"Bukan, aku bukan aktor. Aku hanya seorang pemeran pengganti"-Cliff Booth
Potongan dialog yang muncul di tengah-tengah film tersebut sejatinya menjadi penanda sekaligus pembeda antara kepribadian seorang Rick Dalton (Leonardo DiCaprio) dengan Cliff Booth (Brad Pitt), yang gambaran persahabatan saling melengkapinya kemudian menjadi sajian utama di sepanjang film.Â
Rick Dalton merupakan seorang aktor yang berpegang teguh pada egonya, sementara Cliff sang pemeran pengganti setianya merupakan pria yang tak memiliki hasrat untuk ada dalam sorot lampu ketenaran.Â
Keduanya berada dalam titik akhir era keemasan Hollywood di tahun 1969, dimana juga menandai perubahan akan industri Hollywood klasik ke industri Hollywood seperti yang kita kenal saat ini.
Sekaligus bersinggungan dengan para pelaku industri legendaris di dunia nyata semisal Sharon Tate (Margot Robbie), Jay Sebring (Emile Hirsch), Roman Polanski (Rafal Zawierucha), Steve McQueen (Damian Lewis), dan sang legenda martial arts, Bruce Lee (Mike Moh).Â
Dan layaknya sebuah penceritaan dari negeri dongeng yang pernah berjaya di suatu masa, semua elemen itu pun berpadu untuk kemudian membuka kisahnya dengan sebuah kalimat khas pembuka dongeng sebelum tidur; Once Upon a Time... in Hollywood.
Sebuah Gabungan Bintang Besar yang Solid
Kedua alur penceritaan yang pertama dimaksudkan selayaknya dua sisi koin, yaitu melalui karakter Rick Dalton yang penuh ego, ambisi namun rapuh di satu sisi, bersandingan dengan Cliff Booth yang santai, tulus dan tak pernah takut menghadapi segala rintangan yang muncul di depan mata.Â
Bahkan Cliff Booth juga dianggap sebagai ikon maskulinitas lelaki Amerika yang kerap digambarkan Hollywood sebagai lelaki kulit putih, perokok, dan berusia setengah baya.Â
Sementara Rick Dalton tak lebih dari gambaran sisi lelaki yang rapuh dan emosional, dimana ambisi besarnya terkadang harus tertahan hanya karena faktor usia dan penolakan dari lingkungan itu sendiri.
Sementara cerita ketiga yang nampak tak memiliki hubungan langsung dengan 2 sisi penceritaan Booth-Dalton ditujukan untuk aktris lawas Sharon Tate yang diperankan Margot Robbie, dimana kehidupan cintanya bersama Roman Polanski dan tragedi yang menimpanya di kemudian hari juga ikut sedikit mengubah wajah industri Hollywood untuk selamanya.
Mungkin kita bertanya-tanya pada awalnya, apa hubungannya antara Rick Dalton yang kariernya mulai terlihat kacau dengan Cliff Booth si pemeran pengganti loyal yang memiliki konflik dengan para hippies di pertengahan film?Â
Namun belum sampai kita mengetahui jawabannya, kita pun kemudian disuguhi oleh alur cerita Sharon Tate yang muncul di tengah-tengah dan sayangnya cukup minim dialog tersebut.
Namun itulah Tarantino, meskipun ketiga tokohnya nampak membawa standalone story, namun sejatinya ketiganya juga sedang dalam proses untuk menuju ke sebuah titik pertemuan yang sama.
Maka tak hanya menampilkan para pelaku industri yang selama ini kita kenal saja, namun juga berbagai judul film legendaris dan penampakan rumah-rumah produksi legendaris di tahun tersebut semisal Fox dan Columbia Pictures, turut serta dimunculkan dalam film ini.
Bahkan Tarantino pun menyajikan deretan fake movie yang dimaksudkan sebagai film-film yang diperankan oleh karakter Rick Dalton tersebut.Â
Warnanya pun khas Quentin Tarantino. Dan entah mengapa, selipan fake movie ini justru jauh lebih menarik daripada selipan kisah Sharon Tate yang minim dialog tersebut.Â
Adegannya cukup lucu, menghibur, meskipun harus diakui memang Tarantino pantas digugat keluarga besar Bruce Lee, karena sedikit "merusak" reputasi Bruce Lee melalui selipan dark jokesnya tersebut.
Sementara dari sisi akting, deretan aktor kelas A-nya mampu menyajikan penampilan terbaiknya masing-masing. Mulai dari Brad Pitt, Leonardo DiCaprio hingga Margot Robbie, masing-masing mampu memberikan penampilan yang memorable dan tak terkesan memberi efek over shadow antara satu dengan lainnya.Â
Pun begitu dengan penampilan singkat para aktor lainnya semisal Al Pacino, Dakota Fanning, dan Timothy Olyphant, mampu memberi warna tambahan yang membuat suasana dan dialog menjadi hidup. Meskipun memang harus diakui bahwa talenta Al Pacino nampak disia-siakan di film ini.
Bahkan terdapat satu adegan dimana DiCaprio melakukan monolog selama beberapa menit yang sangat emosional. Meskipun dilengkapi dengan celetukan kata-kata kotor yang mengundang gelak tawa, pada momen tersebut Leo berhasil membuat kita semakin percaya akan betapa rapuh dan galaunya Rick Dalton terhadap perjalanan karirnya sendiri.
Antara Ambisi, Tragedi, dan Kritik Sosial Era 60-an
Karakter Dalton dan Booth yang dimaksudkan sebagai gambaran sebagian besar aktor-aktor Hollywood yang sedang berada dalam "persimpangan jalan" di masa itu, dimana ambisi terkait eksistensi terus menyeruak ke permukaan, kemudian bersanding dengan kejadian nyata terkait tragedi bintang muda berambut pirang, Sharon Tate.
Seperti kita tahu, sejarah mencatat bahwa Sharon Tate dibunuh oleh The Manson Family secara brutal. Dan dengan cerdasnya, Tarantino kemudian berhasil menyambungkan kerangka penceritaan yang nampak cukup berbeda pada awalnya tersebut kepada kisah tragedi Tate.Â
Namun tentu saja bukan Quentin Tarantino namanya jika tidak menghadirkan kejutan dan kontroversi terkait penceritaan ulang tragedi Sharon Tate tersebut. Penceritaan ulang yang tentunya menggunakan konsep "what if" yang mengejutkan.
Tak hanya itu, Quentin Tarantino pun berhasil menyelipkan berbagai kritikan sosial yang terjadi di masa itu dengan cukup halus. Sehalus dialog yang nampak santai namun ternyata menyimpan pesan yang cukup dalam terkait kondisi sosial politik yang terjadi di masa itu.
Sedikit saran dari penulis, sebaiknya sebelum menonton film ini terlebih dahulu membaca beberapa referensi soal pop culture era 60 dan tragedi Sharon Tate itu sendiri. Agar bisa lebih menikmati dan memahami kejutan apa yang sejatinya disiapkan oleh Tarantino terkait dua hal tersebut.
Penutup
Deretan cast-nya tidak ada yang mengecewakan meskipun memang porsi mereka di beberapa bagian tak memiliki dampak yang begitu berarti. Seperti penceritaan Sharon Tate misalnya.Â
Di mana sejatinya Tarantino bisa bermain-main lebih lagi lewat talenta menjanjikan Margot Robbie, namun sayangnya penampilannya justru sering muncul sekilas, tanpa dialog dan (maaf) tanpa arti.
Hanya saja film ini memang tidak ditujukan untuk semua orang. Bagi yang suka dengan cara bercerita Tarantino, tentu saja akan terpuaskan dengan film ini. Terlebih banyak "selipan" yang memang akan anda ketahui jika sebelumnya rajin menonton karya-karyanya.
Once Upon a Time in Hollywood pada akhirnya menjadi sebuah sajian drama komedi dengan sentuhan satir yang cukup solid. Hanya saja, hasil akhir dari permainan imajinasi liar Tarantino yang menggabungkan unsur fiksi & kejadian nyata tersebut nampak tak sekuat film Tarantino sejenis yaitu Inglourious Basterds.Â
Entahlah, mungkin Tarantino memang benar-benar ingin mengaplikasikan konsep ending dari sebuah cerita yang diawali dengan perkataan "Once upon a time in.."
Maka 8,5 dari 10 pun kemudian menjadi skor yang diberikan penulis untuk film ini, menimbang dari poin-poin pembahasan yang telah disebutkan di atas.
Once Upon a Time in Hollywood tayang reguler mulai 30 Agustus 2019 dan special midnight show mulai hari ini, 24 Agustus 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H