleh anak-anak.

Inverse.com
Inverse.com
Sisi produksi yang luar biasa baik dari segi sinematografi, scoring, kostum hingga penggunaan CGI yang apik, semakin menegaskan bahwa serial superhero amoral ini bukanlah "kaleng-kaleng". Menjadi alasan juga mengapa The Boys kemudian sangat layak dijadikan serial pilihan untuk disaksikan secara "binge watching" di akhir pekan ini.

Percayalah, penempatan cliffhanging ending yang pas pada akhir tiap episode, membuat kita tak sabar untuk terus melanjutkan episode demi episode serial ini. Dan cliffhanging menyesakkan itu jugalah yang pada akhirnya muncul kembali pada akhir episode final atau episode 8 dan membuat kita geregetan sambil mengumpat kesal; "Season 2-nya segera rilis dooong Amaaazooon!!!"

Skor The Boys: 9/10
Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun