"Gak ada gunanya hidup kalau ga peduli, dan cuma mikirin diri sendiri."
Ah, susah rasanya mendeskripsikan perasaan ini pasca selesai menonton film jagoan lokal yang sudah ditunggu-tunggu cukup lama ini. Senang, haru, merinding sekaligus bangga menjadi satu karena Gundala yang menjadi feature film ketujuh Joko Anwar, pada akhirnya dirilis hari ini, Kamis 29 Agustus 2019.
Membawa deretan nama aktor Indonesia kelas A, Gundala lantas menghadirkan sebuah film origin story sekaligus menjadi pembuka bagi deretan film jagoan lokal lain di masa depan yang tergabung ke dalam jagat sinema Bumilangit.Â
Tetap membawa unsur-unsur dalam komik asalnya karangan alm. Bapak Hasmi, Gundala garapan Joko Anwar ini lantas memberikan sentuhan tambahan yang lebih solid lewat kemunculan berbagai narasi isu sosial politik yang relevan dengan kondisi saat ini.
Baca Juga; Menyambut Jagat Sinema Bumilangit Dengan Harapan dan Keyakinan Besar
Maka tak mau mengganggu sensasi para pembaca dalam menyaksikan film yang juga menjadi lompatan besar atas sejarah perfilman Indonesia, tulisan ini tak akan disertai sinopsis dan tentunya spoiler-free.
Membumi dengan Selipan Isu Sosial Politik yang Relevan
Jika anda kemudian beranggapan bahwa Gundala akan membawa narasi yang sama dengan apa yang ditampilkan pada film jagoan import ala MCU dan DCEU, sebaiknya anda tutup rapat-rapat anggapan tersebut. Layaknya sosok jagoan yang imajinasinya sudah terpatri dalam ruang-ruang pikiran kita, narasi tentang kebaikan melawan kejahatan atau harapan melawan ketidakadilan memang tetap ada dan harus tetap ada.
Hanya saja, Joko Anwar kemudian melengkapinya dengan latar kisah pendukung yang begitu membumi sekaligus menampilkan ciri khas Indonesia yang begitu kental.Â
Sehingga hal ini tentu saja menjadi diferensiasi yang sangat baik, karena setidaknya membuat kita percaya bahwa sejatinya kita dihadapkan dengan sosok jagoan yang latar belakangnya dekat dengan apa yang terjadi di sekitar kita saat ini. Dan bukan sesuatu yang terasa jauh dari hadapan kita bahkan cenderung futuristis.
Kapan lagi kita diberikan rekonstruksi acara pernikahan sederhana layaknya yang biasa kita lihat di perkampungan, lengkap dengan panganan khasnya dalam sebuah film superhero bukan? Dan hal tersebut menjadi satu dari sekian banyak tradisi lokal yang coba dilebur ke dalam film ini bersamaan dengan narasi patriotismenya yang kokoh.
Sementara kritikan pedas yang muncul pada film ini tentu saja sering diarahkan pada anggota dewan yang terhormat dengan segala intrik politik atas nama rakyatnya. Sementara isu sosial seputar adanya generasi amoral dan perselisihan antar rakyat yang ditimbulkan dari perbedaan pun ikut serta dimasukkan ke dalam film ini
Untuk itulah karakter politisi beserta jajarannya dalam wujud Ridwan Bahri (Lukman Sardi), Ganda Hamdan (Aqi Singgih), Ghani Zulham (Ario Bayu) dan juga karakter-karakter lainnya muncul untuk mewarnai dan menghidupkan narasi politik serta ketidakadilan yang begitu kuat dalam film ini.
Karakterisasi yang Kuat
Hanya saja, respon masing-masing pribadi dalam menghadapi kekacauan dunia lah yang kemudian membentuk keduanya menjadi sosok yang berbeda. Dengan petir sebagai respresentasi dari sosok Gundala dan Api yang  merupakan representasi sosok Pengkor, menjadi semacam pesan tersirat tentang bagaimana dua elemen paling berbahaya tersebut bisa menimbulkan efek yang berbeda dalam kehidupan.
Bagaimana Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan) melewati hari-harinya yang kelam tanpa kedua orangtuanya(Rio Dewanto dan Marissa Anita)untuk kemudian tumbuh menjadi sosok Sancaka dewasa (Abimana Aryasatya) yang penuh kegelisahan terhadap kondisi sosial politik negerinya, tentu saja ditampilkan secara kontradiktif dengan karakter Pengkor(Bront Palarae).
Meskipun kemudian rivalitas antara Gundala dan Pengkor -yang di komiknya merupakan musuh bebuyutannya- belum benar-benar tereksploitasi di film ini, namun sejatinya akar segala rivalitas tersebut sudah dimulai dengan cukup kokoh pada film ini.Â
Tentu menarik untuk melihat bagaimana para pasukan Pengkor akan berperan sangat banyak dalam menghadang para jagoan lainnya dalam film-film di Jagat Sinema Bumilangit berikutnya.
Tak hanya itu, penggambaran karakter lainnya pun tak kalah kuat. Semisal bagaimana Awang kecil (Fariz Fajar) tumbuh menjadi lelaki yang apatis terhadap keadaan sekitarnya, tentu menjadi sangat menarik kala di kemudian hari diperdalam kisahnya pada film Godam. Apalagi Awang juga menjadi semacam role model bagi Sancaka kecil.
Itulah mengapa saya katakan bahwa karakterisasi para tokoh di film ini begitu kuat dan sangat brilian, karena memang cukup kuat untuk menjadi pondasi film-film lanjutannya kelak. Tak ada yang miscast dari jajaran tokoh-tokoh dalam film ini.
Meskipun memang saking banyaknya karakter yang dimunculkan di film ini, menyebabkan beberapa karakter pendukung lain semisal Ghani Zulham dan sosok penjahat super lainnya yang diperankan oleh Kelly Tandiono, Hannah Al Rashid dan Cecep A. Rahman misalnya, tak mendapatkan porsi yang cukup.Â
Entahlah, mungkin karakter-karakter tersebut memang tampil bak etalase tokoh dan dipersiapkan untuk kemungkinan muncul kembali pada film lain di masa depan.
Sisi Teknis dan Produksi yang Begitu Rapi
Pun beberapa efek horror turut serta dimasukkan dalam film ini, sehingga kesan mistis selayaknya Gundala dalam versi komik tetap terjaga sekaligus menegaskan bahwa film ini memang filmnya Joko Anwar.
Sementara dari sisi scoring, kolaborasi antara Aghi Narotama, Tony Merle dan Bembi Gusti yang sebelumnya juga pernah menggarap scoring Pengabdi Setan, jelas tak perlu diragukan lagi.Â
Mereka berhasil menghadirkan deretan musik latar yang megah dan menggugah sekaligus menghadirkan nuansa patriotik yang tentunya selaras dengan tema Gundala itu sendiri.
Baca juga; First Look Gundala dan Harapan Pada Masa Depan Film Jagoan Indonesia
Koreografi pertarungannya pun patut diacungi jempol, dimana pertarungan antara Gundala dengan karakter penjahat yang diperankan oleh Kelly Tandiono, Hannah al-Rashid dan Cecep A.Rahman menjadi highlights dari deretan pertarungan seru lainnya di sepanjang film. Sementara pertarungan Awang kecil melawan para berandalan juga patut dinantikan.
Oh iya, bahkan ada satu latar adegan pertarungan yang nampak dibuat untuk menghormati adegan pertarungan pada film Gundala Putra Petir yang diperankan oleh Teddy Purba. Namun tentu saja anda harus menyaksikan filmnya terlebih dahulu untuk mengenali adegan tersebut.
Sedangkan kekurangan dalam film ini ada pada sisi editing dan dialog yang nampak cringe di beberapa bagian, sehingga membuat beberapa adegan memiliki transisi yang kurang greget. CGI pun ada yang nampak kurang halus walaupun tak bisa dibilang buruk. Ya, mirip-mirip hasil akhir CGI pada beberapa adegan di film Foxtrot Six.
Selain itu, pacing pada film ini juga naik-turun di beberapa bagian, terutama di pertengahan. Namun untungnya, film ini kembali menemui ritmenya di sepertiga akhir, hingga kemudian menutupnya dengan elegan dan selipan kejutan yang membuat penonton satu studio bertepuk tangan.
Penutup
Materi pemain yang solid pun kemudian diimbangi dengan tema cerita yang benar-benar membumi, khas Indonesia dan tak terkesan meniru franchise superhero yang lebih raksasa semisal MCU ataupun DCEU
Gundala memang bukanlah film yang sempurna apalagi jika kita kemudian membandingkannya dengan film-film mega budget dari Marvel atau DC. Bahkan bisa dibilang film ini bukanlah film terbaik dari Joko Anwar itu sendiri, meskipun tak bisa dipungkiri ini adalah film "paling ringan" dari "semesta mata angin" yang dibangun secara subtil pada tiap film-film Joko Anwar.
Gundala pada akhirnya menyadarkan kita bahwa film superhero tak melulu soal mewahnya kostum atau special effect, melainkan bagaimana pesan yang dibawa mampu masuk ke dalam hati.
Setidaknya pada akhirnya kita juga berhasil mendapatkan sajian superhero movies lokal yang digarap dengan segenap hati, oleh para orang-orang yang juga segenap hati melestarikan budaya lokal yang dihasilkan dari tangan-tangan komikus legendaris Indonesia. Dan Gundala berhasil memulainya dengan sangat baik.
Misteri dalam film Gundala tentu saja belum selesai. Masih banyak easter eggs lain yang bisa digali dalam film ini untuk kemudian menimbulkan diskusi publik yang seru dan menyenangkan. Dan hal ini tentunya membuat penonton sangat antusias untuk menunggu proyek lanjutan Jagat Sinema Bumilangit di tahun-tahun ke depan.
Sebagai catatan, jangan pulang cepat-cepat pasca berakhirnya film ini. Karena Gundala memiliki after credit scene yang pastinya akan membuat kita tersenyum bahkan tak segan bertepuk tangan saking bergembiranya.
Jagat Sinema Bumilangit pun dengan ini resmi dibuka. Skor: 8/10
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H